|
SUARA
MERDEKA, 15 Juni 2013
PEMERINTAH Indonesia harus bisa memetik hikmah dari insiden
di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah Arab Saudi pada Minggu
(9/6/13) sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Kerusuhan itu terkait dengan
kelambanan pemrosesan pembuatan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) yang
memicu emosi ribuan tenaga kerja Indonesia (TKI).
Buruh migran itu membakar plastik dan kertas, serta
melemparkan batu ke dalam areal gedung konsulat. Emosi tidak terelakkan karena
mereka terlalu lama menunggu dalam kepungan udara panas, untuk mengurus dokumen
terkait amnesti. ”Pemutihan dokumen” itu merupakan kebijakan pemerintah Saudi
yang bisa menghindarkan TKI yang tak memiliki dokumen sah atau izin tinggal
sudah kedaluwarsa (overstay), dari ancaman hukuman penjara.
Pemberitaan media massa menyebutkan sekitar 180.000 pekerja
asing ilegal telah meninggalkan Saudi sejak 1 April 2013 berdasarkan kebijakan
pengampunan tersebut, yang memungkinkan mereka bisa mendapatkan dokumen
imigrasi, atau pergi dari Saudi tanpa harus menjalani hukuman. Sejak awal tahun
tercatat sudah sekitar 380.000 pekerja asing meninggalkan negara itu.
Para TKI yang bekerja tanpa dokumen sah di Saudi khawatir
berhadapan dengan hukum mengingat periode amnesti tersebut berakhir pada 3 Juli
2013. Pelanggar diancam hukuman hingga 2 tahun penjara dan denda sampai 100.000
riyal (sekitar Rp 265 juta). Berdasarkan data statistik otoritas di Saudi, ada
sekitar 8 juta ekspatriat bekerja di kerajaan itu. Para ekonom mengatakan, ada
sekitar 2 juta pekerja asing, termasuk dari Indonesia, yang tak terdaftar. Hal
ini menjadi masalah bagi pemerintah RI karena buruh migran yang tak memiliki
dokumen resmi pasti berhadapan dengan hukum di negara tujuan.
Program amnesti itu bertujuan menciptakan kesempatan kerja
yang lebih besar bagi penganggur di Saudi, dan salah satu cara adalah
mengurangi jumlah pekerja asing. Faktanya banyak pekerja migran, termasuk dari
negara kita, yang bersedia menjalani pekerjaan bergaji rendah, yang tak
diminati oleh orang Saudi.
Ada beberapa hikmah yang bisa kita petik terkait dengan
kerusuhan di gedung konsulat di Jeddah. Pertama; ketegasan pemerintah terkait
pengiriman buruh migran. Sebelum memberangkatkan, pemerintah harus jeli melihat
jenis kontrak, majikan, kondisi di negara tujuan, sistem, dan mekanismenya.
Kedua; kebijakan moratorium. Kebijakan untuk mengevaluasi
moratorium harus terus dilakukan, dan yang terpenting harus ada perjanjian
tertulis antardua negara menyangkut perlindungan TKI. Evaluasi juga harus terus
dilakukan terkait jenis pekerjaan, dalam hal ini lebih baik mengirim TKI untuk
bidang formal. Bila kita mengirimkan tenaga untuk posisi penata laksana rumah
tangga (terminologi dari Kemenakertrans untuk TKW), berisiko menghadapi banyak
permasalahan, antara lain terkait hubungan dengan majikan.
Visa Umrah
Ketiga; sosialisasi harus terus digalakkan di kalangan
masyarakat terkait kebijakan terbaru tentang buruh migran. Memang tidak bisa
dimungkiri permasalahan TKI di Saudi sangat kompleks sehingga pihak KJRI dan
KBRI harus lebih aktif untuk memberikan informasi terkait kebijakan buruh
migran di negara tersebut.
Keempat; mengembangkan diplomasi multijalur atau
multi-track diplomacy (Louise Diamond dan John McDonald, 1996) khusus untuk
menangani persoalan TKI. Diplomasi itu melibatkan 9 komponen, yaitu pemerintah,
kelompok NGO, kelompok bisnis, kelompok agama, warga negara, aktivitas
penelitian, jalur advokasi, penyedia dana, dan media. Bisa tercapai hasil
maksimal bila sinergitas 9 komponen itu berjalan baik.
Pemerintah dan TKI juga harus memperhatikan kondisi di
Saudi. Kita patut menelaah pernyataan anggota DPD KH Sofyan Yahya MA yang
mengatakan di negara itu kini banyak mafia. Warga asli Saudi turut memicu
pelanggaran moratorium. Saat kali pertama moratorium diterapkan, warga Saudi
yang memakai tenaga TKI kelabakan karena ketergantungan mereka terhadap pekerja
asing sangat tinggi. Situasi itu yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak tertentu
supaya TKI tetap bisa bekerja di Saudi kendati mengabaikan prosedur
keimigrasian, semisal cukup menggunakan visa umrah.
Pemerintah jangan menganggap enteng kerusuhan di KJRI
Jeddah karena penyebab dari insiden itu bisa diketahui secara jelas, yakni
kemenumpukan masalah dan pemerintah kita tak bisa menyelesaikan persoalan itu
satu demi satu dengan baik. Sebaliknya pemerintah mengambil pelajaran bahwa
citra atau persepsi masyarakat internasional terkait kerusuhan itu harus
menjadi pertimbangan, menyangkut perlindungan terhadap warga negara kita yang
berada atau bekerja di luar negeri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar