|
KOMPAS,
27 Juni 2013
Di
negara Dunia Ketiga, seperti NKRI ini, kebanyakan pembangunan berskala besar di
berbagai bidang kegiatan—baik industri, perdagangan, maupun jasa—digerakkan dan
dikelola oleh korporasi makro multinasional. Di Asia Tenggara, khususnya,
digerakkan konglomerat warga keturunan China.
Karena
bidang politik dan pemerintahan formal masih terpegang di tangan kelompok elite
birokrat pribumi, yang terjadi adalah kerja sama di bawah tangan antara para
konglomerat yang memerlukan izin dan fasilitas formal dari birokrat elite
pribumi. Sementara itu, sebaliknya, birokrat elite pribumi memerlukan
gratifikasi dari para konglomerat dengan dalih gaji formalnya kecil dan
fasilitas yang tersedia terbatas.
Contoh
sekilas saja, di Padang, LG, untuk mendapatkan izin membangun kompleks mal,
hotel, sekolah, rumah sakit swasta bertaraf internasional, merasa perlu
menyerahkan bantuan keuangan kepada sejumlah lembaga sosial, adat, agama, dan
pendidikan. Masing-masing Rp 50 juta disampaikan secara terbuka dan resmi.
Bayangkan, berapa gratifikasi yang tak mungkin diberikan secara terbuka, tetapi
di bawah tangan, yang didapatkan para pejabat yang di tangannya terpegang izin
membangun megaproyek berkelas internasional dan bertingkat belasan ataupun
puluhan lantai seperti di Jakarta dan kota besar lainnya itu?
Ketentuan
perundang-undangan secara formal di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini,
bagaimanapun, melarang gratifikasi itu. Karena itulah, puluhan bupati, wali
kota, gubernur, dan para pejabat di pusat dan di daerah didelik dan
dipenjarakan meski dengan hukuman yang rata-rata relatif ringan.
Praktik
gratifikasi ini, bagaimanapun, hanyalah bagian kecil dari jaringan manifestasi
perbuatan korupsi yang bersimaharajalela di NKRI ini, yang oleh dunia telah
dicap sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Birokrasi pribumi yang
feodalistik-hedonistik dengan ekonomi yang liberal-kapitalistik di bawah
kendali para konglomerat nonpribumi ternyata telah bekerja sama dalam membangun
NKRI ini sejak masa Orde Baru di akhir 1970-an sampai ke masa pasca-Reformasi
sekarang ini.
Fakta
berbicara
Memang,
tak pelak dan tak terbantahkan, pembangunan infrastruktur dan lainnya—terutama
di kota-kota besar—berjalan. Tingkat perkembangan ekonomi secara statistik juga
menggembirakan, yang lalu dijadikan sebagai buah dari keberhasilan usaha rezim
Orde Reformasi yang sedang berkuasa sekarang ini membangun negeri. Namun, hal
itu juga karena praktis semua sumber kekayaan alam negeri ini dilimpahkan
penguasaannya kepada para korporator multinasional, khususnya para konglomerat
nonpribumi itu.
Sukar
membayangkannya, tetapi itu adalah fakta yang berbicara. Jutaan hektar tanah yang
tadinya tanah ulayat rakyat oleh pemerintah diserahkan hak guna usahanya kepada
para korporator multinasional dan konglomerat WNI untuk dijadikan areal
perkebunan berskala besar, pertambangan gas dan minyak bumi, pertambangan
galian mineral bermacam rupa, serta jutaan hektar hutan dengan kekayaan alam
dan rimba kayu khususnya.
Karena
ini negara maritim dengan ribuan pulau, tambahkanlah pula kekayaan air dan
lautnya yang semua juga diserahkan kepada kelompok korporator dan konglomerat
yang sama. Padahal, jumlah mereka hanya beberapa ratus, tetapi dengan itu semua
kelompok terkaya di Indonesia ini adalah juga mereka.
Gratifikasi
adalah gula yang manis, yang tanpa berbuat pun semua jadi. Kita tinggal
menentukan, berapa lu dapat dan berapa gua dapat. Pembangunan pasti akan jalan
karena semua itu gua yang menentukan dan lu yang kerjakan. Rakyat? Mereka kan
sejak dulu sudah seperti itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar