Minggu, 23 Juni 2013

Surat Cerai Setgab

Surat Cerai Setgab
Ismatillah A Nu’ad ;   Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUARA MEDEKA, 22 Juni 2013


MENJELANG kenaikan harga BBM, Sekretariat Gabungan (Setgab) yang dikomandoi Partai Demokrat mengalami bintik-bintik perpecahan. Salah satunya karena Fraksi PKS tidak mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar. Konsekuensi logis dari sikap itu, tiga menteri dari PKS harus siap ‘’diceraikan’’.

Isu reshuffle setelah keputusan mengenai harga bahan bakar dalam rapat paripurna DPR menguat menyusul ketidakkonsistenan fraksi di DPR yang tergabung dalam Setgab. Dari titik itulah, jelas terlihat roda pemerintahan selama ini berjalan sangat rapuh, acap kepentingan publik terabaikan oleh kepentingan sempit golongan. Presiden SBY nyata-nyata memilih menteri bukan karena kapasitas kemampuan melainkan atas dasar politik dagang sapi dalam Setgab.

Semula pemprakarsaan Setgab untuk menyelaraskan kinerja eksekutif visa- vis legislatif, namun akibat tarik ulur kepentingan, semisal terkait rencana kenaikan harga BBM tampaknya anggota koalisi itu sulit selaras. Memang banyak persoalan internal yang tak membuat kompak, seperti keterbongkaran kasus impor daging sapi yang melibatkan elite PKS.

Terlepas dari keterpecahan Setgab, sejumlah analis memandang perlu reshuffle. Presiden bisa menilai secara objektif menteri yang dianggap kurang bekerja optimal, apalagi bila ada yang mendapat nilai rapor merah atau berjalan di tempat. Publik pun sebenarnya tahu penyusunan kabinet tak lepas dari kontrak politik SBY dengan partai-partai besar tertentu.

Namun Presiden seharusnya memiliki keberanian untuk melepaskan kontrak itu sekiranya tak menguntungkan dan tak mendatangkan maslahat bagi banyak orang. Kemungkinan reshuffle sangat dipertegas akibat terlalu risi Presiden dengan koalisi Demokrat vis-a-vis partai-partai besar. Kesabaran dan ketenangan pribadi SBY selama ini mungkin saja bukan sebagai kelemahan.

Karena itu, perlu ada isyarat yang harus ditunjukkan ke publik bahwa di balik kesantunan tetap ada ketegasan sikap. Publik bisa memahami bahwa jabatan menteri adalah jabatan politik, artinya penentuan person dilakukan berdasarkan atas pertimbangan politik oleh presiden (dan wakil presiden).

Ada kecenderungan kepentingan dari parpol sangat dominan dalam pengisian kabinet sehingga berpengaruh terhadap pilihan Presiden dalam menentukan pembantunya. Bila mau mengambil contoh, PM Malaysia Najib Tun Abdul Razak pun berani mengambil langkah politik me-reshuffle kabinet pada semester pertama. Itu dilakukannya karena kegagalan kinerja menteri tertentu, semisal Menteri Transportasi Ong Tee Keat, yang diganti Kong Cho Ha. Tak hanya Malaysia, PM Thailand Abhisit Vejjajiva pun merombak kabinet tatkala terjadi kekacauan di negerinya.

Dia melihat ada menteri tak becus mengurus keamanan dalam negeri Gajah Putih itu sehingga harus diganti dengan menteri yang lebih memiliki tanggung jawab. Kontrak Politik Setelah amendemen UUD 1945, Presiden sebenarnya memiliki wewenang penuh atau hak prerogatif mengganti atau tidak para pembantunya, sebagaimana amanat Pasal 17 Ayat 2. Lagi pula sejak awal pembentukan KIB II, secara riil aroma politik kepentingan dari partai-partai politik tertentu tak dapat diabaikan. Tampaknya hal itu terbukti dengan kinerja menteri yang kurang profesional. Kekurangprofesionalan itu, semisal tercermin dari pembenahan ekonomi yang bukannya bertambah kondusif melainkan makin kurang menentu.

Desakan reshuffle saat ini dinilai perlu, salah satu alasannya adalah kemandekan ekonomi sektor riil yang harus ditangani serius, menyangkut isu tenaga kerja, pengangguran, dan kemiskinan. Soal perlu tidaknya merombak kabinet, Presiden yang paling berkompeten menilai, merasakan, dan memutuskan. Namun ia perlu mempertimbangkan masukan dan tuntutan dari banyak pihak, minimal mendengarkan. Apalagi sebelum dilantik, para menteri meneken kontrak politik.

Menteri mendapat assessment jika tak bisa membuat perubahan sepanjang waktu tertentu maka sudah sepantasnya diganti. Mendatang, presiden selaku penyusun kabinet harus membentuk format yang tepat dalam penentuan person yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas, sebagaimana ungkapan the right man on the right place. Dalam konteks SBY, pada sisa waktu pemerintahannya ia tetap memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Namun politikus dari partai yang menterinya disebut-sebut akan diganti tak perlu membawa-bawa isu perombakan kabinet ke ranah politik yang terlalu jauh.

Maknai saja itu demi kepentingan rakyat. Jika ada menteri harus diganti karena kurang profesional atau dinilai gagal, itu sudah sepantasnya. Politikus dari partai sang menteri tersebut tak perlu ngotot mempertahankan dengan dalih politik yang kurang bisa dipertanggungjawabkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar