|
SUARA
MERDEKA, 15 Juni 2013
"TKI juga
harus menyadari bahwa hidup atau bekerja di negeri orang tidak bisa bertindak
semau sendiri"
PERSOALAN yang menimpa TKI yang bekerja di luar negeri,
terutama Timur Tengah, bermunculan tanpa henti. Kericuhan yang melibatkan
ribuan TKI di kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah Arab
Saudi, beberapa hari lalu menambah ketidaknyamanan komunikasi antara pekerja
migran dan pemerintah RI. Wajah birokrasi Indonesia pun kembali dipertaruhkan
di mata dunia internasional. Tiap kali terjadi permasalahan mengenai TKI,
sejumlah pihak saling tuding untuk membela kepentingan masing-masing.
Ironisnya, terkait kejadian tersebut Menakertrans Muhaimin Iskandar
berkomentar, ”Itu hanya plastik yang
dibakar, janganlah dibesar-besarkan,” katanya kepada sejumlah wartawan di
kantornya. (SM, 11/6/13).
Pemerintah seolah-olah tidak merasa kehilangan muka.
Permasalahannya memang bukan pada benda apa yang dibakar melainkan kenapa
pekerja migran tersebut marah dan kecewa pada pemerintah. Ada apa dengan
birokrasi keimigrasian selama ini sehingga banyak TKI berstatus ilegal dan berkesan
kurang memedulikan kelengkapan dokumen.
Meskipun kerusuhan itu terjadi spontan dari akumulasi
kekesalan, realitas itu berdampak buruk bagi TKI, yang bisa dicap arogan dan
tidak tahu diri. Ibaratnya, dalam posisi overstay
(ilegal) pun mereka masih berulah. Secara tidak langsung, itu merupakan
tamparan bagi pemerintah kita yang kurang serius menangani TKI.
Namun kurang adil jika menyalahkan sepenuhnya pemerintah.
Pasalnya selama ini pemerintah berupaya menangani TKI overstay meskipun belum
maksimal. Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat menjelaskan, ada sekitar 50.000
WNI/ TKI overstay yang sudah mengurus dokumen ke KJRI Jeddah. Sebanyak 12.000
di antaranya sudah menerima surat perjalanan laksana paspor (SPLP), dan
menyusul 6.000 lagi pada pekan ini. (www.bnp2tki.go.id).
Selama ini TKI overstay
merasa enjoy dengan posisinya. Mereka
lebih kerasan tinggal dan bekerja di negeri orang ketimbang di negeri sendiri
yang tidak memiliki jaminan kesejahteraan. Hubungan emosional antara majikan
dan TKI yang sudah terjalin akrab layaknya anggota keluarga, menjadikan
sebagian pekerja migran merasa nyaman dan mengabaikan dokumen keimigrasian yang
telah kedaluwarsa.
Selain itu, terkait dengan persoalan klasik seputar
perekrutan TKI yang tidak prosedural dengan motif mencari keuntungan
finansial. Ada sindikat pengerah TKI yang berkeliaran ke kampung-kampung
mengelabui ”calon korban” dengan menjanjikan pekerjaan di luar negeri berbekal
paspor wisata. Selain itu, ada calo tenaga kerja yang menawarkan tempat
kerja dengan gaji lebih besar dari sebelumnya.
Program
”Pemutihan”
Sebagai bagian dari reformasi ketenagakerjaan, pemerintah
Saudi berencana menindak tegas pekerja asing ilegal. Sayang, pelaksanaan
”pemutihan” dokumen keimigrasian bagi TKI overstay
di KJRI berjalan kurang menggembirakan. Terjadi antrean panjang dan
kericuhan tak terhindarkan sampai menelan korban jiwa.
Insiden tersebut tak cukup hanya disesali tetapi perlu
dipertanyakan. Jangan-jangan kejadian tersebut terkait dengan mentalitas sebagian
TKI yang terbiasa menunda-nunda waktu pengurusan dokumen keimigrasian. Mereka
lebih suka menyelesaikannya menjelang tanggal kedaluwarsa. Begitu mendengar
kabar batas akhir pengurusan SPLP, mereka berbondong-bondong dalam waktu
bersamaan. Ketika pelayanan tersendat, secara sepihak mereka menyalahkan
pemerintah atau petugas KJRI.
Masyarakat Indonesia terbiasa berdesak-desakan di tempat
pelayanan publik. Budaya tertib mengantre belum sepenuhnya melekat dalam
kesadaran kolektif masyarakat. Dalam hal antre-mengantre, masyarakat
lebih suka saling mendahului dan ingin meraih yang terdepan dan tercepat
memperoleh layanan.
Mengapa sebagian TKI di Saudi begitu percaya diri (overpede) meskipun berstatus
ilegal? Apakah karena mereka malas mengurusi dokumen, benar-benar tidak
tahu, atau sistem birokrasi yang kurang ramah? Kita sulit membayangkan dari
sekitar 1,5 juta buruh migran kita di Saudi, 40 ribu lebih di antaranya overstay.
Pekerja ilegal itu baru kaget setelah diancam mendapatkan
hukuman. Pemerintah Saudi masih memberikan tenggang waktu sampai 3 Juli
mendatang bagi TKI overstay untuk
mengurus dokumen keimigrasian. Selebihnya pemerintah negara itu menindak tegas
pekerja asing ilegal.
Tak mudah menyelesaikan persoalan TKI overstay. Selain perlu keseriusan dan ketegasan sikap
pemerintah, TKI juga harus menyadari bahwa hidup di negeri orang tidak bisa
semau sendiri. Kepercayaan diri yang terlampau berlebihan justru menjadi
bumerang bagi mereka dan dan pihak lain yang terkait.
Sudah saatnya mengakhiri kebanggaan menjadi buruh migran.
Apa pun dalihnya, menjadi buruh migran bukanlah jalan permanen menggapai
kesejahteraan melainkan upaya darurat mengatasi impitan kemiskinan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar