Minggu, 23 Juni 2013

Pancasila dan Akhir Ideologi

Pancasila dan Akhir Ideologi
M Dawam Rahardjo ;   Rektor Universitas Proklamasi ’45,
Pemimpin Redaksi Jurnal Ulumul Qur’an
KOMPAS, 22 Juni 2013


Dalam wacana perpolitikan di Indonesia, akhir-akhir ini banyak dikeluhkan suatu gejala di mana para pemimpin, tokoh politik, publik politik, dan masyarakat politik pada umumnya telah meninggalkan atau melupakan Pancasila sebagai ideologi politik yang menjadikan Pancasila sebagai kerangka berpikir berbangsa, pedoman bertindak, dan motif berpolitik.
Dari kajian disertasinya, Dr Pramono Anung terkejut menemukan fakta bahwa motif berpolitik para pemimpin politik mutakhir Indonesia bukan bersumber dari idealisme, melainkan kombinasi dari uang dan kekuasaan, yaitu menggunakan kekuasaan untuk mendapatkan uang atau menggunakan uang untuk memperoleh kekuasaan. Inilah yang sering dipahami secara peyoratif sebagai pragmatisme.
Gejala atau sinyalemen itu mengingatkan kita pada tesis akhir ideologi, the end of ideology, yang ditulis Daniel Bell (1960), tesis Francis Fukuyama tentang pungkasan sejarah, The end of history, dan manusia terakhir, the last man, yang masih hidup di ujung sejarah dalam imajinasi Nietzche, yang ditulis staf ahli Deplu AS itu di Foreign Affair pada 1989, tahun runtuhnya Tembok Berlin yang jadi simbol runtuhnya ideologi Sosialisme-Komunis.
Dalam tesis Bell, sosiolog Amerika terkemuka beraliran kiri, akhir ideologi dimaksudkan sebagai tak munculnya lagi ide-ide politik karena hegemoni Amerika- nisme yang pada 1960-an dilatari pembentukan Committe on Un-American Activities, digerakkan senator Partai Republik, McCharthy, dan bertujuan membendung gerakan yang dinilai anti-Amerika seperti, dalam konteks waktu itu, gagasan the New Left atau Kiri Baru.
Gejala akhir ideologi itu disesalkan Bell karena hegemoni Amerikanisme telah membendung ide politik kritis, kreatif, dan progresif yang berarti membunuh kebebasan/liberalisme yang dianut Amerika sendiri.
Namun, tesis Fukuyama mengandung arti lain: sorak kemenangan liberalisme politik, yaitu demokrasi liberal dan liberalisme ekonomi, yaitu kapitalisme atas ideologi rival lain, khususnya Fasisme yang runtuh 1945 dan Sosialisme-Komunis pada 1989. Liberalisme politik dan ekonomi oleh Fukuyama dianggap puncak perkembangan pemikiran manusia dalam sistem politik dan ekonomi yang dihasilkan proses survival of the fittest sebagai hukum sosial yang dalam teori disebut Darwinisme sosial itu.
Pancasila sebagai ideologi yang diusulkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 sebenarnya puncak perkembangan pemikiran politik di masa perjuangan kemerdekaan 1908-1945. Lima sila Pancasila yang dirumuskan kembali oleh Panitia 9 memang tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, tetapi istilah Pancasila tak tertera dalam konstitusi dan tak disebut sebagai dasar negara karena yang disebut dasar negara adalah ”Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 29 Ayat 1) yang dilandasi prinsip kebebasan beragama (Pasal 2).
Pancasila sebagai dasar negara baru ditetapkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai solusi atas kegagalan Sidang Konstituante yang menawarkan tiga dasar negara: Pancasila, Islamisme, dan Sosial-ekonomi (Sosialisme). Namun, sesudah itu, Pancasila masih belum juga dianggap ideologi tunggal dan menciptakan kondisi the end of ideology karena Soekarno sendiri di masa pemerintahannya justru menggerakkan proses Nasional Demokrasi yang menghabisi sisa-sisa feodalisme dan imperialisme menuju Sosialisme.
Barulah Orde Baru, yang ingin menegakkan kembali Pancasila ”secara murni dan konsekuen”, menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Melalui monopoli penafsiran dan indoktrinasi, penegakan Pancasila membendung ide-ide politik lain, khususnya Komunisme dan Islamisme. Dampak konkretnya, mencegah tumbuhnya partai-partai politik dengan tujuan menegakkan hegemoni Golongan Karya sebagai partai pelopor dan hanya menyisakan dua partai marjinal bentukan pemerintah: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mewakili aspirasi golongan Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang mewakili golongan nasionalis.
Namun, semuanya harus berasaskan Pancasila. Bahkan, asas tunggal itu diberlakukan juga bagi seluruh organisasi kemasyarakatan.
Akhir politik aliran
Hegemoni Pancasila sebagai satu-satunya ideologi itu dinilai sebagai akhir dari politik aliran. Gejala inilah yang baru menyerupai tesis the end of ideology yang digundahkan oleh Bell karena telah menghabisi ide-ide dan cita-cita politik.
Pada waktu itu Pancasila yang dirinci dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) oleh pemerintah disebut Nurcholish Madjid sebagai ideologi tertutup. Padahal, Pancasila dalam teori ideologi mengandung tiga akar ideologi, yaitu kepercayaan (Ketuhanan Yang Maha Esa), nilai-nilai universal (kemanusiaan dan keadilan sosial), dan prinsip politik (persatuan Indonesia dan kedaulatan rakyat).
Dikaitkan dengan ideologi-ideologi universal yang lahir pada abad ideologi Eropa abad ke-19, Pancasila dapat diasosiasikan dengan Deisme yang disesuaikan dengan kepercayaan agama menjadi monoteisme, humanisme atau internasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Karena itu, Nurcholish Madjid mengusulkan agar Pancasila dipahami sebagai sebuah ideologi terbuka yang memungkinkan berkembangnya ide-ide politik dalam bingkai Pancasila dan sebenarnya mengandung dua elemen: nilai-nilai motivasional rambu-rambu moral dan pemikiran.
Konsekuensinya, sebagaimana dimaksudkan Maklumat Wakil Presiden No X Tahun 1945, memberikan kesempatan bagi masyarakat mendirikan partai politik yang waktu itu menimbulkan politik aliran dan parpol berbasis ideologi, seperti Sosialisme, Islamisme, Kristianisme, Komunisme, dan Nasionalisme.
Ideologi payung
Reformasi abad ke-21, dimulai oleh Presiden BJ Habibie, membuka kembali proses demokratisasi yang melahirkan kembali sistem multipartai. Tidak sebagaimana tahun 1940-an, demokratisasi itu tak menghidupkan kembali politik aliran karena politik aliran sudah dianggap tabu politik. Asas tunggal Orde Baru masih berlaku, bahkan hingga sekarang.
Dari sistem kepartaian yang terbentuk, yang berkembang adalah pragmatisme politik dalam arti peyoratif, yang menimbulkan politik transaksional yang melahirkan oligarki politik dalam pengertian Michel. Pancasila sebenarnya sebuah ideologi payung semacam konsep tenda besar yang jadi sumber dan pengayom ide-ide politik Indonesia. Namun, Pancasila bukan semacam Trilogi Revolusi Perancis yang mencanangkan tiga nilai—liberte, egalite, dan fraternite—yang melahirkan pluralitas ideologi karena trilogi itu berakar dari filsafat politik liberal sejak John Locke, Jeremy Bentham, dan John Stuart Mills. Intinya adalah individualisme dan liberalisme.
Sementara, Pancasila pada dasarnya menabukan dua ideologi itu. Namun, Pancasila, jika dipandang sebagai ideologi terbuka, tak akan menjadikan akhir ideologi. Yang perlu dikembangkan, filsafat sosial dan teori sosial yang bertolak dari gagasan besar Pancasila.

Karena belum dikembangkan sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan, Pancasila sebagai ideologi masih belum jadi kesadaran rasional Descartian. Ia lebih banyak mencerminkan elemen bawah sadar bangsa Indonesia, bahkan belum merupakan elemen kebudayaan suatu ideologi dalam pengertian Gramchian yang bisa memotivasi dan menjadi pedoman bertindak yang etis bagi para pemimpin politik Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar