Selasa, 18 Juni 2013

Volatilitas Rupiah dan Solusinya

Volatilitas Rupiah dan Solusinya
A Tony Prasetiantono ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) UGM
MEDIA INDONESIA, 17 Juni 2013


SESUNGGUHNYA, sebagian besar mata uang di seluruh dunia akhir-akhir ini memang sedang terdepresiasi (melemah) terhadap US$. Penyebab utamanya ialah membaiknya perekonomian Amerika Serikat (AS). Pada Mei 2013, di AS telah tercipta 175 ribu lapangan kerja baru sehingga data pengangguran menurun menjadi 7,5%. Sebagai perbandingan, level tertinggi pengangguran di AS adalah 10% saat krisis subprime mortgage memuncak pada pertengahan 2009. Inflasi AS kini juga rendah, yakni 1,1%. Sederet data positif tersebut mendorong pemerintah AS mengurangi atau bahkan menyetop kebijakan quantitative easing (The New York Times, 7/6).

Quantitative easing ialah pembelian kembali obligasi pemerintah AS sebagai upaya stabilisasi harga. Kebijakan itu sekaligus memompa likuiditas US$ sehingga jumlah peredarannya meningkat. Dengan money supply US$ yang meningkat, kurs US$ akan cenderung melemah. Kurs US$ yang melemah diharapkan dapat membantu mengurangi defisit perdagangan dan neraca transaksi berjalan AS yang kini mencapai US$475 miliar. Defisit AS terutama terjadi terhadap China. Karena kini per ekonomian AS mulai berangsur membaik, kebijakan quantitative easing bisa dihentikan atau setidaknya dikurangi. Implikasinya, kurs US$ kini terus menguat terhadap hampir semua mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Bagi Indonesia, melemahnya kurs rupiah sebenarnya bisa memberi manfaat, yakni mem bantu mengatasi defisit perdagangan. Data April 2013 menunjukkan defisit kita US$1,62 miliar, yang berasal dari ekspor US$ 14,7 miliar berbanding impor US$16,3 miliar. Defisit neraca perdagangan dimulai tahun lalu ketika untuk pertama kalinya sejak 1961, Indonesia menderita defisit perdagangan US$1,63 miliar yang berasal dari ekspor US$190,04 miliar berbanding impor US$191,67 miliar.

Dengan rupiah melemah, sebenarnya kita bisa berharap defisit akan dapat ditekan atau bahkan kembali ke jalur surplus. Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Kurs rupiah yang melemah, misalnya menembus batas psikologis Rp10 ribu per US$, akan mudah menimbulkan kepanikan dan spekulasi. Ketika sentimen itu berkobar, para pemilik dana akan segera memindahkan kekayaan mereka dari rupiah ke US$. Jika terjadi, itu bisa berefek bola salju: kurs rupiah terus bergerak liar menabrak batas psikologis selanjutnya: Rp11 ribu, lalu Rp12 ribu, Rp 13 ribu, dan seterusnya. Kejadian semacam itu pernah kita alami pada saat krisis finansial Asia 1997-1998.

Jadi, dalam kasus rupiah, berlaku rule of thumb: tidak boleh terlalu lemah (yang akan mengganggu kredibilitas, menimbulkan kepanikan dan spekulasi), tapi juga tidak boleh terlalu kuat (yang akan melemahkan daya saing). Rupiah tidak usah sekuat Rp8.500 per US$ (2011) yang akan menyebabkan defisit neraca perdagangan, tapi juga jangan sampai menembus Rp10 ribu per US$ seperti sempat terjadi pekan lalu, sebelum dihentikan dengan kenaikan BI rate dari 5,75% menjadi 6%.

Bagaimana caranya agar rupiah tetap dapat dipertahankan di bawah Rp10 ribu per US$? Dua jurus sudah dilakukan Bank Indonesia (BI). Pertama, dengan menaikkan suku bunga Fasbi (Fasilitas Simpanan Bank Indonesia), dari 4% menjadi 4,25%. Fasbi merupakan instrumen moneter berupa fasilitas yang diberikan BI kepada perbankan (bank-bank umum) untuk menempatkan kelebihan dana di BI. Namun, sebenarnya kebijakan itu tidak terlalu efektif karena bank-bank saat ini tidak dalam posisi kelebihan likuiditas. Dengan suku bunga simpanan yang rendah, bankbank justru kesulitan menghimpun dana pihak ketiga (DPK).
Itu bisa dibuktikan dengan semakin tingginya rasio LDR (loan to deposit ratio), yakni perbandingan kredit yang disalurkan terhadap dana simpanan masyarakat di bank. Artinya, bank-bank tetap menyalurkan kredit meskipun dana simpanan masyarakat mengalami stagnasi. LDR saat ini sekitar 85%, naik dari posisi 83% pada akhir 2012.

Kedua, suku bunga acuan (benchmark rate) dinaikkan, dari BI rate 5,75% menjadi 6%. Kenaikan itu sudah benar. Jika tidak dinaikkan, akan terjadi ketimpangan antara suku bunga simpanan di bank 5,755 berbanding ekspektasi inflasi (expected inflation) minimal 7%. Ekspektasi inflasi itu berasal dari asumsi inflasi 2013 yang dibuat pemerintah (7,2%) ataupun oleh BI (7,76%). Keduanya mengasumsikan adanya penaikan harga BBM bersubsidi dari Rp4.500 menjadi Rp6.500 per liter, yang konon akan dilakukan pekan ini.

Dengan ekspektasi inflasi yang melebih suku bunga deposito, nasabah akan menerima suku bunga riil negatif (negative real interest rate) kira-kira sebesar minus 1,5%. Karena itu, wajar jika para pemilik dana kemudian memindahkan kekayaan mereka dari deposito rupiah menjadi pembelian valuta asing, terutama US$. Kenapa US$? Karena semua mata uang kuat lainnya sedang bermasalah. Euro sekarang melemah karena Bank Sentral Eropa menurunkan suku bunga acuan menjadi 0,5%. Yen Jepang jelas terus melemah, mengiringi suramnya perekonomian negara tersebut. Adapun yuan China selama ini memang dikenal terbatas peredarannya. Pemerintah China tidak mau mata uang mereka beredar terlalu banyak karena hal itu akan menyebabkan kurs yuan menguat sehingga akan mengurangi daya saing produk-produk China.

Faktor membaiknya perekonomian AS juga menyebabkan para pemilik dana di Indonesia kian bersemangat berburu US$. Namun, di luar semua kalkulasi finansial tersebut, masih ada faktor lain yang bakal menen tukan volatilitas rupiah, yakni soal harga BBM bersubsidi.

Bagaimana korelasinya?

Subsidi BBM yang angkanya terlalu besar (jika digabung de ngan subsidi BBM untuk listrik akan mencapai Rp300 triliun, berbanding volume APBN 2013 sebesar Rp1.700 triliun) menyebabkan sentimen negatif. Logika ekonomi sulit menerima subsidi energi (BBM dan listrik) akan mencapai Rp300 triliun, padahal kemampuan pemerintah untuk mengongkosi pembangunan infrastruktur hanya Rp200 triliun. Apalagi sebagian besar subsidi tersebut tidak tepat sasaran, yakni banyak dinikmati kelompok berpenghasilan menengah.

Konsekuensi dari situasi tersebut ialah APBN dan kebijakan fiskal dianggap tidak kredibel. Pemerintah dianggap tidak becus menangani perekonomian Indonesia. Selanjutnya, lembaga pemeringkat internasional (S&P, Moody's, Fitch) akan menurunkan peringkat Indonesia. Itu akan menyebabkan pemerintah dan sektor swasta Indonesia harus membayar lebih mahal imbal hasil (yield) penerbitan obligasi pemerintah dan korporasi. Akibatnya, bunga utang pemerintah dan swasta akan meningkat. Berkurangnya kredibilitas perekonomian Indonesia juga akan menurunkan gairah investor asing untuk masuk ke sini. Berkurangnya investasi asing akan menyebabkan cadangan devisa kita tidak beranjak naik. Saat ini saya perkirakan cadangan devisa kita sudah di bawah US$105 miliar--makin mendekati batas psikologis US$100 miliar. 

Sementara itu, jika harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan, tren konsumsi akan terus naik. Padahal, produksi saat ini yang hanya 840 ribu barel per hari, sedangkan konsumsinya sekitar 1,4 juta barel per hari, akan menyebabkan impor terus meningkat dari posisi sekarang 560 ribu barel per hari. Tren itu akan menyebabkan defisit perdagangan terus meningkat. Konsekuensinya, cadangan devisa akan kian tergerus.

Melemahnya cadangan devisa akan menyebabkan kemampuan BI untuk mendukung kurs rupiah ikut melemah. Intervensi BI di pasar uang untuk menahan kurs rupiah agar tidak terkulai dilakukan dengan dana yang berasal dari cadangan devisa.

Dari konstruksi berpikir itulah dapat disimpulkan bahwa penaikan harga BBM ternyata berkorelasi dengan kurs rupiah. Jadi, kalau masih ada kalangan politisi yang mencoba mempertahankan harga BBM dengan cara mengalokasikan dana pos-pos lain untuk menutup belanja subsidi APBN, itu tidak menyelesaikan masalah.
Masalah yang dipertanyakan para pelaku ekonomi terhadap subsidi BBM bukan soal apakah APBN bisa membiayai besarnya subsidi. Hal yang lebih mendasar ialah: 1) APBN dinilai tidak sehat karena ada alokasi subsidi yang besar dan celakanya banyak salah sasaran dan 2) tidak ada upaya untuk menghentikan misalokasi itu atau membiarkan masalah tersebut berlarut-larut ke depan tanpa solusi fundamental apa pun.

Solusi terhadap subsidi BBM ibarat seseorang yang mengidap penyakit kanker, tetapi si pasien tidak berani melakukan operasi pengangkatan. Yang dilakukan hanyalah mematikan rasa sakit, tetapi bukan akar permasalahan sakitnya, yakni keberadaan benjolan kanker yang kian membesar. Operasi bedah sebagai solusinya memang menyakitkan, tapi sesudah itu ada harapan si pasien akan sembuh.

Dengan demikian, solusi terhadap volatilitas rupiah belum bisa dikatakan tuntas dengan terbitnya bauran kebijakan (policy mix) oleh BI berupa kombinasi penaikan suku bunga Fasbi dan BI rate. Masih ada sentimen negatif terhadap kondisi fiskal kita yang belum ditangani, yakni keberadaan subsidi BBM yang besarannya sudah melampaui batas kewajaran.


Karena itu, penaikan harga BBM merupakan sebuah jalan solusi yang tak bisa dihindari lagi. Jika itu dilakukan, akan terbit harapan membaiknya kredibilitas kebijakan fiskal yang selanjutnya dapat membantu bertambahnya keyakinan (trust) terhadap kurs rupiah. Semoga politisi bisa memahami konstruksi dan skema penguatan rupiah tersebut melalui jalur kebijakan fiskal. Mengandalkan kebijakan moneter saja sudah tidak cukup memadai.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar