|
KOMPAS,
23 Juni 2013
Belum lama ini saya ke Solo. Saat tengah
minum kopi di lobi hotel tempat saya menginap di Jalan Slamet Riyadi di dekat
Sriwedari, tiba-tiba di jalan utama itu melintas kereta api lengkap dengan uap
dan lengkingan peluitnya. Kereta kuno yang diaktifkan lagi beberapa tahun
terakhir ini melayani rute Stasiun Purwosari-Sangkrah, Solo.
Kereta api, wayang orang Sriwedari, Gladak
berikut aneka rupa makanan dan jajanan, serta Pasar Triwindu yang telah
direvitalisasi, semua menambah kecintaan saya akan Solo. Belum lagi imajinasi
yang melekat di memori mengenai ”Solo di waktu malam”. Ah, jadi ingat penjual
wedang jeruk di Pasar Kliwon....
Kenyataannya memang dikarenakan memori itulah
kebudayaan mengalami keberlangsungan. Evolusi manusia berlangsung seiring
evolusi otak manusia, yakni pada bagian cerebral cortex pada 70.000-50.000
tahun sebelum Masehi. Saat itu manusia mulai menorehkan jejak coretan di karang
dan kemudian goa-goa. Berikutnya, seiring ditemukannya abjad, torehan
ditinggalkan pada lempengan dari tanah, kulit binatang yang dikeringkan, dan
lain-lain. Loncatan besar terjadi ketika di Mesir ditemukan tanaman papirus
sebagai medium untuk menorehkan tulisan.
Apa arti semua itu? Bukan hanya memori, hidup
manusia terbatas umur. Pergulatan manusia dari waktu ke waktu adalah bagaimana
melanggengkan memori agar kebudayaan berlanjut. Buku dan microchip komputer
adalah bentuk artificial memory atau memori tiruan menyerupai otak manusia yang
diandaikan bisa menjaga keberlangsungan kebudayaan. Andaikata kita ”dead”, ada
memori yang ditinggalkan. Kehilangan memori sebagai manusia berarti kehilangan
identitas.
Dengan demikian, yang disebut kebudayaan
adalah hasil proses seleksi memori. Mana yang perlu disimpan pada buku dan
memori tiruan lain dengan segala jenisnya serta mana yang sebaiknya kita
abaikan saja dan kita lempar ke wilayah oblivious alias terlupakan.
Persoalan manusia kini adalah pada proses
hidup yang berjalan kian cepat. Memori tiruan atau baca teknologi informasi
mengalami up dating setiap saat. Apa yang terekam pada teknologi sebelumnya
lenyap begitu teknologi yang lebih baru ditemukan.
Hukum pasar dari kapitalisme global adalah
bujukan dan tawaran atas sesuatu yang baru, yang lebih baru, yang lebih baru
lagi, dan seterusnya. Tak ada tempat bagi yang lama.
Cakrawala yang membentang adalah cakrawala
konsumsi dengan aneka produk yang terus memperbarui diri. Apa yang kita pakai
kemarin tidak lagi trendi hari ini. Semua gelanggang diubah jadi gelanggang
dagang. Dipenjara tidak apa asal tetap kaya.
Kita telah kehilangan pegangan lalu
merindukan nabi-nabi baru. Orang berbondong-bondong mencari tokoh yang dianggap
telah ”tercerahkan”, mengharap tertetesi motivasi. Dulu di kota kecil saya ada
penjual jamu namanya Pak Ngadiran. Sangat piawai bicara. Dalam ingatan saya,
para motivator sekarang tak ada yang menandingi Pak Ngadiran.
Mungkin Anda punya perasaan seperti saya,
betapa cepat waktu berjalan. Tiba-tiba sudah pertengahan tahun. Sebentar lagi
Lebaran. Setelah itu akhir tahun.
Yang tak kalah membikin saya tersentak, duo
Gubernur DKI Jakarta dan wakilnya menggugat Pekan Raya Jakarta. Acara itu
mereka anggap telah kehilangan semangatnya sebagai pesta rakyat.
Hah? Betapa sebagian besar dari kami telah
lalai dan terjebak kerutinan. Semestinya yang pertama kali menggugat itu adalah
para pengamat kebudayaan urban, para budayawan, atau siapa saja pemikir yang
punya perhatian terhadap kebudayaan. Atau juga para wartawan agar tidak melulu
menulis romantisisme kerak telur, melaporkan produk termutakhir, sambil
memotret SPG yang ayu-ayu.
Kita beruntung punya pemimpin yang masih
mencoba menjaga kenangan ketika konsumsi belum segila sekarang. Ketika zaman
cukup sederhana seperti sepur yang melintas di depan Sriwedari. Entah itu
komedi atau tragedi, dalam teater memori kita semua adalah pemainnya. Mari kita
buka layar: teater rakyat dimulai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar