|
KOMPAS,
17 Juni 2013
Kejahatan
tidak dapat dilenyapkan karena kejahatan kosokbali dari kebaikan; kesatuan
pasangan.
Kebaikan
pemerintahan yang bersih, yang dikehendaki, hanya dapat menyiasati bagaimana
terhindar dari kejahatan negara ini. Pembiaran korupsi oleh negara adalah
kejahatan.
Pemerintahan
SBY yang menanamkan tradisi negara hukum telah berani membentuk Komisi
Pemberantasan Korupsi yang bekerja berdasarkan hukum. Akibatnya, KPK sering diserang
berdasarkan pasal yang dikenakan padanya. Yang mengherankan, serangan itu
justru banyak dari pejabat negara. KPK tidak berada di atas hukum, trauma yang
mengingatkan pada pemerintahan otoriter sebelumnya sehingga KPK semakin rentan
eksistensinya. Bahkan, ada yang mengusulkan KPK dibubarkan saja.
Ini
menunjukkan gerakan antikorupsi yang diidam-idamkan rakyat belum sepenuhnya
menjadi niat semua pejabat negara. Tentu ada yang benar-benar antikorupsi,
tetapi lebih banyak yang bersikap netral, untuk tidak mengatakan prokorupsi.
Sikap
netral ini diberi peluang oleh diktum ”hukum di atas segalanya”. Nomor pasal
undang-undang tiap hari bergema, berseli- weran, beradu argumentasi di media
massa. Kebenaran adanya di kata-kata, bukan di tindakan. Tindakannya jelas
menilap uang rakyat, tetapi ia bisa dibebaskan atau setidaknya direduksi berdasarkan
logika bahasa.
Mereka
yang percaya pada kebenaran pasal-pasal hukum, yang diperkuat nomor dan
subnomornya, adalah yang percaya kebenaran kata-kata dan cenderung abai
terhadap perbuatan melanggar hukum yang masuk wilayah moralitas. Rakyat itu
buta hukum, apalagi nomor dan bunyi pasalnya, tetapi melek moral yang dengan
jelas melihat terang benderang siapa berbuat jahat dan berbuat baik. Dengan
media televisi yang masuk ke setiap rumah warga negara, mereka melihat dengan
mata kepala sendiri bagaimana mereka yang digiring ke gedung KPK rata-rata
memperlihatkan wajah tak bersalahnya. Apakah mereka percaya kata-kata akan
membebaskannya di pengadilan manusia?
Landasan
utama pemimpin rakyat sejak zaman dahulu adalah moral. Itu sebabnya, dari
dahulu sampai sekarang pengangkatan seorang pemimpin senantiasa bersifat sakral
dengan sumpah jabatan yang diucapkan di depan pemimpin agama, yang berarti di
depan Tuhan. Ini menunjukkan jabatan memimpin rakyat bukan sekadar pekerjaan
vokasional, melainkan amanah orang terpilih secara metafisika.
Enam
dan delapan
Itu
sebabnya, ditetapkan adanya enam jenis larangan yang harus dihindari seorang
pemimpin: perbuatan nista atau maksiat, dusta atau bohong kepada publik, ingkar
janji dan ingkar sumpah, iri hati dan pencuriga, serakah, dan candala atau
menggelapkan uang negara. Rupanya justru enam larangan pemimpin kuno ini yang
banyak dilanggar.
Sebaliknya
ada delapan nilai yang harus dilakukan seorang pemimpin rakyat yang dikenal
sebagai astabrata atau delapan jalan. Jadi, keharusannya lebih banyak dari
larangannya. Astabrata adalah konsep kepemimpinan negara pramodern yang
menempatkan manusia sebagai bagian dari alam semesta karena alam adalah kebenaran.
Alam adalah kemungkinan manusia dapat hidup, bukan dieksploitasi untuk
keserakahan hidupnya.
Pemimpin
harus bersifat tanah dan air, yakni berpikir produktif bagaimana membuat negara
berkecukupan, makmur, sejahtera. Kekayaan negara yang dihasilkannya tak masuk
ke kantong sendiri, justru sepenuhnya didermakan buat rakyatnya. Inilah ilmu
kantong bolong, sebanyak yang diperolehnya sebanyak itu pula yang diberikan
kepada mereka yang butuh.
Pemimpin
bersifat api dan angin, dapat menghanguskan segala sesuatu, yakni tegas dan
keras dalam keadilan. Pemimpin itu dewa kesuburan dan kekayaan sekaligus juga
dewa maut.
Pemimpin
bersifat laut dan bintang, luas dan tinggi, banyak pengetahuan dan tinggi
wawasan. Di samping itu juga bersifat matahari dan bulan, menerangi,
mencerdaskan, sekaligus membuat rakyat tenang hidupnya.
Intinya
adalah kerja keras buat rakyat, adil buat rakyat, menjaga ketenangan hidup
rakyat dalam kecerdasannya buat rakyat, bukan sebaliknya. Kalau pikiran
egoistis, sempit, cupet-pendek, dangkal, ini masih merajalela di kalangan
pemimpin kita, maka enam dosa pemimpin akan mempercepat kekacauan negara. Dalam
keadaan semacam itu, jangan harap ada gerakan antikorupsi yang sungguh-sungguh.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar