|
KOMPAS,
22 Juni 2013
Sembilan
dari 12 personel Kopassus yang menyerang Lembaga Pemasyarakatan Cebongan,
Sleman, DI Yogyakarta, disidang di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta, Kamis,
20 Juni 2013.
Ingatan
kembali melayang ke Sabtu, 23 Maret 2013, dini hari, ketika sekelompok orang
bersenjata tidak dikenal mengenakan penutup muka menyerang LP Cebongan dan
menembak mati empat tahanan titipan polisi di sel mereka.
Keempat
tahanan asal NTT yang ditembak mati itu terlibat dalam kasus pembunuhan Sersan
Kepala Heru Santoso, anggota Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan, Surakarta, di
Hugo’s Café, Selasa, 19 Maret 2013. Itu sebabnya, sejak awal muncul dugaan kuat
bahwa sekelompok orang tidak dikenal itu adalah anggota Kopassus.
Kepala
LP Cebongan Sukamto Harto mengisahkan, Sabtu dini hari itu, kepada petugas
sipir di pintu utama, empat orang dari sekelompok orang tak dikenal itu mengaku
dari Polda DI Yogyakarta sambil menunjukkan surat berkop polda. Keempat orang
yang tidak mengenakan penutup muka itu menyatakan ingin membawa empat tersangka
kasus pembunuhan Sersan Satu Kepala Heru Santoso di Hugo’s Café, Selasa, 19
Maret 2013.
Ketika
permintaan mereka ditolak, mereka langsung mengancam akan meledakkan LP dengan
granat jika pintu tidak dibuka. Petugas dengan cepat membukakan pintu. Empat
orang itu, diikuti rekan-rekannya yang mengenakan penutup muka, lalu menyeret
sipir untuk menunjukkan empat tahanan yang dicari. Begitu bertemu, keempat
tahanan itu langsung ditembak mati di depan 31 tahanan lainnya.
Seluruh
peristiwa yang mencekam itu hanya berlangsung selama 15 menit, tetapi ketakutan
yang ditimbulkannya berlangsung lama. Perbuatan sekelompok orang tak dikenal
itu menuai kecaman keras, terutama setelah 17 hari kemudian diketahui bahwa
mereka adalah anggota Kopassus.
Perbuatan
yang dikategorikan sebagai tragedi kemanusiaan itu tidak boleh terjadi lagi,
dan diharapkan pelakunya dihukum seberat-beratnya. Memang, ancaman hukuman yang
dikenakan terhadap mereka adalah pidana mati atau hukuman seumur hidup atau
selama waktu tertentu maksimum selama 20 tahun.
Semula,
perbuatan sekelompok anggota Kopassus itu dikecam habis-habisan, tetapi kemudian
ada sebagian masyarakat yang bersyukur karena menganggap perbuatan itu sebagai
pemberantasan premanisme di Yogyakarta. Terlebih setelah mendengar bahwa motif
para pelaku adalah rasa setia kawan kepada almarhum Sersan Kepala Heru Santoso
yang tewas diserang beramai-ramai di Hugo’s Café, termasuk oleh keempat orang
yang tewas ditembak anggota Kopassus di LP Cebongan.
Sikap
mendua masyarakat itu muncul karena ada sebagian kalangan masyarakat menilai
bahwa yang diperangi sekelompok anggota Kopassus itu adalah maraknya premanisme
yang mereka saksikan atau alami sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
menganggap premanisme seakan-akan seperti dibiarkan oleh aparat keamanan, dalam
hal ini polisi.
Lebih
kompleks
Itu
sebabnya, ketika ada yang menghantam premanisme, apa pun motifnya, mereka
seperti menutup mata. Mereka bersyukur melihat hasilnya. Penilaian masyarakat
terhadap sesuatu peristiwa memang tidak hitam putih, tetapi lebih kompleks dari
itu, yakni abu-abu.
Pada
tahun 1980-an, ada seorang preman di bilangan Tanah Abang yang dikenal kerap
menjambret dan melakukan tindak kriminal lainnya. Lalu, pada suatu saat seorang
personel polisi menembak kaki preman itu tanpa mengeluarkan tembakan peringatan
hingga kakinya harus diamputasi. Kasusnya diramaikan oleh aktivis hak asasi
manusia dan media massa karena personel polisi itu dianggap tidak melakukan
tugasnya sesuai prosedur. Sebagian kalangan masyarakat pun marah kepada aktivis
dan media massa yang membela preman itu dengan mengatakan, di mana aktivis dan
media massa saat preman itu menjambret kalung emas milik ibu muda dan
melukainya dengan pisau beberapa hari sebelumnya.
Ya,
memang, persoalan tidak selalu hitam putih. Keadaan yang sama pun muncul dalam
kasus LP Cebongan. Ada beberapa pertanyaan yang muncul, pertama, mengapa sampai
anggota Kopassus itu main hakim sendiri? Kedua, mengapa keempat pemuda bersama
rekan-rekannya yang lain berani melakukan pembunuhan sadis di tempat umum
(dalam hal ini di Hugo’s Café)?
Militer
memang memiliki nilai dan tradisi yang berbeda dengan sipil. Militer
dipersiapkan untuk perang, dan di medan perang, rasa hormat kepada atasan dan
jiwa korsa menjadi mutlak. Itu sebabnya, dalam keadaan damai militer perlu
diberi ”mainan” atau dibuat sibuk untuk menyalurkan kelebihan energi yang sangat
diperlukan di medan perang.
Sementara
itu, premanisme tidak boleh dibiarkan berkembang. Tentunya, itu bukan hanya
merupakan tugas polisi, melainkan juga tugas instansi-instansi lain dan segenap
komponen masyarakat. Yang menjadi tugas polisi adalah memberantas premanisme
dengan menindak tegas preman yang melakukan tindakan kriminal. Aparat keamanan,
baik polisi maupun militer, sama sekali tidak boleh ”memelihara” atau bahkan
melindungi preman dengan alasan apa pun.
Sementara
itu, bagi preman harus disediakan pekerjaan agar mereka tidak terdorong untuk
melakukan tindakan melawan hukum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar