|
SUARA
MEDEKA, 22 Juni 2013
MENJELANG kenaikan harga BBM, Sekretariat Gabungan (Setgab)
yang dikomandoi Partai Demokrat mengalami bintik-bintik perpecahan. Salah
satunya karena Fraksi PKS tidak mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga
bahan bakar. Konsekuensi logis dari sikap itu, tiga menteri dari PKS harus siap
‘’diceraikan’’.
Isu reshuffle setelah keputusan mengenai harga bahan bakar
dalam rapat paripurna DPR menguat menyusul ketidakkonsistenan fraksi di DPR
yang tergabung dalam Setgab. Dari titik itulah, jelas terlihat roda
pemerintahan selama ini berjalan sangat rapuh, acap kepentingan publik
terabaikan oleh kepentingan sempit golongan. Presiden SBY nyata-nyata memilih
menteri bukan karena kapasitas kemampuan melainkan atas dasar politik dagang
sapi dalam Setgab.
Semula pemprakarsaan Setgab untuk menyelaraskan kinerja
eksekutif visa- vis legislatif, namun akibat tarik ulur kepentingan, semisal
terkait rencana kenaikan harga BBM tampaknya anggota koalisi itu sulit selaras.
Memang banyak persoalan internal yang tak membuat kompak, seperti
keterbongkaran kasus impor daging sapi yang melibatkan elite PKS.
Terlepas dari keterpecahan Setgab, sejumlah analis
memandang perlu reshuffle. Presiden bisa menilai secara objektif menteri yang
dianggap kurang bekerja optimal, apalagi bila ada yang mendapat nilai rapor merah
atau berjalan di tempat. Publik pun sebenarnya tahu penyusunan kabinet tak
lepas dari kontrak politik SBY dengan partai-partai besar tertentu.
Namun Presiden seharusnya memiliki keberanian untuk
melepaskan kontrak itu sekiranya tak menguntungkan dan tak mendatangkan
maslahat bagi banyak orang. Kemungkinan reshuffle sangat dipertegas akibat
terlalu risi Presiden dengan koalisi Demokrat vis-a-vis partai-partai besar.
Kesabaran dan ketenangan pribadi SBY selama ini mungkin saja bukan sebagai
kelemahan.
Karena itu, perlu ada isyarat yang harus ditunjukkan ke
publik bahwa di balik kesantunan tetap ada ketegasan sikap. Publik bisa
memahami bahwa jabatan menteri adalah jabatan politik, artinya penentuan person
dilakukan berdasarkan atas pertimbangan politik oleh presiden (dan wakil
presiden).
Ada kecenderungan kepentingan dari parpol sangat dominan
dalam pengisian kabinet sehingga berpengaruh terhadap pilihan Presiden dalam
menentukan pembantunya. Bila mau mengambil contoh, PM Malaysia Najib Tun Abdul
Razak pun berani mengambil langkah politik me-reshuffle kabinet pada semester
pertama. Itu dilakukannya karena kegagalan kinerja menteri tertentu, semisal
Menteri Transportasi Ong Tee Keat, yang diganti Kong Cho Ha. Tak hanya
Malaysia, PM Thailand Abhisit Vejjajiva pun merombak kabinet tatkala terjadi
kekacauan di negerinya.
Dia melihat ada menteri tak becus mengurus keamanan dalam
negeri Gajah Putih itu sehingga harus diganti dengan menteri yang lebih
memiliki tanggung jawab. Kontrak Politik Setelah amendemen UUD 1945, Presiden
sebenarnya memiliki wewenang penuh atau hak prerogatif mengganti atau tidak
para pembantunya, sebagaimana amanat Pasal 17 Ayat 2. Lagi pula sejak awal
pembentukan KIB II, secara riil aroma politik kepentingan dari partai-partai
politik tertentu tak dapat diabaikan. Tampaknya hal itu terbukti dengan kinerja
menteri yang kurang profesional. Kekurangprofesionalan itu, semisal tercermin
dari pembenahan ekonomi yang bukannya bertambah kondusif melainkan makin kurang
menentu.
Desakan reshuffle saat
ini dinilai perlu, salah satu alasannya adalah kemandekan ekonomi sektor riil
yang harus ditangani serius, menyangkut isu tenaga kerja, pengangguran, dan
kemiskinan. Soal perlu tidaknya merombak kabinet, Presiden yang paling
berkompeten menilai, merasakan, dan memutuskan. Namun ia perlu mempertimbangkan
masukan dan tuntutan dari banyak pihak, minimal mendengarkan. Apalagi sebelum
dilantik, para menteri meneken kontrak politik.
Menteri mendapat assessment jika tak bisa membuat perubahan
sepanjang waktu tertentu maka sudah sepantasnya diganti. Mendatang, presiden
selaku penyusun kabinet harus membentuk format yang tepat dalam penentuan
person yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas, sebagaimana ungkapan the
right man on the right place. Dalam konteks SBY, pada sisa waktu
pemerintahannya ia tetap memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Namun
politikus dari partai yang menterinya disebut-sebut akan diganti tak perlu
membawa-bawa isu perombakan kabinet ke ranah politik yang terlalu jauh.
Maknai saja itu demi kepentingan rakyat. Jika ada menteri
harus diganti karena kurang profesional atau dinilai gagal, itu sudah
sepantasnya. Politikus dari partai sang menteri tersebut tak perlu ngotot
mempertahankan dengan dalih politik yang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar