Jumat, 21 Juni 2013

Di Balik Eufemisme Penaikan Harga BBM

Di Balik Eufemisme Penaikan Harga BBM
Joko Riyanto ;   Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan, Solo
MEDIA INDONESIA, 20 Juni 2013


PEMERINTAH memenangi dukungan formal untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi melalui persetujuan DPR atas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2013. Meski protes dan penolakan terjadi di mana-mana, penaikan harga BBM hanya tinggal waktu karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah lama mengondisikannya.

Selama ini, pemerintah berdalih anggaran negara banyak tersedot untuk subsidi BBM. Besaran subsidi BBM di APBN 2013 mencapai Rp 193,8 triliun atau sekitar 12% dari total APBN. Padahal, yang justru paling membebani ialah kewajiban pembayaran utang yang rata-rata menghabiskan 25% APBN per tahun.

Posisi total utang pemerintah pada April telah mencapai Rp 2.023,72 triliun, sedangkan tahun ini pembayaran bunga utang Rp113,2 triliun dengan cicilan pokoknya Rp58,4 triliun dan surat utang negara yang jatuh tempo 2013 sebesar Rp71 triliun. Dengan demikian totalnya mencapai Rp241 triliun atau 21% dari belanja APBN. Pembayaran utang itu termasuk subsidi bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp70 triliun per tahun. Jadi, selama ini, pemerintah lebih banyak terbebani oleh kewajiban pembayaran utang yang rata-rata menghabiskan 25% APBN per tahun, bukan oleh subsidi BBM. 

Selain itu, anggaran dianggap boros untuk belanja rutin pegawai ketimbang untuk pembangunan dan fasilitas kesejahteraan rakyat.

Kebijakan penaikan harga BBM merupakan keputusan apopulis. Publik pun mengartikan BBM sama dengan `beban berat masyarakat', khususnya masyarakat miskin. Sebab, entah sehebat apa pun program yang ingin dikembangkan pemerintah untuk membantu masyarakat miskin seperti bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), program keluarga harapan (PKH), beasiswa siswa miskin (BSM), atau programprogram lainnya, seperti selama ini, selalu gagal dalam implementasi di lapangan.

Akan tetapi, sejajar dengan itu telah muncul pula eufemisme yang meluncur di mana-mana dan ditembakkan ke mana-mana. Pemerintah, misalnya, mengatakan penaikan harga BBM ini sebagai konsekuensi logis dari niat baik pemerintah mengurangi subsidi BBM, sekaligus mengubah subsidi BBM menjadi subsidi kepada rakyat miskin untuk pendidikan, kesehatan, dan pangan (targeted subsidy). Sebab, subsidi BBM selama ini dinilai salah sasaran karena hanya menguntungkan sekelompok masyarakat kaya, khususnya para eksportir ilegal. Tetapi, benarkah argumentasi itu? Bagaimana menilai, menggambarkan, dan menjelaskan kebijakan itu dari dimensi yang lebih luas?

Sebagai objek

Apa pun logika dan argumentasi yang diadopsi pemerintah, eufemisme itu telah memuntahkan sejumlah isyarat. Pertama, naiknya harga BBM setidaknya membenarkan adanya tafsir aksiomatis tentang sifat kekuasaan yang selalu menekan pada nasib rakyat yang men derita, yang miskin, baik miskin secara ekonomi maupun secara politik. Miskin secara ekonomi, artinya tidak punya sandang, papan, dan pangan yang cukup.

Miskin secara politik, artinya tidak punya bargaining power dalam bersuara pengambilan keputusan atau kebijakankebijakan politik. Karena, biar bagaimanapun, keputusan `sepihak' itu telah membuat rakyat merasa selalu ditekan untuk menerima kebijakan tanpa reserve. Rakyat tidak bisa mengelak dan menawar agar penaikan harga BBM itu dapat ditunda dulu hingga terjadi perbaikan ekonomi secara signifikan.

Kedua, naiknya harga BBM tersebut telah mengisyaratkan sejarah yang semakin tidak ramah. Sejarah yang terus merampas keinginan negara dari komunitas masyarakat bangsa ini. Sejarah keberadaan negara yang diskriminatif. Sebuah pengkhianatan sosial yang sedang membentang di hadapan kita semua. Ketidakberdayaan rakyat miskin adalah `situasi batas' sebagai komunitas bangsa yang mempertaruhkan masa depan negeri ini.

Ketiga, kebijakan pemerintah yang condong diskriminatif itu pula telah memperkental kisah struktur sosial yang sedang hidup. Struktur sosial yang memelihara apati kekuasaan dan sentralisme kesejahteraan. Struktur sosial yang semakin menyuburkan dan melestarikan kemiskinan dan kemelaratan kaum tak berdaya.

Pengalihan beban

Struktur sosial negara melestarikan kapitalisme, yang membiarkan pertarungan ekonomi nonetika tanpa batas. Struktur sosial ketika negara tidak punya `energi' dalam melumpuhkan gurita kapitalisme dan menghapus kemiskinan struktural.

Keempat, negara seolah semakin melestarikan kemiskinan dengan kebijakan-kebi jakan yang tidak hanya apopulis, tetapi juga semakin tidak menjadi dentuman persoalan publik, dan sebaliknya semakin mengasah mesin kekuasaan selama ini yang begitu represif. Inilah ironisnya, bahwa negara sebenarnya lahir dan dibangun di atas dasar kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, yang sama-sama menderita, dan teleologi-kebaikan umum (common good) sebagaimana tesis Ernest Rennan tentang lahirnya sebuah negara kebangsaan dengan memiliki cita-cita yang sama. Namun, dalam praksisnya negara tidak pernah sanggup membangun kesejahteraan bagi seluruh masyarakat bangsa dan mengantarkannya kepada pemenuhan cita-cita bersama sebagai wujud moralitas dan etika politik negara.

Kelima, kebijakan yang `represif' ini mempresentasikan masalah yang jauh lebih besar dan mencekam yang sudah mengakar di negeri ini. Ia merupakan contoh dari ekspresi kekuasaan di mana saja di negeri ini antara orang kuat dan orang lemah, antara orang kaya dan orang miskin, antara kelompok elite kaya dan rakyat jelata.

Penaikan harga BBM hanya mengalihkan beban pemerintah kepada rakyat. Pemerintah telah lari dari tanggung jawabnya. Pemimpin dan para pemangku kepentingan negeri telah melenceng dari amanat Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan sumber kekayaan alam harus dikelola untuk kemakmuran rakyat.

Hal ini juga sebagai gambaran situasi dan kondisi kehidupan masyarakat bangsa ketika negara tidak pernah hadir secara serius untuk menunjukkan keberpihakannya. Semua itu memang merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan diskriminatif atau salah satu dari sekian banyak sign of the time yang kerap lewat di depan pintu sejarah bangsa ini.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar