|
KOMPAS,
17 Juni 2013
Tahun
2045, tatkala kita memperingati 100 tahun NKRI, rasanya masih begitu jauh.
Namun, dari sudut pembelajaran bangsa, sebenarnya momen itu merupakan tonggak
di pengkolan jalan sebelah—artinya tidak jauh.
Ancang-ancang
pendidikan sudah harus dimulai dari sekarang (H Gunawan, Kompas, 5 Maret 2013)
kalau kita ingin Indonesia berperan dalam arus kemajuan dunia. Buchori dkk
(BSNP, 2012) menandai pergeseran paradigma pendidikan dengan sidik tekno sains.
Dalam
tekno sains, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berdiri sendiri, tapi
berdamping dengan ilmu sosial dan humaniora. Pembangunan watak abad ke-21 harus
diumpan dengan kecerdasan dan nalar melalui proses ajar-mengajar yang dialogis.
Penalaran
kritis
Maka,
Iwan Pranoto (Kompas, 14 Desember 2012) ingin menumbuhkan cinta pada ilmu,
sementara Daoed Joesoef (Kompas, 20 Mei 2013) memboboti jiwa keilmuan dengan
penalaran kritis dan steril-dogma.
T
Gunawan (Universitas Pembangunan Jaya) ingin membangun aspek penalaran dan
membidani daya pikir kritis, menyatukan keilmuan eksakta dengan kehidupan.
Maka, anak didik perlu dibekali adonan dasar disiplin ilmu yang bertali-temali.
Secara
generik pendidikan sains dan teknologi seperti itu berlabel pendidikan sains
pemerdekaan (sebagai padanan ”liberal”). Inilah salah satu sarana mengajarkan
sains agar lulusan pendidikan tidak cepat merasa tahu dengan hanya satu
disiplin ilmu. Tentu saja usaha ini tidak mengerdilkan upaya membentuk
spesialis, tetapi bertujuan memijah warga muda menjiwai cara pandang luas,
tidak miopik.
Perguruan
tinggi memegang peran penting dalam mengonstruksi modal kultural dan modal
sosial ke dalam kemajuan sains dan teknologi. Anak didik tidak lagi menjadi
obyek, tetapi dirangkul sebagai sosok intelektual berwawasan luas dan terbuka.
Kewajiban pendidik adalah membuat sosok intelektual itu jauh dari tipe
ahistorikal.
Landas
tujuan adalah ke-Indonesia-an karena pendidikan itu untuk manusia Indonesia
yang akan membangun Indonesia. Peserta didik membawa bekal multikultural
berbobot nilai luhur agama, watak etnik, gelegar bahasa-ibu dan budi bahasa
daerah, yang tidak dapat dinafikan. Karena itu, proses pendidikan adalah olahan
luhur, perlu kesediaan semua pihak menjiwainya.
Produk
pendidikan harus mampu mengetengahkan keunggulan nalar daripada biseps dan
terlatih berbahasa sopan dan rasional saat mempertentangkan atau menerima
argumen. Jiwa zaman menjadi penting untuk disertakan dalam perhitungan karena
masa depan mempunyai nuansa berbeda.
Tantangan
Anak
didik tahun 2013 akan menghadapi kenaikan jumlah penduduk dan usia lanjut
secara progresif, internasionalisasi yang membutuhkan penguasaan lebih dari
satu bahasa internasional, terhapusnya batas geografi dan ranah ekonomi
konvensional, kesadaran lingkungan, hak asasi dan kewajiban dasar manusiawi,
serta perubahan nilai dan pandangan kemasyarakatan.
Pendidikan
sains pemerdekaan tak lupa mengisi kemampuan berbahasa sebagai sarana
komunikasi antarmanusia, antarwarga, dan antarbangsa, dengan penekanan pada
kemampuan berkomunikasi, bukan sekadar bicara. Kita bersyukur memiliki lingua
franca, bahasa Indonesia. Inilah perekat elemen kebangsaan yang mampu
menyampaikan pesan kejiwaan dan spiritual.
Dalam
perjalanan hidup, penulis menemui ungkapan bijak bahasa Jawa ajining diri mergo
ukoro, yang artinya ’citra dan harga diri kita diukur dari tutur kata yang
dikeluarkan’. Kalimat bersayap ini kongruen dengan adagium Whitehead, yang
menyebutkan bahasa sebagai inkarnasi mental suatu bangsa.
Penguasaan
bahasa tulis maupun tutur akan membebaskan masyarakat dari tindak kekerasan
fisik provokatif. Menguasai bahasa dengan baik diharapkan dapat menyampaikan
buah pikiran, induktif maupun deduktif, untuk beradu pendapat.
Pengajaran
bahasa bertujuan menjadikan peserta didik mengenali kebutuhan sosial dan
masalah negara secara dewasa, mengasimilasikan atau membandingkan dengan
kebutuhan sendiri, ikut mematangkan intelektual, menjadi pisau bedah diagnostik
untuk memahami teks dalam konteks.
Skema
Pendidikan Nasional sudah dipakukan, yakni Indonesia yang berkultur jamak.
Penalaran, berpikir logis, bebas tidak dogmatik, perlu diobori untuk memetakan
jalan pembentukan manusia berkarakter mandiri, mampu menanggalkan ke-aku- an
dan mentransformasinya menjadi ke-kita-an.
Itikad
seperti itu semestinya tecermin dalam falsafah pendidikan dan ter-reka dalam
wujud kurikulum yang membentuk penalaran. Pemilahan baik dan jelek bukan oleh
kekuasaan, tetapi oleh kepekaan dan kejernihan pikir masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar