|
KOMPAS,
23 Juni 2013
Saya sangat terkejut melewati suatu perumahan
kelas menengah. Seorang bapak sedang menyapu sampah di depan pagar rumahnya,
tetapi kemudian membuangnya ke parit.
Mungkin kita juga cukup
sering melihat penyapu sampah di jalan membuang kotoran ke sungai. Bahkan,
pengendara mobil membuka sedikit kaca mobil mewahnya untuk membuang bungkus
makanan ke jalan raya tanpa rasa salah dan malu.
Di tengah perusakan
lingkungan besar-besaran di Indonesia, tampaknya pengetahuan dan kepedulian
yang paling dasar saja mengenai bagaimana menjaga lingkungan dan dampaknya bagi
kehidupan kita semua hampir tidak dimiliki oleh masyarakat. Kepedulian dan
pemahaman dari segelintir orang yang sangat kecil jumlahnya belum mampu
menciptakan perubahan perilaku yang nyata dalam masyarakat.
Tampaknya yang terbaik
adalah memulai melalui pendidikan sedini mungkin. Untung saya menemukan buku Climate Change and Environmental Education,
A Companion to the Child Friendly Schools Manual’ (Unicef, 2013).
Sejak sedini mungkin,
sebelum usia sekolah, anak telah dapat dididik untuk mencintai dan memelihara
lingkungan. Di usia ini anak dapat belajar mengenai pentingnya lingkungan yang
sehat dan bersih bagi dirinya dan teman-temannya, peran mereka secara aktif
untuk ikut menjaga lingkungan, serta mulai mengembangkan kepekaan untuk
mendeteksi dan menghindari risiko terkait kondisi lingkungan.
Di tahapan selanjutnya anak
belajar mengembangkan kepedulian yang lebih besar pada lingkungan tempat
tinggal dan sekitarnya serta menguatkan kesadaran mengenai bahaya-bahaya dan
dampak perusakan lingkungan. Jika demikian, menjadi lebih mudah untuk membuat
anak memiliki empati dan penghormatan kepada orang-orang yang berada dalam
situasi berbeda (bayangkan jika kamu harus tinggal dekat timbunan sampah. Apa
saja yang akan terjadi? Jadi, bagaimana cara kita mengelola sampah agar tidak
mengganggu orang lain?).
Pertanyaan sederhana itu
dapat membawa kita pada diskusi yang penting tentang banyak hal. Misalnya
tentang teknis pengelolaan limbah (bagaimana memilah limbah sejak sebelum
dibuang), praktik hidup sederhana (mengambil makanan seperlunya agar tidak ada
yang terbuang menjadi sampah), tanggung jawab pribadi akan limbah yang
diakibatkan oleh perilaku kita sendiri (sudah membeli banyak barang harus
merapikan bungkus dan kardus-kardusnya, tidak membuang sembarangan), serta
interaksi yang kompleks antara sumber daya lingkungan, perubahan lingkungan
fisik, karakteristik limbah, dan perilaku masyarakat. Misalnya mengapa membuang
limbah di tanah pekarangan rumah sendiri di perdesaan, seperti bonggol sayur
atau kulit buah mentah, berbeda dampaknya terhadap lingkungan dibandingkan
dengan membuang limbah plastik di tanah dan sungai yang dilakukan masyarakat
perkotaan. Percakapan dapat kemudian menyinggung pupuk organik dan non-organik
serta diskusi mengenai reduce reuse
recycle dari limbah.
Bahkan, diskusi juga dapat
membuka pemahaman mengenai kaitan antara penjagaan lingkungan dan isu
ekonomi-sosial, misalnya sampah milik siapa yang paling banyak tertumpuk di
lokasi pembuangan sampah? Siapa yang paling terkena dampak negatifnya?
Bagaimana mengatur lokal dan mekanisme pembuangan sampah agar tidak mengganggu
siapa pun?
Menarik bahwa di Jepang
orang harus membayar sejumlah uang jika hendak membuang barang-barang elektronik
dan barang-barang besar. Jadi, perlu berpikir terlebih dulu mengenai dampak
sosial dan lingkungan sebelum membeli barang. Sementara itu, di SD, anak-anak
diajar untuk membersihkan ruang kelas dan sekolah sehingga sejak usia dini
punya ”rasa memiliki” dan tanggung jawab terhadap fasilitas publik.
Hal yang berbeda terjadi
dalam masyarakat kita. Jika kita menegur teman (orang dewasa) mengapa buang
sampah sembarangan, ia akan dengan santai menjawab ”Ah, semua orang juga melakukan hal sama” atau ”Lah buat apa dong ada tukang bersih-bersih, itu tugas mereka”.
Alat penyejuk udara menyala terus di ruang-ruang yang tidak digunakan. Kita
cukup sering mendapati keran yang tidak dapat ditutup dengan baik sehingga
mengalirkan air secara mubazir. Kita juga sering kaget bahkan mual saat masuk
WC umum. Kalaupun terpaksa menggunakan fasilitas umum, malah ikut-ikutan
meninggalkan kotoran secara serampangan.
Jika kita bingung dan merasa
tak berdaya mengenai bagaimana menciptakan perubahan yang positif, tampaknya
cara yang paling efektif dan berjangka panjang memang melalui pendidikan kepada
anak. Tanggung jawab sosial itu—termasuk kepedulian untuk menjaga
lingkungan—sebenarnya dapat menjadi hal yang sangat sederhana jika kita
melihatnya sebagai kewajiban dan hak setiap orang, mempraktikkannya secara
konkret bagi diri sendiri, dan mulai mengajarkannya sedini mungkin.
Jadi, Jakarta yang
terus-menerus banjir yang sekarang merayakan ulang tahun ke-486 itu tanggung
jawab siapa? Kota besar, kecil, dan pedesaan di negara kita tanggung jawab
siapa? Sekarang kita kadang mendapati anak yang menegur orangtuanya ”Ibu jangan
ngomong kasar” atau ”Ayah kalau ke nenek salam hormat dulu dong” karena yang
diajarkan di sekolah terinternalisasi dalam benak mereka. Apakah kita, para
orang dewasa, juga harus menunggu untuk belajar dari anak-anak mengenai
bagaimana menjaga lingkungan? Apakah itu tidak terlalu terlambat? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar