Kamis, 27 Juni 2013

Tanjakan Berat Menunggu Hassan Rowhani

Tanjakan Berat Menunggu Hassan Rowhani
Smith Alhadar ;    Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies
MEDIA INDONESIA, 26 Juni 2013


SEBENARNYA kemenangan Hassan Rowhani atas lima kontestan lainnya dalam pemilihan presiden Iran, Sabtu (15/6), bukanlah hal yang mengejutkan. Ia satu-satunya calon konservatif yang moderat di antara lima calon konservatif lainnya. Karena itu, ia didukung mayoritas warga Iran yang menginginkan perubahan. Apalagi isu-isu kampanyenya sangat sesuai dengan aspirasi warga Iran. Ia menjanjikan perubahan politik luar negerinya yang mendekatkan Iran dengan negara-negara Barat yang sangat dimusuhi Ahmadinejad, kebebasan pers, dan pelonggaran kehidupan sosial masyarakat.

Posisinya sebagai calon reformis diyakinkan dukungan dua mantan presiden Iran, yakni Akbar Hashemi Rafsanjani dan Muhammad Khatami. Berikut, rakyat Iran sudah sumpek dengan delapan tahun kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad yang konservatif, yang membawa Iran ke situasi ekonomi-politik yang sangat sulit.

Ahmadinejad, yang tadinya disambut gembira ketika memenangi pemilihan presiden periode pertama pada 2005-menggantikan Muhammad Khatami yang tidak bisa mengikuti pemilihan presiden setelah berkuasa dua periode--karena kehidupannya yang sangat sederhana dan menjanjikan kehidupan ekonomi yang lebih baik bagi seluruh rakyat Iran, ternyata membawa mimpi buruk.

Tindakan pertama yang dilakukan ialah mencabut segel yang dipasang Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada 2005 di situs-situs reaktor nuklir Iran sebagai hasil negosiasi Iran dan IAEA untuk menghindari konfrontasi dengan negara-negara Arab, Barat-Israel. Hasil negosiasi itu, yang menghindarkan Iran dari sanksi ekonomi militer Barat-Israel, merupakan buah tangan Rowhani.

Tindakan menghidupkan kembali proses pengayaan nuklir Iran hingga 20%, yang diduga Barat sebagai upaya rezim Iran membuat senjata nuklir, semakin menciptakan ketegangan serta malah memperburuk hubungan Iran dan Barat. Kebijakan-kebijakan Ahmadinejad untuk konsolidasi konservatif di dalam negeri justru berbuah sebaliknya. Iran semakin dijauhi komunitas internasional dan menciptakan perpecahan di dalam negeri antara kubu konservatif dan reformis.

Pada Pemilihan Presiden 2009, jutaan warga Iran turun ke jalan memprotes hasil pemilu yang diumumkan pemerintah, di saat Ahmadinejad dinyatakan menang untuk kedua kalinya. Mantan ketua parlemen Iran Mehdi Karubi dan mantan perdana menteri Iran di era Khomeini, Mir Mohsen Musavi, menyatakan Dewan Garda yang menyelenggarakan pemilu bertindak curang. Hassan Rowhani termasuk tokoh yang memprotes hasil pemilu itu. Beruntung, ia tidak ditahan sebagaimana Karubi dan Musavi yang hingga hari ini masih dikenai tahanan rumah.

Tak mengherankan, segera setelah pemerintah mengumumkan Rowhani sebagai pemenang pemilu dengan suara sedikit lebih besar dari 50%, meninggalkan lawan-lawannya jauh di belakang, jutaan rakyat Iran kembali turun ke jalan. Namun kali ini bukan memprotes hasil pemilu, melainkan merayakan kemenangan Rowhani. Ulama cerdas yang menguasai lima bahasa, yakni Jerman, Prancis, Inggris, Rusia, dan Arab, itu pernah menduduki berbagai lembaga strategis negara.

Bagaimanapun juga, setelah dilantik pada 3 Agustus, ia akan segera menghadapi masalah-masalah besar dan strategis yang ditinggalkan Ahmadinejad. Perbaikan ekonomi Iran, yang dijanjikan Rowhani, belum tentu dapat direalisasi tanpa mengubah kebijakan luar negeri yang dilakukan Ahmadinejad. Bisakah ia menjawab harapan Barat-Israel dan Arab untuk membekukan program nuklir Iran seperti yang dilakukannya pada 2005 setelah berunding dengan Jerman, Prancis, dan Inggris? Setidaknya ia bisa membangun kepercayaan kepada musuh-musuh negaranya bahwa mereka tak perlu khawatir karena program nuklir Iran benar-benar bertujuan damai dengan cara meyakinkan IAEA.

Hal itu tidak mudah karena program nuklir Iran telah menjadi konsensus nasional. Sikap lunak terhadap isu tersebut dikhawatirkan akan memberi indikasi lemahnya Iran. Pada 2005 ketika ia melakukan itu, kritik dilancarkan kepadanya.
Akan tetapi kalau tak mampu membuat terobosan yang memuaskan Barat sehingga sanksi bisa dicabut, ia tak akan bisa mewujudkan harapan warga Iran yang telah memilihnya.

Isu lain adalah krisis Suriah. Bisakah pemerintahan Rowhani menarik dukungannya terhadap rezim Presiden Bashar al-Assad sebagaimana yang diharapkan negara-negara Arab dan Barat? Iran ngotot mendukung rezim Assad yang telah menyebabkan kematian lebih dari 90 ribu orang dan menciptakan lebih dari satu juta pengungsi Suriah karena Suriah merupakan satusatunya sekutu Arabnya yang paling setia.

Selain itu, secara geostrategic, Suriah sangat penting bagi pengaruh Iran di Timur Tengah. Negara itu bertetangga dengan Israel, Libanon, dan Irak sehingga menjadi ujung tombak menghadapi Israel. Perubahan yang terlalu radikal atas dua isu tadi mungkin akan ditentang Ayatullah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran yang konservatif. Isu lain, apakah Rowhani bersedia membiarkan media-media reformis dihidupkan kembali?

Pada 1999, ketika warga Iran turun ke jalan menentang penutupan puluhan media reformis, Rowhani--yang ketika itu duduk di Dewan Per tahanan Iran--ikut menumpas demonstrasi itu. Para pendukungnya tentunya berharap Rowhani kini membiarkan berjamurnya media-media reformis. Politik détente terhadap tetangga Arabnya di Teluk, sebagaimana dilakukan Khatami dulu, juga harus dilakukan untuk meredakan ketegangan di kawasan strategis itu. Namun, itu berarti rezim Rowhani harus menarik dukungannya terhadap warga Syiah di Bahrain yang menuntut perubahan di negara yang diperintah minoritas Sunni.

Bila Rowhani mampu melakukan terobosan-terobosan yang diterima musuh-musuhnya di kawasan dan Barat pimpinan AS sehingga berujung pada pencabutan sanksi dan keluar dari isolasi internasional, Iran akan kembali berjaya di panggung internasional mengingat posisi strategis mereka di kawasan itu.

Bila sebaliknya, ketika ia tak bisa mewujudkan harapan mayoritas warga Iran yang mendukungnya karena dicekal Khamenei yang menguasai seluruh organ penting negara, Iran akan semakin terpuruk secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sekarang saja ratusan kaum terdidik Iran setiap bulan keluar dari negara mereka menuju negara-negara maju untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar