Jumat, 21 Juni 2013

Dagelan di Senayan

Dagelan di Senayan
Syafiq Basri Assegaff ;   Konsultan Komunikasi, Pengajar di Universitas Paramadina dan The London School of Public Relations, Jakarta
INILAH.COM, 20 Juni 2013


Bila Anda menyaksikan jalannya Sidang Paripurna DPR RI Senin (17 Juni) lalu, pasti Anda kesal. Sidang yang ditayangkan secara live oleh stasiun TV swasta dan radio itu seolah sebuah lelucon ala Srimulat atau Opera Van Java – tetapi sama sekali tidak lucu.

Sidang itu amat penting, rapat besar para wakil rakyat secara paripurna untuk menghasilkan keputusan menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun 2013, tetapi diselingi dengan senda-gurau yang bisa menyakitkan rakyat.

Melalui mekanisme voting, sidang itu akhirnya menghasilkan 338 anggota DPR yang menerima pengesahan RUU menjadi UU, sedangkan sebanyak 181 menolak pengesahan tersebut.

Tetapi banyak yang menganggap bahwa tampaknya voting itu hanya sebuah formalitas belaka karena pemerintah, yang seharusnya dikontrol oleh parlemen, sudah yakin bahwa mayoritas fraksi bakal mendukung APBN-P 2013 -- yang berarti secara tidak langsung mendukung kenaikan harga BBM, setelah melalui lobi-lobi sebelumnya.

Lobi-lobi pada tahap awal sidang itu menggambarkan bahwa Fraksi PKS, Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Gerindra tetap menolak rencana kenaikan harga BBM. Sebaliknya, lima fraksi lain menyetujui kenaikan harga BBM: Fraksi PAN, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, dan Fraksi PKB.

Maka tak heran bila orang mengatakan voting para anggota DPR itu sekadar sandiwara, sebab tidak ada satu pun anggota partai memberikan suara berbeda dengan suara Fraksi tempat mereka bernaung.
Dari situ, kita melihat bahwa memang tidak ada seorang pun yang berani tampil beda dari suara partai atau fraksinya masing-masing – sehingga kita jadi bertanya, pada pemilu 2014, mungkinkah masing-masing calon legislatif (caleg) yang akan kita pilih benar-benar bisa atau berani ‘mewakili suara rakyat’ yang memilih mereka, dan bukan sekadar menyuarakan suara partainya?

Mungkin sudah menduga hal itu, maka sebagian peserta sidang penting itu bersikap santai saja, sambil bercanda, seolah memang tidak ada hal serius yang harus diperhatikan benar.

Ketua DPR, Marzuki Ali, misalnya, pada awalnya bertanya – secara formal memang beliau harus melakukannya – ‘apakah ada dari Partai Demokrat yang menolak’ (keputusan sidang). Setelah tahu bahwa tidak ada satu pun orang Demokrat yang menolak, Marzuki bergurau, “Berani ada yang menolak, langsung dicabut saja.” Karuan saja, komentar Marzuki disambut gelak tawa dari sejumlah anggota DPR.

Selain itu, masih ada berbagai gurau dan canda lain dalam sidang itu – sehingga rakyat yang memonitor jalannya rapat penting itu pasti kecewa, sedih atau geram. Mungkin sementara anggota DPR akan berkilah, bahwa canda itu hanya untuk menurunkan ketegangan, karena sudah lelah duduk berjam-jam sebelumnya.
Tetapi kita tidak sependapat dengan itu. Bahkan tidak aneh bila ada yang menganggap bahwa kini makin sulit memercayai wakilnya di DPR. Maka tak heran kalau belakangan ini makin banyak orang yang skeptis, atau menganggap tidak lagi bisa menaruh trust kepada para politisi – lebih-lebih bila mengaitkannya dengan berbagai kasus korupsi yang menimpa para politisi yang berkantor di Senayan itu.

Sebenarnya, menurunnya kepercayaan kepada anggota parlemen bukan hanya monopoli Indonesia. Di berbagai negara yang terdepan dalam demokrasi pun, trust masyarakat kepada para politisi telah menurun secara tajam.

Menurut studi (dipublikasikan tahun 2013 ini) yang menguji kepercayaan terhadap pemimpin dunia, bila pada tahun 2011 lalu ada 52% responden mengatakan mereka mempercayai pemerintah mereka melakukan hal yang benar, maka pada tahun 2012 angka itu merosot hingga 43%.

Dalam survei terbaru yang dirilis Edelman itu terungkap, hanya 18% warga Italia percaya bahwa suara mereka bermanfaat (dalam penetapan kebijakan oleh pemerintahnya), sedangkan di Yunani (yang sedang ditimpa krisis belakangan ini) hanya sekitar 15 % warga yang meyakini bahwa suara mereka punya makna pada pemerintah.

Studi yang dikutip Jim Daly dalam TED Blog Januari 2013 lalu itu menyebutkan bahwa, hanya sekitar 20 % warga AS setuju bahwa pemerintah mereka melakukan keputusan-keputusan yang benar.
Lalu, apakah demokrasi di dunia sedang dalam krisis? Benar, kata ahli ilmu politik dan penulis Ivan Krastev dalam bukunya yang provokatif, “In Mistrust We Trust: Can Democracy Survive When We Don’t Trust Our Leaders?”.

Menurut Krastev, demokrasi yang kita impikan tidak sama dengan demokrasi yang kita jalani sehari-hari. Tetapi fakta bahwa demokrasi yang ada sekarang menjadi aturan yang tidak sempurna belum pernah menjadi alasan bagi kita untuk tidak menghargainya, memanfaatkannya secara benar, dan memperbaikinya atau bahkan ‘siap mati’ untuknya.

“Yang mengkhawatirkan saya saat ini adalah menurunnya kepercayaan kepada institusi-institusi demokrasi – partai-partai politik, para anggota parlemen, para pemimpin politik,” kata Krastev.
Makin sedikit dan terus makin sedikit orang yang pergi ke bilik suara di berbagai negara demokratis. Anehnya, lagi, mereka yang paling tidak tertarik pada pemilu adalah orang-orang miskin, para penganggur dan anak-anak muda – mereka yang seharusnya justru paling tertarik memanfaatkan sistem politik ini untuk memperbaiki kondisi mereka.

Tapi, bagaimana mungkin mereka tertarik pada pemilu, Bung Krastev, bila wakil yang mereka pilih itu kemudian banyak bercanda pada sidang penting seperti di Senayan itu?

Walhasil, kata Krastev, yang istimewa dalam krisis demokrasi saat ini adalah bahwa pada hari ini tampaknya masyarakat kita makin demokratis ketimbang sebelumnya, tetapi institusi-institusi publik makin tidak dipercayai.

Warga negara (bahkan di negara demokrasi di Barat) memang kian bebas ketimbang sebelumnya, tetapi para pemilih kini merasa kian tidak punya kekuatan, kian lemah, dibanding sebelumnya.

Jika Anda tanya orang untuk menunjukkan, “Apakah mereka makin mendapat kekuatan? Apakah Anda percaya bahwa Anda bisa memengaruhi kebijakan politik?” banyak dari mereka di negara demokrasi tidak yakin bahwa suara mereka masih ada pengaruhnya. Berbagai data terbaru yang terjadi di Yunani dan Itali di atas itu menunjukkan bahwa kian sedikit rakyat yang yakin bahwa suara mereka berpengaruh.

Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki interaksi antara para pemimpin kita dengan warganya? Fakta bahwa kian banyak rakyat yang tidak percaya pada para politisi yang mengatur (negara) mereka menunjukkan rakyat butuh didorong agar memiliki suara yang benar-benar nyata dan dapat ikut menentukan tujuan.

“Bukanlah voting yang menentukan demokrasi,” kata penulis skenario Tom Stoppard, ”melainkan penghitungannya.” Lalu, kita tambahkan, “melainkan juga apa manfaat bagi rakyat yang dihasilkan voting itu.”

Lalu soal transparansi. Memang memonitor mereka yang berkuasa sangatlah penting, tetapi kita tak boleh hanya puas pada transparansi, karena meski itu penting, ‘tetapi transparent policy is not the same as good policy, kebijakan yang transparan tidak sama dengan ‘kebijakan yang baik’.

Harapan bahwa transparansi saja cukup untuk bisa ‘menyempurnakan kepercayaan kepada institusi demokrasi dan para pemimpinnya’ adalah ilusi yang berbahaya. Transparansi memang akan menjaga kekuatan politik agar tidak melenceng, tetapi kita tak boleh berhenti di situ.

Yang belum dan perlu segera kita miliki pada hari ini, kata Krastev, adalah apa yang sebut sebagai “democratic reformism” (reformisme demokratik) – aksi-aksi politik yang tidak sekedar mengontrol mereka yang berkuasa atau melakukan tekanan pressure pada tuntutan tertentu, tetapi strategi politik yang dapat membawa perbaikan masyarakat madani (society) secara menyeluruh. Namun, bisakah itu dilakukan sambil bercanda di gedung parlemen? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar