Senin, 24 Juni 2013

Jakarta Urusan Siapa?

Jakarta Urusan Siapa?
Kristi Poerwandari ;   Kolumnis Psikologi Kompas
KOMPAS, 23 Juni 2013


Saya sangat terkejut melewati suatu perumahan kelas menengah. Seorang bapak sedang menyapu sampah di depan pagar rumahnya, tetapi kemudian membuangnya ke parit. 
Mungkin kita juga cukup sering melihat penyapu sampah di jalan membuang kotoran ke sungai. Bahkan, pengendara mobil membuka sedikit kaca mobil mewahnya untuk membuang bungkus makanan ke jalan raya tanpa rasa salah dan malu.
Di tengah perusakan lingkungan besar-besaran di Indonesia, tampaknya pengetahuan dan kepedulian yang paling dasar saja mengenai bagaimana menjaga lingkungan dan dampaknya bagi kehidupan kita semua hampir tidak dimiliki oleh masyarakat. Kepedulian dan pemahaman dari segelintir orang yang sangat kecil jumlahnya belum mampu menciptakan perubahan perilaku yang nyata dalam masyarakat.
Pendidikan bagi anak
Tampaknya yang terbaik adalah memulai melalui pendidikan sedini mungkin. Untung saya menemukan buku Climate Change and Environmental Education, A Companion to the Child Friendly Schools Manual’ (Unicef, 2013).
Sejak sedini mungkin, sebelum usia sekolah, anak telah dapat dididik untuk mencintai dan memelihara lingkungan. Di usia ini anak dapat belajar mengenai pentingnya lingkungan yang sehat dan bersih bagi dirinya dan teman-temannya, peran mereka secara aktif untuk ikut menjaga lingkungan, serta mulai mengembangkan kepekaan untuk mendeteksi dan menghindari risiko terkait kondisi lingkungan.
Di tahapan selanjutnya anak belajar mengembangkan kepedulian yang lebih besar pada lingkungan tempat tinggal dan sekitarnya serta menguatkan kesadaran mengenai bahaya-bahaya dan dampak perusakan lingkungan. Jika demikian, menjadi lebih mudah untuk membuat anak memiliki empati dan penghormatan kepada orang-orang yang berada dalam situasi berbeda (bayangkan jika kamu harus tinggal dekat timbunan sampah. Apa saja yang akan terjadi? Jadi, bagaimana cara kita mengelola sampah agar tidak mengganggu orang lain?).
Pertanyaan sederhana itu dapat membawa kita pada diskusi yang penting tentang banyak hal. Misalnya tentang teknis pengelolaan limbah (bagaimana memilah limbah sejak sebelum dibuang), praktik hidup sederhana (mengambil makanan seperlunya agar tidak ada yang terbuang menjadi sampah), tanggung jawab pribadi akan limbah yang diakibatkan oleh perilaku kita sendiri (sudah membeli banyak barang harus merapikan bungkus dan kardus-kardusnya, tidak membuang sembarangan), serta interaksi yang kompleks antara sumber daya lingkungan, perubahan lingkungan fisik, karakteristik limbah, dan perilaku masyarakat. Misalnya mengapa membuang limbah di tanah pekarangan rumah sendiri di perdesaan, seperti bonggol sayur atau kulit buah mentah, berbeda dampaknya terhadap lingkungan dibandingkan dengan membuang limbah plastik di tanah dan sungai yang dilakukan masyarakat perkotaan. Percakapan dapat kemudian menyinggung pupuk organik dan non-organik serta diskusi mengenai reduce reuse recycle dari limbah.
Bahkan, diskusi juga dapat membuka pemahaman mengenai kaitan antara penjagaan lingkungan dan isu ekonomi-sosial, misalnya sampah milik siapa yang paling banyak tertumpuk di lokasi pembuangan sampah? Siapa yang paling terkena dampak negatifnya? Bagaimana mengatur lokal dan mekanisme pembuangan sampah agar tidak mengganggu siapa pun?
Hak dan kewajiban
Menarik bahwa di Jepang orang harus membayar sejumlah uang jika hendak membuang barang-barang elektronik dan barang-barang besar. Jadi, perlu berpikir terlebih dulu mengenai dampak sosial dan lingkungan sebelum membeli barang. Sementara itu, di SD, anak-anak diajar untuk membersihkan ruang kelas dan sekolah sehingga sejak usia dini punya ”rasa memiliki” dan tanggung jawab terhadap fasilitas publik.
Hal yang berbeda terjadi dalam masyarakat kita. Jika kita menegur teman (orang dewasa) mengapa buang sampah sembarangan, ia akan dengan santai menjawab ”Ah, semua orang juga melakukan hal sama” atau ”Lah buat apa dong ada tukang bersih-bersih, itu tugas mereka”. Alat penyejuk udara menyala terus di ruang-ruang yang tidak digunakan. Kita cukup sering mendapati keran yang tidak dapat ditutup dengan baik sehingga mengalirkan air secara mubazir. Kita juga sering kaget bahkan mual saat masuk WC umum. Kalaupun terpaksa menggunakan fasilitas umum, malah ikut-ikutan meninggalkan kotoran secara serampangan.
Jika kita bingung dan merasa tak berdaya mengenai bagaimana menciptakan perubahan yang positif, tampaknya cara yang paling efektif dan berjangka panjang memang melalui pendidikan kepada anak. Tanggung jawab sosial itu—termasuk kepedulian untuk menjaga lingkungan—sebenarnya dapat menjadi hal yang sangat sederhana jika kita melihatnya sebagai kewajiban dan hak setiap orang, mempraktikkannya secara konkret bagi diri sendiri, dan mulai mengajarkannya sedini mungkin.
Jadi, Jakarta yang terus-menerus banjir yang sekarang merayakan ulang tahun ke-486 itu tanggung jawab siapa? Kota besar, kecil, dan pedesaan di negara kita tanggung jawab siapa? Sekarang kita kadang mendapati anak yang menegur orangtuanya ”Ibu jangan ngomong kasar” atau ”Ayah kalau ke nenek salam hormat dulu dong” karena yang diajarkan di sekolah terinternalisasi dalam benak mereka. Apakah kita, para orang dewasa, juga harus menunggu untuk belajar dari anak-anak mengenai bagaimana menjaga lingkungan? Apakah itu tidak terlalu terlambat? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar