Senin, 17 Juni 2013

Anti Punya Orangtua Tiri, Mengapa?

Anti Punya Orangtua Tiri, Mengapa?
Agustine Dwiputri ;   Penulis Rubrik Konsultasi Psikologi Kompas
KOMPAS, 16 Juni 2013


Di masa lalu, orangtua atau keluarga tiri memiliki konotasi buruk sebagai keluarga yang semestinya tak terjadi, selalu bermasalah, dan tak akan sebaik orangtua kandung.

Sikap ini mungkin merupakan perluasan dari stigma mengenai perpisahan atau meninggalnya salah satu orangtua. Prasangka terhadap keluarga tiri jelas terlihat dalam mitos ibu tiri yang egois, galak, dan jahat yang masih tumbuh dengan subur sampai sekarang melalui buku-buku ataupun film.

Sebenarnya tidak adil selalu melihat orangtua tiri sebagai penjahat. Mereka juga perlu mendapat informasi dan dukungan yang dibutuhkan. Tulisan berikut dimaksudkan untuk memahami keadaan anak yang akan menjadi tanggung jawab para orangtua tiri sehingga orangtua dapat mempersiapkan diri dan berperan secara lebih positif.

Reaksi anak

Memang perlu diakui bahwa kehidupan di keluarga tiri sangat berbeda dengan keluarga kandung. Menurut Edward Teyber (2001), umumnya anak-anak yang akan mempunyai orangtua tiri menghadapi dua persoalan.

Pertama, sulit bagi banyak anak untuk menerima bahwa ibu atau ayah baru bergabung dengan keluarga mereka. Mereka sering merasa seolah-olah ibu atau ayah yang baru akan menggantikan orangtua kandung sehingga tentu saja mereka menolak perubahan ini.

Secara khusus anak-anak usia sekolah dan remaja biasanya sangat tak acuh kepada ”pengganti” orangtua kandung mereka. Bahkan, jika orangtua kandung mereka kooperatif, anak-anak masih takut mereka akan mengkhianati kesetiaan terhadap orangtua kandung yang telah pergi jika mereka menerima orangtua baru.
Orang dewasa seyogianya tidak menekan anak untuk mengakui adanya masalah dengan orangtua kandung mereka atau untuk menerima hubungan pribadi dengan orangtua tiri baru selama dua tahun pertama. 

Kebanyakan anak pada awalnya menolak orangtua baru dan mencegah orangtua tiri dari perasaan bahwa mereka juga menjadi milik keluarga. Karena itu, sebagai orangtua tiri, Anda perlu siap menerima beban kemarahan dan penolakan dari anak-anak tiri Anda. Acap kali terasa sulit bagi kebanyakan orang dewasa ketika anak-anak hanya mau berbicara dengan orangtua kandungnya saja ataupun terus mengganggu dan menolak tawaran dari orangtua tiri.

Persoalan kedua adalah rasa takut kehilangan orangtua kandung dengan datangnya pasangan yang baru. Anak-anak telah menderita kerugian melalui perpisahan perkawinan ataupun meninggalnya salah satu orangtua. Karena itu, mereka akan sangat peka dan reaktif pada kerugian lebih lanjut, baik kerugian yang nyata maupun yang mereka rasakan. Pernikahan kembali membawa orang dewasa lain terlibat ke dalam jalinan ”keluarga” yang telah kuat dan akan terjadi perubahan besar atas kebersamaan yang telah dikembangkan selama satu orangtua kandung dan anak bersatu.

Pada awalnya anak-anak sering merasa tergeser akibat campur tangan orangtua baru dan mencoba untuk menjaga orangtua kandung sebagai milik mereka sendiri. Anak-anak tidak merasa siap jika harus berbagi perhatian dan kasih sayang dari orangtua kandung. Banyak anak yang cemburu, kompetitif, dan menolak pasangan baru orangtua kandungnya.

Penyesuaian anak

Meskipun anak laki-laki lebih sering memiliki kesulitan menyesuaikan diri dengan perceraian dan hidup serumah dengan ibu tunggal, melalui pernikahan kembali ibu gambarannya menjadi berubah. Anak perempuan biasanya memiliki lebih banyak kesulitan menyesuaikan diri dengan orangtua tiri daripada anak laki-laki. Anak laki-laki bisa mendapatkan sesuatu dari ayah tirinya yang hangat dan mendukung. Jika ayah tiri mereka responsif secara emosional, kebanyakan anak laki-laki secara bertahap dapat menerima minat mereka dan berkembanglah hubungan yang saling memuaskan.

Para peneliti di negara Barat telah menemukan bahwa beberapa tahun setelah pernikahan kembali anak-anak dengan ayah tiri yang ”kebapakan” dan suka menolong akan menyesuaikan diri dan berkembang lebih positif daripada anak laki-laki yang terus hidup dengan ibu tunggalnya saja.

Di lain pihak, anak perempuan cenderung lebih cepat mengatasi terjadinya perpecahan dan perpisahan perkawinan orangtua serta berfungsi lebih baik di rumah bersama ibu tunggalnya. Ikatan kuat antara ibu dan anak sering berkembang dalam kehidupan mereka sehingga hubungan dekat ini menjadi terancam oleh adanya pernikahan kembali.

Kebanyakan anak perempuan enggan melepas hubungan dekat dengan ibu mereka bersama orangtua baru sehingga sulit menerima kehadiran ayah tiri. Meskipun sebagian besar ayah tiri akhirnya dapat mengadopsi peran pengasuhan aktif dengan anak-anak, akan terus ditolak oleh anak perempuan tirinya.

Tentang usia anak, secara umum terlihat bahwa semakin muda anak-anak pada saat terjadinya pernikahan kembali semakin mudah mereka menyesuaikan diri dengan orangtua tiri baru. Para peneliti menemukan bahwa masa praremaja adalah masa yang sangat sulit untuk menghadapi kondisi ini. Hal ini disebabkan adanya kepedulian terhadap munculnya seksualitas mereka sendiri yang membuat, bahkan tampilan kasih sayang sesedikit apa pun antara orangtua kandung dan pasangan barunya, tak dapat mereka terima.


Untuk mengurangi ketegangan dan meningkatkan ikatan keluarga, orangtua tiri perlu mengambil alih peran pengasuhan dan disiplin secara perlahan. Sebaiknya di awal peran tersebut masih dipegang oleh orangtua kandung. Secara khusus ibu atau ayah kandung harus terus memantau dan mengawasi anak-anak mereka, terutama selama masa remaja, dan tidak membiarkan diri mereka menjadi berkecil hati dan merasa dipisahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar