Senin, 17 Juni 2013

Diplomasi Multijalur

Diplomasi Multijalur
Anna Yulia Hartati ;   Peneliti pada Lab Diplomasi,
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA, 15 Juni 2013


PEMERINTAH Indonesia harus bisa memetik hikmah dari insiden di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah Arab Saudi pada Minggu (9/6/13) sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Kerusuhan itu terkait dengan kelambanan pemrosesan pembuatan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) yang memicu emosi ribuan tenaga kerja Indonesia (TKI).

Buruh migran itu membakar plastik dan kertas, serta melemparkan batu ke dalam areal gedung konsulat. Emosi tidak terelakkan karena mereka terlalu lama menunggu dalam kepungan udara panas, untuk mengurus dokumen terkait amnesti. ”Pemutihan dokumen” itu merupakan kebijakan pemerintah Saudi yang bisa menghindarkan TKI yang tak memiliki dokumen sah atau izin tinggal sudah kedaluwarsa (overstay), dari ancaman hukuman penjara.

Pemberitaan media massa menyebutkan sekitar 180.000 pekerja asing ilegal telah meninggalkan Saudi sejak 1 April 2013 berdasarkan kebijakan pengampunan tersebut, yang memungkinkan mereka bisa mendapatkan dokumen imigrasi, atau pergi dari Saudi tanpa harus menjalani hukuman. Sejak awal tahun tercatat sudah sekitar 380.000 pekerja asing meninggalkan negara itu.

Para TKI yang bekerja tanpa dokumen sah di Saudi khawatir berhadapan dengan hukum mengingat periode amnesti tersebut berakhir pada 3 Juli 2013. Pelanggar diancam hukuman hingga 2 tahun penjara dan denda sampai 100.000 riyal (sekitar Rp 265 juta). Berdasarkan data statistik otoritas di Saudi, ada sekitar 8 juta ekspatriat bekerja di kerajaan itu. Para ekonom mengatakan, ada sekitar 2 juta pekerja asing, termasuk dari Indonesia, yang tak terdaftar. Hal ini menjadi masalah bagi pemerintah RI karena buruh migran yang tak memiliki dokumen resmi pasti berhadapan dengan hukum di negara tujuan.

Program amnesti itu bertujuan menciptakan kesempatan kerja yang lebih besar bagi penganggur di Saudi, dan salah satu cara adalah mengurangi jumlah pekerja asing. Faktanya banyak pekerja migran, termasuk dari negara kita, yang bersedia menjalani pekerjaan bergaji rendah, yang tak diminati oleh orang Saudi.
Ada beberapa hikmah yang bisa kita petik terkait dengan kerusuhan di gedung konsulat di Jeddah. Pertama; ketegasan pemerintah terkait pengiriman buruh migran. Sebelum memberangkatkan, pemerintah harus jeli melihat jenis kontrak, majikan, kondisi di negara tujuan, sistem, dan mekanismenya.

Kedua; kebijakan moratorium. Kebijakan untuk mengevaluasi moratorium harus terus dilakukan, dan yang terpenting harus ada perjanjian tertulis antardua negara menyangkut perlindungan TKI. Evaluasi juga harus terus dilakukan terkait jenis pekerjaan, dalam hal ini lebih baik mengirim TKI untuk bidang formal. Bila kita mengirimkan tenaga untuk posisi penata laksana rumah tangga (terminologi dari Kemenakertrans untuk TKW), berisiko menghadapi banyak permasalahan, antara lain terkait hubungan dengan majikan.

Visa Umrah

Ketiga; sosialisasi harus terus digalakkan di kalangan masyarakat terkait kebijakan terbaru tentang buruh migran. Memang tidak bisa dimungkiri permasalahan TKI di Saudi sangat kompleks sehingga pihak KJRI dan KBRI harus lebih aktif untuk memberikan informasi terkait kebijakan buruh migran di negara tersebut.
Keempat; mengembangkan diplomasi multijalur atau multi-track diplomacy (Louise Diamond dan John McDonald, 1996) khusus untuk menangani persoalan TKI. Diplomasi itu melibatkan 9 komponen, yaitu pemerintah, kelompok NGO, kelompok bisnis, kelompok agama, warga negara, aktivitas penelitian, jalur advokasi, penyedia dana, dan media. Bisa tercapai hasil maksimal bila sinergitas 9 komponen itu berjalan baik.

Pemerintah dan TKI juga harus memperhatikan kondisi di Saudi. Kita patut menelaah pernyataan anggota DPD KH Sofyan Yahya MA yang mengatakan di negara itu kini banyak mafia. Warga asli Saudi turut memicu pelanggaran moratorium. Saat kali pertama moratorium diterapkan, warga Saudi yang memakai tenaga TKI kelabakan karena ketergantungan mereka terhadap pekerja asing sangat tinggi. Situasi itu yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak tertentu supaya TKI tetap bisa bekerja di Saudi kendati mengabaikan prosedur keimigrasian, semisal cukup menggunakan visa umrah.

Pemerintah jangan menganggap enteng kerusuhan di KJRI Jeddah karena penyebab dari insiden itu bisa diketahui secara jelas, yakni kemenumpukan masalah dan pemerintah kita tak bisa menyelesaikan persoalan itu satu demi satu dengan baik. Sebaliknya pemerintah mengambil pelajaran bahwa citra atau persepsi masyarakat internasional terkait kerusuhan itu harus menjadi pertimbangan, menyangkut perlindungan terhadap warga negara kita yang berada atau bekerja di luar negeri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar