Minggu, 23 Juni 2013

Tidak Selalu Hitam Putih

Tidak Selalu Hitam Putih
James Luhulima ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 22 Juni 2013


Sembilan dari 12 personel Kopassus yang menyerang Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, disidang di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta, Kamis, 20 Juni 2013.
Ingatan kembali melayang ke Sabtu, 23 Maret 2013, dini hari, ketika sekelompok orang bersenjata tidak dikenal mengenakan penutup muka menyerang LP Cebongan dan menembak mati empat tahanan titipan polisi di sel mereka.

Keempat tahanan asal NTT yang ditembak mati itu terlibat dalam kasus pembunuhan Sersan Kepala Heru Santoso, anggota Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan, Surakarta, di Hugo’s Café, Selasa, 19 Maret 2013. Itu sebabnya, sejak awal muncul dugaan kuat bahwa sekelompok orang tidak dikenal itu adalah anggota Kopassus.

Kepala LP Cebongan Sukamto Harto mengisahkan, Sabtu dini hari itu, kepada petugas sipir di pintu utama, empat orang dari sekelompok orang tak dikenal itu mengaku dari Polda DI Yogyakarta sambil menunjukkan surat berkop polda. Keempat orang yang tidak mengenakan penutup muka itu menyatakan ingin membawa empat tersangka kasus pembunuhan Sersan Satu Kepala Heru Santoso di Hugo’s Café, Selasa, 19 Maret 2013.

Ketika permintaan mereka ditolak, mereka langsung mengancam akan meledakkan LP dengan granat jika pintu tidak dibuka. Petugas dengan cepat membukakan pintu. Empat orang itu, diikuti rekan-rekannya yang mengenakan penutup muka, lalu menyeret sipir untuk menunjukkan empat tahanan yang dicari. Begitu bertemu, keempat tahanan itu langsung ditembak mati di depan 31 tahanan lainnya.

Seluruh peristiwa yang mencekam itu hanya berlangsung selama 15 menit, tetapi ketakutan yang ditimbulkannya berlangsung lama. Perbuatan sekelompok orang tak dikenal itu menuai kecaman keras, terutama setelah 17 hari kemudian diketahui bahwa mereka adalah anggota Kopassus.

Perbuatan yang dikategorikan sebagai tragedi kemanusiaan itu tidak boleh terjadi lagi, dan diharapkan pelakunya dihukum seberat-beratnya. Memang, ancaman hukuman yang dikenakan terhadap mereka adalah pidana mati atau hukuman seumur hidup atau selama waktu tertentu maksimum selama 20 tahun.

Semula, perbuatan sekelompok anggota Kopassus itu dikecam habis-habisan, tetapi kemudian ada sebagian masyarakat yang bersyukur karena menganggap perbuatan itu sebagai pemberantasan premanisme di Yogyakarta. Terlebih setelah mendengar bahwa motif para pelaku adalah rasa setia kawan kepada almarhum Sersan Kepala Heru Santoso yang tewas diserang beramai-ramai di Hugo’s Café, termasuk oleh keempat orang yang tewas ditembak anggota Kopassus di LP Cebongan.

Sikap mendua masyarakat itu muncul karena ada sebagian kalangan masyarakat menilai bahwa yang diperangi sekelompok anggota Kopassus itu adalah maraknya premanisme yang mereka saksikan atau alami sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menganggap premanisme seakan-akan seperti dibiarkan oleh aparat keamanan, dalam hal ini polisi.

Lebih kompleks

Itu sebabnya, ketika ada yang menghantam premanisme, apa pun motifnya, mereka seperti menutup mata. Mereka bersyukur melihat hasilnya. Penilaian masyarakat terhadap sesuatu peristiwa memang tidak hitam putih, tetapi lebih kompleks dari itu, yakni abu-abu.

Pada tahun 1980-an, ada seorang preman di bilangan Tanah Abang yang dikenal kerap menjambret dan melakukan tindak kriminal lainnya. Lalu, pada suatu saat seorang personel polisi menembak kaki preman itu tanpa mengeluarkan tembakan peringatan hingga kakinya harus diamputasi. Kasusnya diramaikan oleh aktivis hak asasi manusia dan media massa karena personel polisi itu dianggap tidak melakukan tugasnya sesuai prosedur. Sebagian kalangan masyarakat pun marah kepada aktivis dan media massa yang membela preman itu dengan mengatakan, di mana aktivis dan media massa saat preman itu menjambret kalung emas milik ibu muda dan melukainya dengan pisau beberapa hari sebelumnya.

Ya, memang, persoalan tidak selalu hitam putih. Keadaan yang sama pun muncul dalam kasus LP Cebongan. Ada beberapa pertanyaan yang muncul, pertama, mengapa sampai anggota Kopassus itu main hakim sendiri? Kedua, mengapa keempat pemuda bersama rekan-rekannya yang lain berani melakukan pembunuhan sadis di tempat umum (dalam hal ini di Hugo’s Café)?

Militer memang memiliki nilai dan tradisi yang berbeda dengan sipil. Militer dipersiapkan untuk perang, dan di medan perang, rasa hormat kepada atasan dan jiwa korsa menjadi mutlak. Itu sebabnya, dalam keadaan damai militer perlu diberi ”mainan” atau dibuat sibuk untuk menyalurkan kelebihan energi yang sangat diperlukan di medan perang.

Sementara itu, premanisme tidak boleh dibiarkan berkembang. Tentunya, itu bukan hanya merupakan tugas polisi, melainkan juga tugas instansi-instansi lain dan segenap komponen masyarakat. Yang menjadi tugas polisi adalah memberantas premanisme dengan menindak tegas preman yang melakukan tindakan kriminal. Aparat keamanan, baik polisi maupun militer, sama sekali tidak boleh ”memelihara” atau bahkan melindungi preman dengan alasan apa pun.


Sementara itu, bagi preman harus disediakan pekerjaan agar mereka tidak terdorong untuk melakukan tindakan melawan hukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar