|
KOMPAS,
17 Juni 2013
Konon
kepada filsuf Mohammed Arkoun pernah ditanyakan apakah revolusi Islam di Iran
itu dikehendaki Tuhan. Dengan cerdas Arkoun menjawab, ”Dalam setiap revolusi,
wacana tentang Tuhan ikut terlibat mendorong perubahan sosial.”
Tampaknya,
jika kita tanya saat ini kepada Karen Armstrong mengenai Tuhan, entah apakah ia
memercayai-Nya atau apakah Tuhan itu ada dan pada ihwal mana yang menjadi medan
kerja-Nya saat ini, ia akan menjawab mirip dengan nada yang Arkoun katakan di
atas.
Bagi
Armstrong, yang penting ialah kualitas wacana tentang Tuhan itu sendiri, yang
menurutnya selalu kontekstual dan memiliki sejarahnya. Maka, perlulah dirinci
percakapan tentang Tuhan mana yang bernas dan cocok dengan tantangan masa kini
kita.
Akan
tetapi, apakah ia sama saja dengan pemikir reduksionis abad XIX tentang Tuhan,
seperti Freud atau Marx? Dalam studinya yang monumental, The History of God (1993), ia semula menduga bahwa sejarah Tuhan
tak lebih dari pantulan sejarah kekerasan hati dan kepiluan manusia. Temuannya
memang tak terlalu meleset dari dugaannya itu, tetapi juga ternyata begitu banyak
yang mengejutkan. Agama, ruang utama wacana Tuhan, telah melakukan kerja yang
cukup baik, yaitu membangkitkan rasa takjub tentang hidup bagi manusia di
sepanjang 4.000 tahun sejarah Tuhan yang ditelitinya tersebut.
Dengan
demikian, isyarat penting dari Armstrong ialah bahwa kita pun, di sudut sejarah
dan ruang kontemporer ini, sungguh membutuhkan wacana yang khas akan Tuhan.
Malah kita mendapat tambahan tugas baru: bergulat mencerna dan menemukan Tuhan
dalam percakapan sehari-hari kita di era modern yang serba rasional dan empiris
tersebut.
Tampaknya
realisme akan duduk perkara Tuhan dan wacana atas-Nya inilah yang membuat
bukunya dan pemikirannya begitu mendunia, sampai ke Indonesia. Pembaca
diajaknya sekarang dengan leluasa membicarakan Tuhan sebab Tuhan juga secara
unik dan khas dibicarakan oleh para pendahulu kita. Dan, tantangan terbesar
Armstrong ialah: kita tak lagi bisa membicarakan Tuhan dengan meniru-niru
wacana yang dikembangkan para pendahulu rohani kita.
”Kegagalan
Tuhan”
Keleluasaan
membicarakan Tuhan tersebut juga menuntut kita rela mendiskusikan bahwa wacana
Tuhan pernah gagal membantu manusia hidup berdampingan satu dengan lainnya. Ada
mitos yang dikembangkan agama-agama yang telah menciptakan sejarah muram hidup
manusia.
Dalam
bukunya, Holy War (1988), ia mencoba
memakai ”visi tiga sisi dari Islam-Kristen-Yudaisme” dalam menganalisis hikayat
pergolakan dan benturan ”anak-anak Abraham” itu, khususnya dalam episodenya
yang paling dramatis, yaitu Perang Salib di Abad Pertengahan dulu.
Artinya,
ia melihat tiap-tiap wacana dari ketiga agama itu dan dari situ ia menguraikan
betapa wacana itu menjadi mitos dengan daya terjangnya yang kuat di dalam
lapangan kehidupan. Dari Yahudi ada wacana Eretz Yisrael atau Tanah Israel,
dari Kristen wacana Perang Salib, dari Islam wacana Hijrah/Jihad.
Dalam
menguraikan tesisnya itu, ia mulai sejak awal dari Abraham sendiri, yang oleh
ketiga agama itu dianggap sebagai pendiri monoteisme. Tampaknya sikap eksklusif
masuk dan menjadi bagian dari wacana ketiga agama itu. Ada satu Tuhan, makanya
hanya ada satu solusi: kemenangan dari satu iman yang benar terhadap yang lain;
yang dalam kemenangannya maka tanah, keselamatan atau kejayaan pun diberi, dan
yang lain diusir keluar sebagai yang pagan, tidak selamat atau kafir.
Dalam
lintasan sejarah, sifat eksklusif ini—mengambil contoh Barat Kristen—terus
disimpan, bahkan sampai era kolonialisme modern. Ada yang nonreligius yang
sesungguhnya terjadi di era itu, yaitu ekspansi ekonomi Barat. Namun, oleh
mitos tersebut, posisi Barat didaku sebagai yang benar, direstui Tuhan, dan
rasional, yang lantas memberi legitimasi bahwa ia datang membawa peradaban dan
iman yang benar kepada kaum rongsokan di Asia dan Afrika.
Wacana
Tuhan telah menjadi percakapan yang menyingkirkan yang liyan di situ. Bagi
Armstrong, wacana Tuhan yang agresif ini tidak boleh dibiarkan menetap di
tiap-tiap agama sebab kini pertaruhannya ialah hidup bersama di planet yang
semakin rentan dan padat ini.
Belas
kasih
Maka,
Armstrong kini akan datang dengan program lintasiman yang tampaknya hendak
menebus kegagalan Tuhan itu, dengan kampanye Belas Kasih atau Compassion-nya.
Ia malah memperkenalkan 12 langkah membangun sikap berbelas kasih, yang
sumbernya ialah Tuhan ataupun wacana tentang yang ultim yang ada di setiap
agama. Ia ingin membawa belas kasih ke pusat moralitas dan agama.
Dalam
studi mendalamnya terkait zaman poros, memang terjadi terobosan religius yang
melintas dari Yunani, Timur Tengah, India, sampai China. Terobosan ini muncul
dengan masuknya sikap adil sebagai inti wacana Tuhan, yang dibahasakan sebagai
Kaidah Kencana: jangan perlakukan orang lain dengan cara yang engkau tidak
inginkan terjadi pada dirimu sendiri.
Maka,
Armstrong ingin agar setiap agama menjadikan lagi kaidah itu sebagai kriteria dalam
mereka menafsirkan Kitab Sucinya dan mengambil tindakan dalam hidup
sehari-hari. Kaidah ini sesungguhnya adalah sisi lain dari sikap belas kasih
yang ada di setiap agama. Belas kasih adalah sisi dalam dari sikap adil yang
tak saja menguntungkan diri sendiri, tetapi juga semua orang.
Simbol
atau wacana utama agama—dari kisah Sang Buddha melihat penderitaan sesamanya,
salib dalam kekristenan, ingatan Nabi Muhammad atas masa kecilnya, hingga
Gandhi yang tidak membalas saat dinista—sesungguhnya menyimpan sikap empati
yang meluas jangkauannya.
Seruan
baru
Wacana
agama sesungguhnya mengandung secara mendasar sikap universal dan belarasa yang
melintas batas. Karena makna beriman ialah memilih gaya hidup tertentu yang
khas, tidak bisa tidak sikap belas kasih tanpa batas itu akan menjadi keunikan
wacana dan hidup beragama masa kini.
Kita
di Indonesia jadi teringat akan sikap rukun yang dicanangkan oleh ”Bapak dialog
antaragama”, yaitu Mukti Ali. Beliau menekankan perlunya sikap tenggang rasa
dalam arti ”sepakat untuk tidak sepakat”. Kiranya sikap itu kita lanjutkan dan
perluas dengan seruan baru: ”sepakat untuk tanpa batas hidup berbelas kasih”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar