Senin, 17 Juni 2013

TKI “Overstay” dan “Overpede”

TKI “Overstay” dan “Overpede”
Nur Khasanah ;   Bekas TKW di Abu Dhabi, Kini guru di Batang
SUARA MERDEKA, 15 Juni 2013


"TKI juga harus menyadari bahwa hidup atau bekerja di negeri orang tidak bisa bertindak semau sendiri"

PERSOALAN yang menimpa TKI yang bekerja di luar negeri, terutama Timur Tengah, bermunculan tanpa henti. Kericuhan yang melibatkan ribuan TKI di kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah Arab Saudi, beberapa hari lalu menambah ketidaknyamanan komunikasi antara pekerja migran dan pemerintah RI. Wajah birokrasi Indonesia pun kembali dipertaruhkan di mata dunia internasional. Tiap kali terjadi permasalahan mengenai TKI, sejumlah pihak saling tuding untuk membela kepentingan masing-masing. Ironisnya, terkait kejadian tersebut Menakertrans Muhaimin Iskandar berkomentar, ”Itu hanya plastik yang dibakar, janganlah dibesar-besarkan,” katanya kepada sejumlah wartawan di kantornya. (SM, 11/6/13). 

Pemerintah seolah-olah tidak merasa kehilangan muka. Permasalahannya memang bukan pada benda apa yang dibakar melainkan kenapa pekerja migran tersebut marah dan kecewa pada pemerintah. Ada apa dengan birokrasi keimigrasian selama ini sehingga banyak TKI berstatus ilegal dan berkesan kurang memedulikan kelengkapan dokumen.

Meskipun kerusuhan itu terjadi spontan dari akumulasi kekesalan, realitas itu berdampak buruk bagi TKI, yang bisa dicap arogan dan tidak tahu diri. Ibaratnya, dalam posisi overstay (ilegal) pun mereka masih berulah. Secara tidak langsung, itu merupakan tamparan bagi pemerintah kita yang kurang serius menangani TKI.

Namun kurang adil jika menyalahkan sepenuhnya pemerintah. Pasalnya selama ini pemerintah berupaya menangani TKI overstay meskipun belum maksimal. Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat menjelaskan, ada sekitar 50.000 WNI/ TKI overstay yang sudah mengurus dokumen ke KJRI Jeddah. Sebanyak 12.000 di antaranya sudah menerima surat perjalanan laksana paspor (SPLP), dan menyusul 6.000 lagi pada pekan ini. (www.bnp2tki.go.id).

Selama ini TKI overstay merasa enjoy dengan posisinya. Mereka lebih kerasan tinggal dan bekerja di negeri orang ketimbang di negeri sendiri yang tidak memiliki jaminan kesejahteraan. Hubungan emosional antara majikan dan TKI yang sudah terjalin akrab layaknya anggota keluarga, menjadikan sebagian pekerja migran merasa nyaman dan mengabaikan dokumen keimigrasian yang telah kedaluwarsa.

Selain itu, terkait dengan persoalan klasik seputar perekrutan TKI yang tidak prosedural dengan motif mencari keuntungan finansial.  Ada sindikat pengerah TKI yang berkeliaran ke kampung-kampung mengelabui ”calon korban” dengan menjanjikan pekerjaan di luar negeri berbekal paspor wisata.  Selain itu, ada calo tenaga kerja yang menawarkan tempat kerja dengan gaji lebih besar dari sebelumnya.   

Program ”Pemutihan”

Sebagai bagian dari reformasi ketenagakerjaan, pemerintah Saudi berencana menindak tegas pekerja asing ilegal. Sayang, pelaksanaan ”pemutihan” dokumen keimigrasian bagi TKI overstay di KJRI berjalan kurang menggembirakan. Terjadi  antrean panjang dan kericuhan tak terhindarkan sampai menelan korban jiwa.
Insiden tersebut tak cukup hanya disesali tetapi perlu dipertanyakan. Jangan-jangan kejadian tersebut terkait dengan mentalitas sebagian TKI yang terbiasa menunda-nunda waktu pengurusan dokumen keimigrasian. Mereka lebih suka menyelesaikannya menjelang tanggal kedaluwarsa. Begitu mendengar kabar batas akhir pengurusan SPLP, mereka berbondong-bondong dalam waktu bersamaan. Ketika pelayanan tersendat, secara sepihak mereka menyalahkan pemerintah atau petugas KJRI.  

Masyarakat Indonesia terbiasa berdesak-desakan di tempat pelayanan publik. Budaya tertib mengantre belum sepenuhnya melekat dalam kesadaran kolektif masyarakat. Dalam  hal antre-mengantre, masyarakat lebih suka saling mendahului dan ingin meraih yang terdepan dan tercepat memperoleh layanan. 

Mengapa sebagian TKI di Saudi begitu percaya diri (overpede) meskipun berstatus ilegal?  Apakah karena mereka malas mengurusi dokumen, benar-benar tidak tahu, atau sistem birokrasi yang kurang ramah? Kita sulit membayangkan dari sekitar 1,5 juta buruh migran kita di Saudi, 40 ribu lebih di antaranya overstay
Pekerja ilegal itu baru kaget setelah diancam mendapatkan hukuman. Pemerintah Saudi masih memberikan tenggang waktu sampai 3 Juli mendatang bagi TKI overstay untuk mengurus dokumen keimigrasian. Selebihnya pemerintah negara itu menindak tegas pekerja asing ilegal.

Tak mudah menyelesaikan persoalan TKI overstay. Selain perlu keseriusan dan ketegasan sikap  pemerintah, TKI juga harus menyadari bahwa hidup di negeri orang tidak bisa semau sendiri. Kepercayaan diri yang terlampau berlebihan justru menjadi bumerang bagi mereka dan dan pihak lain yang terkait. 

Sudah saatnya mengakhiri kebanggaan menjadi buruh migran. Apa pun dalihnya, menjadi buruh migran bukanlah jalan permanen menggapai kesejahteraan melainkan upaya darurat mengatasi impitan kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar