|
INILAH.COM,
20 Juni 2013
Bila Anda menyaksikan jalannya
Sidang Paripurna DPR RI Senin (17 Juni) lalu, pasti Anda kesal. Sidang yang
ditayangkan secara live oleh stasiun
TV swasta dan radio itu seolah sebuah lelucon ala Srimulat atau Opera Van Java
– tetapi sama sekali tidak lucu.
Sidang itu amat penting, rapat besar para wakil rakyat
secara paripurna untuk menghasilkan keputusan menyetujui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun 2013, tetapi diselingi dengan
senda-gurau yang bisa menyakitkan rakyat.
Melalui mekanisme voting,
sidang itu akhirnya menghasilkan 338 anggota DPR yang menerima pengesahan RUU
menjadi UU, sedangkan sebanyak 181 menolak pengesahan tersebut.
Tetapi banyak yang menganggap bahwa tampaknya voting itu hanya sebuah formalitas
belaka karena pemerintah, yang seharusnya dikontrol oleh parlemen, sudah yakin
bahwa mayoritas fraksi bakal mendukung APBN-P 2013 -- yang berarti secara tidak
langsung mendukung kenaikan harga BBM, setelah melalui lobi-lobi sebelumnya.
Lobi-lobi pada tahap awal sidang itu menggambarkan bahwa
Fraksi PKS, Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Gerindra
tetap menolak rencana kenaikan harga BBM. Sebaliknya, lima fraksi lain
menyetujui kenaikan harga BBM: Fraksi PAN, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi
Partai Golkar, Fraksi PPP, dan Fraksi PKB.
Maka tak heran bila orang mengatakan voting para anggota DPR itu sekadar sandiwara, sebab tidak ada satu
pun anggota partai memberikan suara berbeda dengan suara Fraksi tempat mereka
bernaung.
Dari situ, kita melihat bahwa memang tidak ada seorang pun
yang berani tampil beda dari suara partai atau fraksinya masing-masing –
sehingga kita jadi bertanya, pada pemilu 2014, mungkinkah masing-masing calon
legislatif (caleg) yang akan kita pilih benar-benar bisa atau berani ‘mewakili
suara rakyat’ yang memilih mereka, dan bukan sekadar menyuarakan suara
partainya?
Mungkin sudah menduga hal itu, maka sebagian peserta sidang
penting itu bersikap santai saja, sambil bercanda, seolah memang tidak ada hal
serius yang harus diperhatikan benar.
Ketua DPR, Marzuki Ali, misalnya, pada awalnya bertanya –
secara formal memang beliau harus melakukannya – ‘apakah ada dari Partai Demokrat yang menolak’ (keputusan sidang).
Setelah tahu bahwa tidak ada satu pun orang Demokrat yang menolak, Marzuki
bergurau, “Berani ada yang menolak,
langsung dicabut saja.” Karuan saja, komentar Marzuki disambut gelak tawa
dari sejumlah anggota DPR.
Selain itu, masih ada berbagai gurau dan canda lain dalam
sidang itu – sehingga rakyat yang memonitor jalannya rapat penting itu pasti
kecewa, sedih atau geram. Mungkin sementara anggota DPR akan berkilah, bahwa
canda itu hanya untuk menurunkan ketegangan, karena sudah lelah duduk
berjam-jam sebelumnya.
Tetapi kita tidak sependapat dengan itu. Bahkan tidak aneh
bila ada yang menganggap bahwa kini makin sulit memercayai wakilnya di DPR.
Maka tak heran kalau belakangan ini makin banyak orang yang skeptis, atau
menganggap tidak lagi bisa menaruh trust
kepada para politisi – lebih-lebih bila mengaitkannya dengan berbagai kasus
korupsi yang menimpa para politisi yang berkantor di Senayan itu.
Sebenarnya, menurunnya kepercayaan kepada anggota parlemen
bukan hanya monopoli Indonesia. Di berbagai negara yang terdepan dalam
demokrasi pun, trust masyarakat
kepada para politisi telah menurun secara tajam.
Menurut studi (dipublikasikan tahun 2013 ini) yang menguji
kepercayaan terhadap pemimpin dunia, bila pada tahun 2011 lalu ada 52%
responden mengatakan mereka mempercayai pemerintah mereka melakukan hal yang
benar, maka pada tahun 2012 angka itu merosot hingga 43%.
Dalam survei terbaru yang dirilis Edelman itu terungkap,
hanya 18% warga Italia percaya bahwa suara mereka bermanfaat (dalam penetapan
kebijakan oleh pemerintahnya), sedangkan di Yunani (yang sedang ditimpa krisis
belakangan ini) hanya sekitar 15 % warga yang meyakini bahwa suara mereka punya
makna pada pemerintah.
Studi yang dikutip Jim Daly dalam TED Blog Januari 2013
lalu itu menyebutkan bahwa, hanya sekitar 20 % warga AS setuju bahwa pemerintah
mereka melakukan keputusan-keputusan yang benar.
Lalu, apakah demokrasi di dunia sedang dalam krisis? Benar,
kata ahli ilmu politik dan penulis Ivan Krastev dalam bukunya yang provokatif, “In Mistrust We Trust: Can Democracy Survive
When We Don’t Trust Our Leaders?”.
Menurut Krastev, demokrasi yang kita impikan tidak sama
dengan demokrasi yang kita jalani sehari-hari. Tetapi fakta bahwa demokrasi
yang ada sekarang menjadi aturan yang tidak sempurna belum pernah menjadi
alasan bagi kita untuk tidak menghargainya, memanfaatkannya secara benar, dan
memperbaikinya atau bahkan ‘siap mati’ untuknya.
“Yang
mengkhawatirkan saya saat ini adalah menurunnya kepercayaan kepada
institusi-institusi demokrasi – partai-partai politik, para anggota parlemen,
para pemimpin politik,” kata Krastev.
Makin sedikit dan terus makin sedikit orang yang pergi ke
bilik suara di berbagai negara demokratis. Anehnya, lagi, mereka yang paling
tidak tertarik pada pemilu adalah orang-orang miskin, para penganggur dan
anak-anak muda – mereka yang seharusnya justru paling tertarik memanfaatkan
sistem politik ini untuk memperbaiki kondisi mereka.
Tapi, bagaimana mungkin mereka tertarik pada pemilu, Bung
Krastev, bila wakil yang mereka pilih itu kemudian banyak bercanda pada sidang
penting seperti di Senayan itu?
Walhasil, kata Krastev, yang istimewa dalam krisis
demokrasi saat ini adalah bahwa pada hari ini tampaknya masyarakat kita makin
demokratis ketimbang sebelumnya, tetapi institusi-institusi publik makin tidak
dipercayai.
Warga negara (bahkan di negara demokrasi di Barat) memang
kian bebas ketimbang sebelumnya, tetapi para pemilih kini merasa kian tidak
punya kekuatan, kian lemah, dibanding sebelumnya.
Jika Anda tanya orang untuk menunjukkan, “Apakah mereka makin mendapat kekuatan?
Apakah Anda percaya bahwa Anda bisa memengaruhi kebijakan politik?” banyak
dari mereka di negara demokrasi tidak yakin bahwa suara mereka masih ada
pengaruhnya. Berbagai data terbaru yang terjadi di Yunani dan Itali di atas itu
menunjukkan bahwa kian sedikit rakyat yang yakin bahwa suara mereka
berpengaruh.
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki interaksi
antara para pemimpin kita dengan warganya? Fakta bahwa kian banyak rakyat yang
tidak percaya pada para politisi yang mengatur (negara) mereka menunjukkan
rakyat butuh didorong agar memiliki suara yang benar-benar nyata dan dapat ikut
menentukan tujuan.
“Bukanlah voting
yang menentukan demokrasi,” kata penulis
skenario Tom Stoppard, ”melainkan
penghitungannya.” Lalu, kita tambahkan, “melainkan
juga apa manfaat bagi rakyat yang dihasilkan voting itu.”
Lalu soal transparansi. Memang memonitor mereka yang
berkuasa sangatlah penting, tetapi kita tak boleh hanya puas pada transparansi,
karena meski itu penting, ‘tetapi
transparent policy is not the same as good policy, kebijakan yang transparan
tidak sama dengan ‘kebijakan yang baik’.
Harapan bahwa transparansi saja cukup untuk bisa ‘menyempurnakan kepercayaan kepada institusi
demokrasi dan para pemimpinnya’ adalah ilusi yang berbahaya. Transparansi
memang akan menjaga kekuatan politik agar tidak melenceng, tetapi kita tak
boleh berhenti di situ.
Yang belum dan perlu segera kita miliki pada hari ini, kata
Krastev, adalah apa yang sebut sebagai “democratic
reformism” (reformisme demokratik) – aksi-aksi politik yang tidak sekedar
mengontrol mereka yang berkuasa atau melakukan tekanan pressure pada tuntutan
tertentu, tetapi strategi politik yang dapat membawa perbaikan masyarakat
madani (society) secara menyeluruh.
Namun, bisakah itu dilakukan sambil bercanda di gedung parlemen? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar