|
MEDIA
INDONESIA, 17 Juni 2013
SESUNGGUHNYA,
sebagian besar mata uang di seluruh dunia akhir-akhir ini memang sedang
terdepresiasi (melemah) terhadap US$. Penyebab utamanya ialah membaiknya
perekonomian Amerika Serikat (AS). Pada Mei 2013, di AS telah tercipta 175 ribu
lapangan kerja baru sehingga data pengangguran menurun menjadi 7,5%. Sebagai
perbandingan, level tertinggi pengangguran di AS adalah 10% saat krisis subprime mortgage memuncak pada
pertengahan 2009. Inflasi AS kini juga rendah, yakni 1,1%. Sederet data positif
tersebut mendorong pemerintah AS mengurangi atau bahkan menyetop kebijakan quantitative easing (The New York Times, 7/6).
Quantitative easing
ialah pembelian kembali obligasi pemerintah AS sebagai upaya stabilisasi harga.
Kebijakan itu sekaligus memompa likuiditas US$ sehingga jumlah peredarannya
meningkat. Dengan money supply US$
yang meningkat, kurs US$ akan cenderung melemah. Kurs US$ yang melemah
diharapkan dapat membantu mengurangi defisit perdagangan dan neraca transaksi
berjalan AS yang kini mencapai US$475 miliar. Defisit AS terutama terjadi terhadap
China. Karena kini per ekonomian AS mulai berangsur membaik, kebijakan quantitative easing bisa dihentikan atau
setidaknya dikurangi. Implikasinya, kurs US$ kini terus menguat terhadap hampir
semua mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Bagi Indonesia, melemahnya kurs
rupiah sebenarnya bisa memberi manfaat, yakni mem bantu mengatasi defisit
perdagangan. Data April 2013 menunjukkan defisit kita US$1,62 miliar, yang berasal
dari ekspor US$ 14,7 miliar berbanding impor US$16,3 miliar. Defisit neraca
perdagangan dimulai tahun lalu ketika untuk pertama kalinya sejak 1961,
Indonesia menderita defisit perdagangan US$1,63 miliar yang berasal dari ekspor
US$190,04 miliar berbanding impor US$191,67 miliar.
Dengan rupiah melemah,
sebenarnya kita bisa berharap defisit akan dapat ditekan atau bahkan kembali ke
jalur surplus. Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Kurs rupiah yang
melemah, misalnya menembus batas psikologis Rp10 ribu per US$, akan mudah
menimbulkan kepanikan dan spekulasi. Ketika sentimen itu berkobar, para pemilik
dana akan segera memindahkan kekayaan mereka dari rupiah ke US$. Jika terjadi,
itu bisa berefek bola salju: kurs rupiah terus bergerak liar menabrak batas
psikologis selanjutnya: Rp11 ribu, lalu Rp12 ribu, Rp 13 ribu, dan seterusnya.
Kejadian semacam itu pernah kita alami pada saat krisis finansial Asia
1997-1998.
Jadi, dalam kasus rupiah,
berlaku rule of thumb: tidak boleh
terlalu lemah (yang akan mengganggu kredibilitas, menimbulkan kepanikan dan
spekulasi), tapi juga tidak boleh terlalu kuat (yang akan melemahkan daya
saing). Rupiah tidak usah sekuat Rp8.500 per US$ (2011) yang akan menyebabkan
defisit neraca perdagangan, tapi juga jangan sampai menembus Rp10 ribu per US$
seperti sempat terjadi pekan lalu, sebelum dihentikan dengan kenaikan BI rate
dari 5,75% menjadi 6%.
Bagaimana caranya agar rupiah
tetap dapat dipertahankan di bawah Rp10 ribu per US$? Dua jurus sudah dilakukan
Bank Indonesia (BI). Pertama, dengan menaikkan suku bunga Fasbi (Fasilitas
Simpanan Bank Indonesia), dari 4% menjadi 4,25%. Fasbi merupakan instrumen
moneter berupa fasilitas yang diberikan BI kepada perbankan (bank-bank umum)
untuk menempatkan kelebihan dana di BI. Namun, sebenarnya kebijakan itu tidak
terlalu efektif karena bank-bank saat ini tidak dalam posisi kelebihan
likuiditas. Dengan suku bunga simpanan yang rendah, bankbank justru kesulitan
menghimpun dana pihak ketiga (DPK).
Itu bisa dibuktikan dengan
semakin tingginya rasio LDR (loan to deposit ratio), yakni perbandingan kredit
yang disalurkan terhadap dana simpanan masyarakat di bank. Artinya, bank-bank
tetap menyalurkan kredit meskipun dana simpanan masyarakat mengalami stagnasi.
LDR saat ini sekitar 85%, naik dari posisi 83% pada akhir 2012.
Kedua, suku bunga acuan
(benchmark rate) dinaikkan, dari BI rate 5,75% menjadi 6%. Kenaikan itu sudah
benar. Jika tidak dinaikkan, akan terjadi ketimpangan antara suku bunga
simpanan di bank 5,755 berbanding ekspektasi inflasi (expected inflation) minimal 7%. Ekspektasi inflasi itu berasal dari
asumsi inflasi 2013 yang dibuat pemerintah (7,2%) ataupun oleh BI (7,76%).
Keduanya mengasumsikan adanya penaikan harga BBM bersubsidi dari Rp4.500
menjadi Rp6.500 per liter, yang konon akan dilakukan pekan ini.
Dengan ekspektasi inflasi yang
melebih suku bunga deposito, nasabah akan menerima suku bunga riil negatif (negative real interest rate) kira-kira
sebesar minus 1,5%. Karena itu, wajar jika para pemilik dana kemudian
memindahkan kekayaan mereka dari deposito rupiah menjadi pembelian valuta
asing, terutama US$. Kenapa US$? Karena semua mata uang kuat lainnya sedang
bermasalah. Euro sekarang melemah karena Bank Sentral Eropa menurunkan suku
bunga acuan menjadi 0,5%. Yen Jepang jelas terus melemah, mengiringi suramnya
perekonomian negara tersebut. Adapun yuan China selama ini memang dikenal
terbatas peredarannya. Pemerintah China tidak mau mata uang mereka beredar
terlalu banyak karena hal itu akan menyebabkan kurs yuan menguat sehingga akan
mengurangi daya saing produk-produk China.
Faktor membaiknya perekonomian
AS juga menyebabkan para pemilik dana di Indonesia kian bersemangat berburu
US$. Namun, di luar semua kalkulasi finansial tersebut, masih ada faktor lain
yang bakal menen tukan volatilitas rupiah, yakni soal harga BBM bersubsidi.
Bagaimana korelasinya?
Subsidi BBM yang angkanya
terlalu besar (jika digabung de ngan subsidi BBM untuk listrik akan mencapai
Rp300 triliun, berbanding volume APBN 2013 sebesar Rp1.700 triliun) menyebabkan
sentimen negatif. Logika ekonomi sulit menerima subsidi energi (BBM dan listrik)
akan mencapai Rp300 triliun, padahal kemampuan pemerintah untuk mengongkosi
pembangunan infrastruktur hanya Rp200 triliun. Apalagi sebagian besar subsidi
tersebut tidak tepat sasaran, yakni banyak dinikmati kelompok berpenghasilan
menengah.
Konsekuensi dari situasi
tersebut ialah APBN dan kebijakan fiskal dianggap tidak kredibel. Pemerintah
dianggap tidak becus menangani perekonomian Indonesia. Selanjutnya, lembaga
pemeringkat internasional (S&P,
Moody's, Fitch) akan menurunkan peringkat Indonesia. Itu akan menyebabkan
pemerintah dan sektor swasta Indonesia harus membayar lebih mahal imbal hasil (yield) penerbitan obligasi pemerintah
dan korporasi. Akibatnya, bunga utang pemerintah dan swasta akan meningkat.
Berkurangnya kredibilitas perekonomian Indonesia juga akan menurunkan gairah
investor asing untuk masuk ke sini. Berkurangnya investasi asing akan
menyebabkan cadangan devisa kita tidak beranjak naik. Saat ini saya perkirakan
cadangan devisa kita sudah di bawah US$105 miliar--makin mendekati batas psikologis
US$100 miliar.
Sementara itu, jika harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan, tren
konsumsi akan terus naik. Padahal, produksi saat ini yang hanya 840 ribu barel
per hari, sedangkan konsumsinya sekitar 1,4 juta barel per hari, akan
menyebabkan impor terus meningkat dari posisi sekarang 560 ribu barel per hari.
Tren itu akan menyebabkan defisit perdagangan terus meningkat. Konsekuensinya,
cadangan devisa akan kian tergerus.
Melemahnya cadangan devisa akan
menyebabkan kemampuan BI untuk mendukung kurs rupiah ikut melemah. Intervensi
BI di pasar uang untuk menahan kurs rupiah agar tidak terkulai dilakukan dengan
dana yang berasal dari cadangan devisa.
Dari konstruksi berpikir itulah
dapat disimpulkan bahwa penaikan harga BBM ternyata berkorelasi dengan kurs rupiah.
Jadi, kalau masih ada kalangan politisi yang mencoba mempertahankan harga BBM
dengan cara mengalokasikan dana pos-pos lain untuk menutup belanja subsidi
APBN, itu tidak menyelesaikan masalah.
Masalah yang dipertanyakan para
pelaku ekonomi terhadap subsidi BBM bukan soal apakah APBN bisa membiayai
besarnya subsidi. Hal yang lebih mendasar ialah: 1) APBN dinilai tidak sehat
karena ada alokasi subsidi yang besar dan celakanya banyak salah sasaran dan 2)
tidak ada upaya untuk menghentikan misalokasi itu atau membiarkan masalah
tersebut berlarut-larut ke depan tanpa solusi fundamental apa pun.
Solusi terhadap subsidi BBM
ibarat seseorang yang mengidap penyakit kanker, tetapi si pasien tidak berani
melakukan operasi pengangkatan. Yang dilakukan hanyalah mematikan rasa sakit,
tetapi bukan akar permasalahan sakitnya, yakni keberadaan benjolan kanker yang
kian membesar. Operasi bedah sebagai solusinya memang menyakitkan, tapi sesudah
itu ada harapan si pasien akan sembuh.
Dengan demikian, solusi terhadap
volatilitas rupiah belum bisa dikatakan tuntas dengan terbitnya bauran
kebijakan (policy mix) oleh BI berupa
kombinasi penaikan suku bunga Fasbi dan BI rate. Masih ada sentimen negatif
terhadap kondisi fiskal kita yang belum ditangani, yakni keberadaan subsidi BBM
yang besarannya sudah melampaui batas kewajaran.
Karena itu, penaikan harga BBM merupakan sebuah jalan
solusi yang tak bisa dihindari lagi. Jika itu dilakukan, akan terbit harapan
membaiknya kredibilitas kebijakan fiskal yang selanjutnya dapat membantu
bertambahnya keyakinan (trust)
terhadap kurs rupiah. Semoga politisi bisa memahami konstruksi dan skema
penguatan rupiah tersebut melalui jalur kebijakan fiskal. Mengandalkan
kebijakan moneter saja sudah tidak cukup memadai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar