Senin, 17 Juni 2013

Restorasi Hutan dan Godaan Sawit

Restorasi Hutan dan Godaan Sawit
Hadi S Alikodra ;   Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) 
KORAN SINDO, 17 Juni 2013

Pemerintah dan dunia usaha tampaknya mulai menyadari betapa hebatnya kerusakan hutan di Indonesia. Banjir dan longsor yang terjadi di berbagai daerah belum lama ini terasa makin intens dan besar skalanya. 

Mulai dari Aceh sampai Papua, banjir dan longsor menjadi menu berita seharihari di media massa cetak maupun elektronik. Saking seringnya melihat berita banjir dan longsor, sampai-sampai tragedi lingkungan yang menyengsarakan rakyat tersebut nyaris menjadi“ beritarutin” yangtakmenggugah hati pemirsa lagi. Padahal siapa pun tahu, banjir dan longsor tersebut akibat masifnya pembukaan hutan untuk perkebunan, terutama sawit. Menyadari hal itu, pemerintah kini berusaha memperbaiki hutan. 

Caranya: meluncurkanprogramrestorasiekosistem kehutanan. Di Riau, misalnya, pemerintah mencanangkan program Restorasi Ekosistem Riau (RER), 7 Mei lalu. Apa yang menarik dari RER? RER yang diresmikan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan ini berasal dari “niat baik” industri pulp dan kertas Asia Pacific Resources International Holding Limited (APRIL) di Riau. RER akan memulihkan kerusakan hutan gambut korban pembalakan liar seluas 20.265 hektare di Semenanjung Kampar, Riau. 

Sebelumnya, pemerintah memberikan izin “program restorasi ekosistem hutan” ini di sejumlah lokasi, yaitu di Jambi (46.385 hektare), Sumatera Selatan (52.170 hektare), dan KalimantanTimur( 86.450hektare). Kita tahu, industri kertas yang bahan bakunya kayu memang sering mendapat sorotan, baik oleh organisasi lingkungan lokal, nasional, regional maupun internasional akibat “bahan baku”-nya yang besar yang diambildari kayudihutan. 

Memang industri pulp dan kertas mempunyai kawasan hutan tanaman industri sebagai pemasok bahan baku, tapi banyak orang yang ragu, apakah hutan tanaman industri mencukupi untuk sebuah pabrik pulp yang besar. Itulah sebabnya kenapa organisasi atau lembaga swadaya masyarakat peduli lingkungan acap menuduh industri pulp dan kertas sebagai biang keladi kerusakan hutan. Benarkah tuduhan itu? Wallahu a’lam. APRIL adalah produsen kertas dan pulp terbesar kedua di Indonesia. 

Dalam situsnya, perusahaan ini menyatakan: “Pergilah ke supermarket, toko alat tulis, toko buku atau jenis gerai konsumen lainnya di puluhannegara dankemungkinan Anda akan menemukan barang terbuat dari produk APRIL.” Namun, catatan APRIL di area konservasi sangat suram. Perusahaan ini diduga telah menghancurkan hutan hujan Sumatera, termasuk habitat harimau, menimbulkan kebencian masyarakat adat, dan gagal memenuhi target untuk bergantung100% pada perkebunan serat (hutan tanaman industri). 

Catatan terbaru menyebutkan 60% pasokan serat pabrik pulp APRIL adalah kayu hutan hujan di Indonesia. APRIL juga diduga menyuplai pabrik pulp-nya dengan kembali merusak 60.000 hektare hutan. Betulkah tuduhan tersebut? Tuduhan itu tampaknya hendak dijawab APRIL dengan program RER di atas: merestorasi ekosistem hutan agar hutan berfungsi seperti sediakala. 

Program restorasi ekosistem ini—mirip sebuah bisnis komersial—niscaya akan menguntungkan, tetapi jangkanya panjang. Ibaratnya, program restorasi ini sebagai bisnis HPH, tetapi tujuannya melestarikan hutan, bukan mengambil kayunya. 

Bila pemegang HPH konvensional melihat hutan dalam jangka pendek untuk dimanfaatkan kayunya dengan jalan menebang pohon, pemegang HPH restorasi justru kebalikannya: tidak boleh menebang pohon dan harus memulihkan ekosistem hutan yang rusak dengan menanam tumbuhan asli (lokal) dan merawatnya sehingga hutan tersebut pulih sebagaimana mestinya. Melihat goal-nya, HPH restorasi merupakan “bisnis lingkungan” untuk masa depan. 

Bisnis ini mungkin sepintas tampak kurang menguntungkan dibandingkan bisnis HPH zaman dulu yang goal-nya “memanfaatkan” kayu hutan. Tapi bila ditinjau lebih jauh ke depan, justru inilah bisnis yang sangat prospektif. Bisnis air, misalnya, saat ini merupakan bisnis yang prospektif karena air bersih makin langka. Indonesia dengan hutan tropisnya yang sangat subur bisa menjadi produsen air bersih yang besar. Kebutuhan Singapura dan Taiwan, misalnya—dua negara pulau yang makmur––, terhadap air bersih sangat besar. 

Mereka selama ini mengimpor air dari negara-negara terdekat seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand yang punya sumber air alam melimpah yang berasal dari hutan tropis. Indonesia yang punya hutan tropis lebih luas dari mereka bisa menjadi eksportir air tersebut dengan skala yang lebih besar. Dengan kekayaan flora dan faunanya, hutan-hutan tropis Indonesia juga sebetulnya punya potensi menarik wisatawan dalam negeri dan mancanegara. 

Ekoturisme kini berkembang pesat. Saat ini diperkirakan 25% turis internasional bertujuan wisata menikmati wisata lingkungan (ekoturisme). Ekoturisme bukan hanya melihat binatang buas seperti singa, cheetah, dan jerapah di habitat aslinya di Afrika, tapi juga menikmati air terjun, sumber air, atau melihat pemandangan indah hutan tropis lengkap dengan aneka flora dan faunanya yang banyak rupa dan warna. 

Thailand dan Malaysia, misalnya, sudah berhasil menjual ekowisatanya ke mancanegara hingga tak kurang 5 juta wisatawan tiap tahun membanjiri lokasi-lokasi ekoturismenya. Padahal, jelas-jelas Indonesia lebih kaya lokasi ekowisatanya dibandingkan kedua negara tetangga itu. Yangjugamenarik, ekowisata ini menghidupkan masyarakat sekitar hutan. Ekonomi masyarakat sekitar hutan, misalnya, tumbuh dengan pesat berkat ekowisata. Keberadaan sukusuku terpencil di Thailand yang hidupnya di zona hutan ekowisata, misalnya, menambah daya tarik turis mancanegara. 

Wanita-wanita suku Karen di pedalaman Chiang Mai, Thailand, yang lehernya panjang dengan perhiasan-perhiasan etniknya yang eksotis, misalnya, kini menjadi pesona tersendiri yang menarik jutaan wisatawan mancanegara. Indonesia yang mempunyai ribuan suku dengan adat istiadat unik dan eksotis niscaya mampu dikembangkan menjadi magnet ekowisata seperti kasus Thailand tadi. Jadi, pemerintah dan korporasi bisa meng-create banyak hal untuk memajukan ekowisata, baik secara natural maupun kultural. 

Kita appreciate terhadap program restorasi ekosistem hutan tersebut. Yang jadi persoalan, apakah program restorasi ini dapat menghentikan “perusakan” hutan di daerahdaerah yang para penguasanya hanya memikirkan keuntungan jangka pendek? Pembukaan hutan untuk lahan sawit kini “mewabah” di berbagai daerah. 

Status otonomi daerah memberikan kekuasaan besar kepada pejabat-pejabat daerah untuk memberikan izin pembukaan perkebunan sawit dengan pertimbangan ekonomi jangka pendek. Hasilnya yang kita lihat sekarang: kerusakan hutan makin luas dan bencana banjir makin mengancam banyak wilayah Nusantara. Banjir tak hanya melanda Jawa, tapi juga Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua. Penyebabnya nyaris sama: pembukaan hutan untuk perkebunan, khususnya sawit. Perkebunan sawit memang amat menggoda secara komersial. Pasarnya moncer, pembiayaannya gampang. 

Dunia perbankan siap mengucurkan dananya untuk perkebunan sawit karena bisnis ini dianggap layak pasar dan menguntungkan. Lalu, bagaimana dengan “bisnis” HPH restorasi? Maukah perbankan membiayainya? Kalau sifatnya hanya voluntary atau sekadar implementasi corporate social responsibility (CSR) perusahaan, niscaya geraknya kalah cepat dengan pembukaan perkebunan sawit yang merusak hutan.

Ibaratnya, pembukaan perkebunan yang merusak hutan lari cepat, sementara bisnis restorasi hutan merangkak. Makin lama makin ketinggalan. Perbandingan antara luas hutan yang rusak makin besar dibandingkan yang direstorasi. Karena itu, perlu terobosan kreatif dari pemerintah bagaimana menghentikan perluasan perkebunan yang merusak hutan sembari memperluas restorasi hutan yang rusak. 

Atau paling tidak, bagaimana mengupayakan agar pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dilakukan secara selektif sesuai dengan prinsip-prinsip penataan ekosistem yang tidak merusak hutan dan lingkungan. Ini perlu terobosan yang kreatif dan berwawasan ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar