Senin, 17 Juni 2013

Kakus dan Pancasila II

Kakus dan Pancasila II
Sarlito Wirawan Sarwono ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 16 Juni 2013


Bagaimanapun, haramnya pup mesti kita lokalisasikan di tempat yang namanya kakus atau toilet. Kalau bisa, kakus itu dibuat sebersih dan seindah mungkin agar kesan joroknya hilang. Tanpa kakus, maka pupitu akan bertebaran di mana-mana: di balik lemari, di kolong tempat tidur, atau di bawah karpet. Hihihihi, jijaykan? Begitu juga pelacuran. Banyak kepala daerah yg enggan disebut daerahnya ada lokalisasi. 

Tetapi tanpa lokalisasi, PSK (pekerja seks komersial) tetap beroperasi dari mana-mana, termasuk dari kos atau rumahnya sendiri. Siapa tahu mereka ada yang mengekos di rumah Anda? Karena itu, sebaiknya (menurut saya) kita ikuti strategi Gubernur Ali Sadikin dan Pemerintah Malaysia yang mengharamkan pelacuran di tempat lain kecuali di lokalisasi dan memanfaatkan pemasukan dananya untuk pembangunan. Akhirnya saya tutup tulisan saya minggu lalu itu dengan kalimat “Mungkin sekali ada yang tidak setuju dengan pendapat saya. Apalagi kalau rujukannya kitab suci. Ya, silakan saja. Tetapi, kenapa masih ada kakus di rumah Anda?” 

Setelah dimuat di KORAN SINDO, tulisan itu saya posting di Facebook saya. Tanggapan yang masuk banyak sekali, kebanyakan setuju dan minta izin untuk sharing. Tetapi, seperti yang saya duga, ada beberapa yang tidak setuju. Gak apa-apa, beda pendapat itu kan biasa. Tetapi, saya ingin berbagi dengan Anda tentang argumentasi yang mereka gunakan untuk menggugurkan pendapat saya. 

Saya ambil dua pendapat saja dari mereka yang berbeda pendapat dengan saya. “Jadi maksud Prof, kita disuruh makan uang hasil judi, pelacuran, maksiat. Waduh, Prof... Lebih baik kita berusaha sadarkan dan latih mereka. Hahaha... Negara kita mau ditimpa bencana apalagi, Prof?”
“Pemusnahan Lokalisasi menimbulkan masalah baru, kemana kah para PSK? Simpel: mereka bukan penduduk asli, jadi bisa saja mereka pulang ke daerah asalnya....Kalau mereka sulit mencari nafkah karena lokalisasi sudah ditutup, percayalah mencari mangsa adalah jalan terakhir, kalau lah masih ada jalan yang lain, pastilah mereka tempuh. Di sinilah peran pemerintah. Kalau sudah menutup, ya sediakanlah usaha baru buat mereka, entah pelatihan menjahit, memasak dsb.”
Kedua argumentasi itu normatif, yaitu sesuai dengan norma, terutama norma agama. Kalau norma sama dengan fakta di lapangan maka argumentasi itu benar. Tetapi nyatanya, datadi lapangan sangat berbeda dengan fakta di lapangan. Usaha untuk menyadarkan dan melatih para PSK sudah sangat banyak dilakukan, baik oleh pemerintah (pantipanti rehabilitasi yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial), maupun oleh LSM (kebanyakan organisasi wanita dan/atau keagamaan). 

Banyak PSK yang ikut, ada yang berhasil, sebagian dipulangkan ke kampungnya masing-masing. Tetapi, jauh lebih banyak yang tidak ikut panti, atau awalnya ikut dan jadi residivis. Pasalnya, faktor yang berpengaruh banyak sekali, mulai dari faktor ekonomi (kemiskinan) sampai adat-budaya (ada beberapa daerah yang justru menjadi sumber SDM PSK). Karena itu, walaupun program-program rehabilitasi tetap harus dijalankan, kita tidak boleh menafikan fakta bahwa panti rehab tidak bisa menghapuskan pelacuran. 

Untuk itulah, lokalisasi diperlukan (agar mereka lebih bisa dikontrol kesehatannya dll). Selain itu, tsunami di Aceh membuktikan bahwa tidak ada hubungannya antara bencana dan agama. 

Tetapi, memang fakta tidak serta bisa mengubah jalan pikiran seseorang. Berikut ini dialog seorang pasien dengan dokternya. “Dok, saya Zombie” “Gak mungkin. Kamu kan bisa jalan.” “Tetapi, Zombie jalan juga, Dok.” “Kamu kan bernapas?” “Zombie juga!” “Zombie mengeluarkan darah, gak?” “Ya, nggak, dong, Dok.” “OK, kalau begitu kamu saya suntik. Kita lihat apakah kamu berdarah.”
Setelah disuntik ternyata benar berdarah. “Wah, saya baru tahu, Dok! Ternyata Zombie juga mengeluarkan darah!” Dalam ilmu Logika, kesimpulan sang pasien yang tetap berpikir bahwa dia benar Zombie (mayat hidup) walaupun faktanya dia berdarah disebut “the naturalistic fallacy”, yaitu salah menyimpulkan karena kecenderungan untuk mengingkari fakta. Kalau fakta tidak sesuai dengan norma, maka dicari argumentasi untuk tetap membenarkan norma. 

Sulitnya, banyak orang Indonesia yang tidak terlatih untuk menggunakan logika dengan baik dan benar. Itulah sebabnya di tahun 1990-an, di awal era HIV/AIDS mulai melanda dunia, ada pejabat tinggi Indonesia yang menyatakan bahwa Indonesia tidak mungkin kemasukan HIV/AIDS karena Indonesia adalah negara Pancasila. Di tahun 1980-an seorang siswa SMA di Yogyakarta pernah dipecat dari sekolah karena laporan hasil surveinya menyatakan bahwa 25% dari teman-teman yang disebarinya angket mengaku sudah pernah berhubungan seks. 

Kepala Dinas Pendidikan ketika itu marah. Penelitian itu tidak mungkin benar, karena Provinsi DIY adalah provinsi yang berbudaya. Demikian juga orang tua tidak habis pikir, mengapa anaknya balik lagi jadi narkobais padahal ia sudah mengirimkan anaknya yang kena narkoba ke pesantren, yang terbaik. 

Seorang ibu tetap tidak menyetujui putrinya pacaran dengan pemuda yang mengenakan jins robek-robek, berambut gondrong, dan memakai anting, walaupun beberapa hari kemudian sang pemuda itu datang lagi berbusana eksekutif, berdasi sangat rapi, dan rambut terikat rapi, karena dia adalah CEO dari sebuah perusahaan IT (namun masih tetap juga memakai anting di salah satu kupingnya). 

Tentu saja orang boleh berpendapat. Tetapi pendapat yang terbaik, terutama kalau hendak memperbaiki keadaan masyarakat, haruslah yang berbasis fakta (empirical based), karena hanya dengan fakta empirik bisa disusun program yang efektif. Termasuk untuk menegakkan Pancasila yang bersih dari pup masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar