|
KOMPAS,
22 Juni 2013
Dalam wacana perpolitikan di Indonesia,
akhir-akhir ini banyak dikeluhkan suatu gejala di mana para pemimpin, tokoh
politik, publik politik, dan masyarakat politik pada umumnya telah meninggalkan
atau melupakan Pancasila sebagai ideologi politik yang menjadikan Pancasila
sebagai kerangka berpikir berbangsa, pedoman bertindak, dan motif berpolitik.
Dari kajian disertasinya, Dr Pramono Anung
terkejut menemukan fakta bahwa motif berpolitik para pemimpin politik mutakhir
Indonesia bukan bersumber dari idealisme, melainkan kombinasi dari uang dan kekuasaan,
yaitu menggunakan kekuasaan untuk mendapatkan uang atau menggunakan uang untuk
memperoleh kekuasaan. Inilah yang sering dipahami secara peyoratif sebagai
pragmatisme.
Gejala atau sinyalemen itu mengingatkan kita
pada tesis akhir ideologi, the end of
ideology, yang ditulis Daniel Bell (1960), tesis Francis Fukuyama tentang
pungkasan sejarah, The end of history,
dan manusia terakhir, the last man,
yang masih hidup di ujung sejarah dalam imajinasi Nietzche, yang ditulis staf
ahli Deplu AS itu di Foreign Affair
pada 1989, tahun runtuhnya Tembok Berlin yang jadi simbol runtuhnya ideologi
Sosialisme-Komunis.
Dalam tesis Bell, sosiolog Amerika terkemuka
beraliran kiri, akhir ideologi dimaksudkan sebagai tak munculnya lagi ide-ide
politik karena hegemoni Amerika- nisme yang pada 1960-an dilatari pembentukan Committe on Un-American Activities,
digerakkan senator Partai Republik, McCharthy, dan bertujuan membendung gerakan
yang dinilai anti-Amerika seperti, dalam konteks waktu itu, gagasan the New Left atau Kiri Baru.
Gejala akhir ideologi itu disesalkan Bell
karena hegemoni Amerikanisme telah membendung ide politik kritis, kreatif, dan
progresif yang berarti membunuh kebebasan/liberalisme yang dianut Amerika
sendiri.
Namun, tesis Fukuyama mengandung arti lain:
sorak kemenangan liberalisme politik, yaitu demokrasi liberal dan liberalisme
ekonomi, yaitu kapitalisme atas ideologi rival lain, khususnya Fasisme yang
runtuh 1945 dan Sosialisme-Komunis pada 1989. Liberalisme politik dan ekonomi
oleh Fukuyama dianggap puncak perkembangan pemikiran manusia dalam sistem
politik dan ekonomi yang dihasilkan proses survival
of the fittest sebagai hukum sosial yang dalam teori disebut Darwinisme
sosial itu.
Pancasila sebagai ideologi yang diusulkan
Bung Karno pada 1 Juni 1945 sebenarnya puncak perkembangan pemikiran politik di
masa perjuangan kemerdekaan 1908-1945. Lima sila Pancasila yang dirumuskan
kembali oleh Panitia 9 memang tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, tetapi
istilah Pancasila tak tertera dalam konstitusi dan tak disebut sebagai dasar
negara karena yang disebut dasar negara adalah ”Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal
29 Ayat 1) yang dilandasi prinsip kebebasan beragama (Pasal 2).
Pancasila sebagai dasar negara baru
ditetapkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai solusi atas kegagalan
Sidang Konstituante yang menawarkan tiga dasar negara: Pancasila, Islamisme,
dan Sosial-ekonomi (Sosialisme). Namun, sesudah itu, Pancasila masih belum juga
dianggap ideologi tunggal dan menciptakan kondisi the end of ideology karena Soekarno sendiri di masa pemerintahannya
justru menggerakkan proses Nasional Demokrasi yang menghabisi sisa-sisa
feodalisme dan imperialisme menuju Sosialisme.
Barulah Orde Baru, yang ingin menegakkan
kembali Pancasila ”secara murni dan konsekuen”, menetapkan Pancasila sebagai
asas tunggal. Melalui monopoli penafsiran dan indoktrinasi, penegakan Pancasila
membendung ide-ide politik lain, khususnya Komunisme dan Islamisme. Dampak
konkretnya, mencegah tumbuhnya partai-partai politik dengan tujuan menegakkan
hegemoni Golongan Karya sebagai partai pelopor dan hanya menyisakan dua partai
marjinal bentukan pemerintah: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mewakili
aspirasi golongan Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang mewakili
golongan nasionalis.
Namun, semuanya harus berasaskan Pancasila.
Bahkan, asas tunggal itu diberlakukan juga bagi seluruh organisasi
kemasyarakatan.
Akhir politik aliran
Hegemoni Pancasila sebagai satu-satunya
ideologi itu dinilai sebagai akhir dari politik aliran. Gejala inilah yang baru
menyerupai tesis the end of ideology
yang digundahkan oleh Bell karena telah menghabisi ide-ide dan cita-cita
politik.
Pada waktu itu Pancasila yang dirinci dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4) oleh pemerintah disebut Nurcholish Madjid sebagai ideologi tertutup.
Padahal, Pancasila dalam teori ideologi mengandung tiga akar ideologi, yaitu
kepercayaan (Ketuhanan Yang Maha Esa), nilai-nilai universal (kemanusiaan dan
keadilan sosial), dan prinsip politik (persatuan Indonesia dan kedaulatan
rakyat).
Dikaitkan dengan ideologi-ideologi universal
yang lahir pada abad ideologi Eropa abad ke-19, Pancasila dapat diasosiasikan
dengan Deisme yang disesuaikan dengan kepercayaan agama menjadi monoteisme,
humanisme atau internasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme.
Karena itu, Nurcholish Madjid mengusulkan agar Pancasila dipahami sebagai
sebuah ideologi terbuka yang memungkinkan berkembangnya ide-ide politik dalam
bingkai Pancasila dan sebenarnya mengandung dua elemen: nilai-nilai
motivasional rambu-rambu moral dan pemikiran.
Konsekuensinya, sebagaimana dimaksudkan
Maklumat Wakil Presiden No X Tahun 1945, memberikan kesempatan bagi masyarakat
mendirikan partai politik yang waktu itu menimbulkan politik aliran dan parpol
berbasis ideologi, seperti Sosialisme, Islamisme, Kristianisme, Komunisme, dan
Nasionalisme.
Ideologi payung
Reformasi abad ke-21, dimulai oleh Presiden
BJ Habibie, membuka kembali proses demokratisasi yang melahirkan kembali sistem
multipartai. Tidak sebagaimana tahun 1940-an, demokratisasi itu tak
menghidupkan kembali politik aliran karena politik aliran sudah dianggap tabu
politik. Asas tunggal Orde Baru masih berlaku, bahkan hingga sekarang.
Dari sistem kepartaian yang terbentuk, yang
berkembang adalah pragmatisme politik dalam arti peyoratif, yang menimbulkan
politik transaksional yang melahirkan oligarki politik dalam pengertian Michel.
Pancasila sebenarnya sebuah ideologi payung semacam konsep tenda besar yang
jadi sumber dan pengayom ide-ide politik Indonesia. Namun, Pancasila bukan
semacam Trilogi Revolusi Perancis yang mencanangkan tiga nilai—liberte,
egalite, dan fraternite—yang melahirkan pluralitas ideologi karena trilogi itu
berakar dari filsafat politik liberal sejak John Locke, Jeremy Bentham, dan John
Stuart Mills. Intinya adalah individualisme dan liberalisme.
Sementara, Pancasila pada dasarnya menabukan
dua ideologi itu. Namun, Pancasila, jika dipandang sebagai ideologi terbuka,
tak akan menjadikan akhir ideologi. Yang perlu dikembangkan, filsafat sosial
dan teori sosial yang bertolak dari gagasan besar Pancasila.
Karena belum dikembangkan sebagai filsafat
dan ilmu pengetahuan, Pancasila sebagai ideologi masih belum jadi kesadaran
rasional Descartian. Ia lebih banyak mencerminkan elemen bawah sadar bangsa
Indonesia, bahkan belum merupakan elemen kebudayaan suatu ideologi dalam
pengertian Gramchian yang bisa memotivasi dan menjadi pedoman bertindak yang
etis bagi para pemimpin politik Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar