Jumat, 21 Juni 2013

Revolusi Turki Rasa Suriah

Revolusi Turki Rasa Suriah
Hasibullah Satrawi ;   Pengamat politik Timur Tengah dan Dunia Islam
MEDIA INDONESIA, 20 Juni 2013


`TIDAK ubahnya petir di siang bolong, lengkap dengan banjir kirimannya.' Inilah mungkin istilah yang pas untuk melukiskan aksi demonstrasi yang terjadi di Turki dalam beberapa hari terakhir, setidaktidaknya dalam pandangan pemerintah dan segenap elite Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Dikatakan demikian karena Turki selama ini terus stabil dan melangkah pasti menuju masa depan yang lebih cemerlang, baik dari segi politik maupun ekonomi. Hal ini dialami Turki di saat rezim-rezim Arab di sekitarnya berguguran akibat guncangan revolusi.

Tak dinyana, Turki yang pada 2023 digadang-gadang akan masuk ke jajaran 10 negara maju dunia secara ekonomi, tiba-tiba diguncang aksi demonstrasi secara besar-besaran di sejumlah kota. Pada awalnya, aksi yang bermula pada 31 Mei ini dipicu rencana pembangunan pusat perbelanjaan di Alun-Alun Taksim. Namun, secara cepat gerakan ini berubah menjadi gerakan politik dan ideologis menuntut Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan untuk mengundurkan diri karena dianggap diktator dan melakukan kebijakan islamisasi.

Faktor Suriah

Dalam kondisi Timur Tengah karut-marut seperti sekarang, apa yang terjadi di Turki saat ini dapat dipahami sebagai imbas dari perkembangan politik luar, khususnya revolusi Suriah yang belum ada tandatanda akan segera berakhir.
Apalagi Turki selama ini kerap ikut campur dalam persoalan krisis politik di Suriah, dari membuka perbatasannya bagi kelompok-kelompok revolusi Suriah hingga kecaman terhadap rezim Bashar al-Assad.
Hal ini tentu dilakukan Turki untuk memastikan keamanan dan kepentingan nasionalnya dengan logika `politik bertetangga': segala yang terjadi di tetangga akan memberikan dampak terhadap keluarga, berapa pun kadarnya.

Dengan logika politik seperti di atas, Turki tampak sangat berambisi untuk men ciptakan Suriah yang stabil. Dalam kondisi seperti sekarang, Suriah yang stabil hampir mustahil bisa terwujud bila rezim Bashar al-Assad terus bercokol. Itu sebabnya, Turki kerap melakukan pelbagai macam manuver politik untuk segera menyelesaikan masalah Suriah yang berarti juga menyelesaikan sebagian dari masalahnya sendiri. Bahkan Turki juga kerap menjadi tuan rumah bagi pelbagai macam pertemuan kekuatan-kekuatan anti-Bashar al-Assad.

Di sinilah Turki mau tidak mau harus berhadapan langsung dengan rezim Suriah. Tentu ini bukan persoalan sederhana bagi Turki, di satu sisi berhadapan dengan rezim Al-Assad sama dengan berhadapan dengan seluruh kekuatan yang selama ini kerap membela Al-Assad, dari Hezbullah di Libanon, Iran, hingga Rusia. Adapun di sisi lain, negara-negara yang anti-Bashar al-Assad tidak mempunyai suara bulat untuk segera mengakhiri rezim Bashar al-Assad seperti yang diinginkan Turki, khususnya Amerika Serikat (AS) dan negara-negara sekutunya.

Itu sebabnya, Turki acap tampak `seorang diri' dalam menghadapi rezim Suriah bersama segenap kekuatan yang mendukungnya. Sementara itu, AS dan sekutu lainnya acap menutup mata dari ambisi dan kepentingan Turki untuk segera mengakhiri rezim Bashar alAssad sebagai langkah awal memastikan dan melindungi kepentingan nasionalnya.

Inilah yang sering penulis sebut sebagai logika `koalisi pinggiran' yang diterapkan AS terhadap Turki. Sikap seperti ini berbeda seratus persen dari kebijakan yang dilakukan AS terhadap Israel sebagai `koalisi inti'. Sementara itu, Turki dibiarkan sendirian menghadapi musuh-musuhnya. Faktor nasional Hal ini tak berarti bahwa revolusi Turki hanya disebabkan faktor Suriah semata. Karena sekuat apa pun faktor luar, sulit bisa beroperasi secara sempurna bila tidak didukung kondisi internal.

Secara internal, setidaknya ada tiga kelompok yang turut mengobarkan revolusi Turki saat ini. Pertama, kelompok sekuler plus militer. Sejarah Turki modern sarat dengan pertarungan antara kekuatan islamis dengan kelompok sekuler, khususnya militer yang kerap meneguhkan diri sebagai pengawal sekularisme Turki. Dalam sejumlah pertarungan, kelompok sekuler kerap menjadi pemenang, khususnya setelah militer turun tangan dengan melakukan aksi kudeta ataupun pemberedelan terhadap kekuatan-kekuatan islamis.

Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi) yang didirikan Erdogan dan teman-teman (2001) berhasil membuat cerita baru dalam sejarah pertarungan dua kekuatan besar di atas. Partai ini berhasil menang besar pada Pemilu 2002 dan terus berkuasa secara digdaya hingga hari ini.

Alih-alih mengudeta sebagaimana kerap dilakukan sebelumnya, kelompok militer justru dipaksa tak berdaya pada masa pemerintahan Erdogan dengan AKP-nya. Amendemen konstitusi menjadi senjata ampuh yang digunakan AKP untuk melumpuhkan kelompok militer. Amendemen konstitusi 2003, contohnya, berhasil melucuti hak eksekutif, hak pengawasan, dan hak penuntutan oleh Dewan Keamanan Nasional yang dikuasai kelompok militer. Amendemen konstitusi 2009 terus menyempurnakan amendemen sebelumnya hingga unsur sipil bisa masuk jajaran Dewan Keamanan Nasional (Erdogan: Muadzin Istanbul Penakluk Sekularisme Turki, hal 114).

Oleh karena itu, pada bagian tertentu, revolusi Turki saat ini bisa dipahami sebagai upaya perlawanan dari kelompok sekuler plus militer untuk melumpuhkan balik kekuasaan Erdogan dengan memanfaatkan perkembangan politik regional Timur Tengah, khususnya Suriah, sebagaimana telah disebutkan. Perubahan gerakan yang begitu cepat, dari penolakan terhadap proyek pembangunan tempat perbelanjaan di Alun-Alun Taksim (Taman Gezi) menjadi gerakan menuntut Erdogan mundur (sebagaimana telah disebutkan) bisa dijadikan sebagai salah satu bukti dari yang disampaikan di atas.

Kedua, kelompok pemberontak dari kaum Kurdi yang kerap terlibat konflik terbuka dengan aparat Turki. Kemungkinan ini menjadi faktor bagi revolusi Turki saat ini sangatlah kecil. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir, para pejuang Kurdi diberitakan telah meninggalkan Turki menuju Irak.

Ketiga, kelompok pro-Assad yang ada di internal Turki, khususnya dari kalangan Syiah. Selama revolusi Suriah berkobar, kelompok pro-Assad di Turki kerap bermanuver untuk menekan pemerintah agar tidak ikut campur dalam krisis di Suriah.

Di luar yang telah disebutkan di atas, tentu masih ada kemungkinan lain yang menjadi faktor bagi terjadinya revolusi Turki saat ini, baik faktor yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Termasuk di dalamnya adalah hubungan Israel-Turki yang jauh dari stabil akibat serangan kapal Mavi Marmara oleh pasukan Israel beberapa tahun lalu.

Namun demikian, bila dikalkulasi di antara faktor-faktor yang ada, revolusi Suriah bisa disebut sebagai faktor paling dominan bagi revolusi Turki saat ini. Mengingat kekuatan politik yang anti terhadap sikap Turki dalam mendukung kelompok revolusi Suriah tersebar di mana-mana, dari ranah global, regional hingga bahkan nasional Turki. Tak berlebihan bila dikatakan revolusi Turki saat ini berasa Suriah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar