|
KOMPAS,
16 Juni 2013
Di
masa lalu, orangtua atau keluarga tiri memiliki konotasi buruk sebagai keluarga
yang semestinya tak terjadi, selalu bermasalah, dan tak akan sebaik orangtua
kandung.
Sikap
ini mungkin merupakan perluasan dari stigma mengenai perpisahan atau
meninggalnya salah satu orangtua. Prasangka terhadap keluarga tiri jelas
terlihat dalam mitos ibu tiri yang egois, galak, dan jahat yang masih tumbuh
dengan subur sampai sekarang melalui buku-buku ataupun film.
Sebenarnya
tidak adil selalu melihat orangtua tiri sebagai penjahat. Mereka juga perlu
mendapat informasi dan dukungan yang dibutuhkan. Tulisan berikut dimaksudkan
untuk memahami keadaan anak yang akan menjadi tanggung jawab para orangtua tiri
sehingga orangtua dapat mempersiapkan diri dan berperan secara lebih positif.
Reaksi
anak
Memang
perlu diakui bahwa kehidupan di keluarga tiri sangat berbeda dengan keluarga
kandung. Menurut Edward Teyber (2001), umumnya anak-anak yang akan mempunyai
orangtua tiri menghadapi dua persoalan.
Pertama,
sulit bagi banyak anak untuk menerima bahwa ibu atau ayah baru bergabung dengan
keluarga mereka. Mereka sering merasa seolah-olah ibu atau ayah yang baru akan
menggantikan orangtua kandung sehingga tentu saja mereka menolak perubahan ini.
Secara
khusus anak-anak usia sekolah dan remaja biasanya sangat tak acuh kepada
”pengganti” orangtua kandung mereka. Bahkan, jika orangtua kandung mereka
kooperatif, anak-anak masih takut mereka akan mengkhianati kesetiaan terhadap
orangtua kandung yang telah pergi jika mereka menerima orangtua baru.
Orang
dewasa seyogianya tidak menekan anak untuk mengakui adanya masalah dengan
orangtua kandung mereka atau untuk menerima hubungan pribadi dengan orangtua
tiri baru selama dua tahun pertama.
Kebanyakan anak pada awalnya menolak
orangtua baru dan mencegah orangtua tiri dari perasaan bahwa mereka juga
menjadi milik keluarga. Karena itu, sebagai orangtua tiri, Anda perlu siap
menerima beban kemarahan dan penolakan dari anak-anak tiri Anda. Acap kali
terasa sulit bagi kebanyakan orang dewasa ketika anak-anak hanya mau berbicara
dengan orangtua kandungnya saja ataupun terus mengganggu dan menolak tawaran
dari orangtua tiri.
Persoalan
kedua adalah rasa takut kehilangan orangtua kandung dengan datangnya pasangan
yang baru. Anak-anak telah menderita kerugian melalui perpisahan perkawinan
ataupun meninggalnya salah satu orangtua. Karena itu, mereka akan sangat peka
dan reaktif pada kerugian lebih lanjut, baik kerugian yang nyata maupun yang
mereka rasakan. Pernikahan kembali membawa orang dewasa lain terlibat ke dalam
jalinan ”keluarga” yang telah kuat dan akan terjadi perubahan besar atas
kebersamaan yang telah dikembangkan selama satu orangtua kandung dan anak
bersatu.
Pada
awalnya anak-anak sering merasa tergeser akibat campur tangan orangtua baru dan
mencoba untuk menjaga orangtua kandung sebagai milik mereka sendiri. Anak-anak
tidak merasa siap jika harus berbagi perhatian dan kasih sayang dari orangtua
kandung. Banyak anak yang cemburu, kompetitif, dan menolak pasangan baru
orangtua kandungnya.
Penyesuaian
anak
Meskipun
anak laki-laki lebih sering memiliki kesulitan menyesuaikan diri dengan
perceraian dan hidup serumah dengan ibu tunggal, melalui pernikahan kembali ibu
gambarannya menjadi berubah. Anak perempuan biasanya memiliki lebih banyak
kesulitan menyesuaikan diri dengan orangtua tiri daripada anak laki-laki. Anak
laki-laki bisa mendapatkan sesuatu dari ayah tirinya yang hangat dan mendukung.
Jika ayah tiri mereka responsif secara emosional, kebanyakan anak laki-laki
secara bertahap dapat menerima minat mereka dan berkembanglah hubungan yang
saling memuaskan.
Para
peneliti di negara Barat telah menemukan bahwa beberapa tahun setelah
pernikahan kembali anak-anak dengan ayah tiri yang ”kebapakan” dan suka
menolong akan menyesuaikan diri dan berkembang lebih positif daripada anak
laki-laki yang terus hidup dengan ibu tunggalnya saja.
Di
lain pihak, anak perempuan cenderung lebih cepat mengatasi terjadinya
perpecahan dan perpisahan perkawinan orangtua serta berfungsi lebih baik di
rumah bersama ibu tunggalnya. Ikatan kuat antara ibu dan anak sering berkembang
dalam kehidupan mereka sehingga hubungan dekat ini menjadi terancam oleh adanya
pernikahan kembali.
Kebanyakan
anak perempuan enggan melepas hubungan dekat dengan ibu mereka bersama orangtua
baru sehingga sulit menerima kehadiran ayah tiri. Meskipun sebagian besar ayah
tiri akhirnya dapat mengadopsi peran pengasuhan aktif dengan anak-anak, akan
terus ditolak oleh anak perempuan tirinya.
Tentang
usia anak, secara umum terlihat bahwa semakin muda anak-anak pada saat
terjadinya pernikahan kembali semakin mudah mereka menyesuaikan diri dengan
orangtua tiri baru. Para peneliti menemukan bahwa masa praremaja adalah masa
yang sangat sulit untuk menghadapi kondisi ini. Hal ini disebabkan adanya
kepedulian terhadap munculnya seksualitas mereka sendiri yang membuat, bahkan
tampilan kasih sayang sesedikit apa pun antara orangtua kandung dan pasangan
barunya, tak dapat mereka terima.
Untuk
mengurangi ketegangan dan meningkatkan ikatan keluarga, orangtua tiri perlu
mengambil alih peran pengasuhan dan disiplin secara perlahan. Sebaiknya di awal
peran tersebut masih dipegang oleh orangtua kandung. Secara khusus ibu atau
ayah kandung harus terus memantau dan mengawasi anak-anak mereka, terutama
selama masa remaja, dan tidak membiarkan diri mereka menjadi berkecil hati dan
merasa dipisahkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar