Minggu, 02 Juni 2013

Peran Pancasila Tak Tergantikan

Peran Pancasila Tak Tergantikan
A Kardiyat Wuharyanto  ;  Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
SUARA KARYA, 01 Juni  2013


Moment penting seperti Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 2013, perlu dijadikan media refleksi, bagaimana bangsa Indonesia menggunakan Pancasila untuk hidup berbangsa dan bernegara. Dalam rangka mempertahankan kehidupan bangsa dan negara, rakyat terpanggil untuk merevitalisasi Pancasila yang sedang berada di ambang bahaya.

Dalam konteks merevitalisasi Pancasila sebagai dasar negara menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis, seluruh lapisan masyarakat harus menyadari bahwa tanpa suatu platform dalam format dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa akan mustahil dapat mempertahankan survivalnya dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.

Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mempunyai makna bahwa Pancasila harus kita letakkan dalam keutuhan dengan Pembukaan, dan dieksplorasikan sebagai paradigma dalam dimensi-dimensi yang melekat padanya. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu dikonkritisasikan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjukkan kondisi objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sekaligus, merupakan ujud aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang demokratis tetapi tetap dalam kesatuan dan persatuan.

Penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan negara bukanlah pekerjaan yang sederhana. Proses pengesahannya melalui jalan yang panjang, penuh perdebatan yang berbobot, rasa tanggung jawab yang besar terhadap nasib bangsa dan negara di kemudian hari, tetapi juga penuh dengan rasa persaudaraan yang akrab.

Kiranya perlu disadari pula bahwa kebhinekaan maupun kesatuan-kesatuan Indonesia adalah suatu kenyataan dan suatu persoalan. Walaupun proses integrasi bangsa terus berjalan, namun potensi-potensi yang disintegratif belum hilang, bahkan amat mungkin tidak pernah akan hilang. Hal itu sebagai konsekuensi kita mendasarkan diri pada Pancasila. Sebab, Pancasila dengan karakter utamanya yang inklusif dan non-diskriminatif, tidak melihat kebhinekaan dan kesatuan-persatuan sebagai suatu perlawanan, melainkan merangkul kedua-duanya.

Pancasila amat menekankan kesatuan-persatuan, tetapi tanpa mematikan atau melenyapkan kebhinekaan. Di pihak lain, Pancasila menerima serta menghargai kebhinnekaan, tetapi dalam batas tidak membahayakan atau menghancurkan kesatuan-persatuan. Kebhinekaan dalam kesatuan-persatuan, dan kesatuan-persatuan dalam kebhinekaan. Di sinilah letak kekuatan Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila merupakan satu-satunya pemersatu bangsa yang paling mungkin.

Mencegah Perpecahan

Dalam konstelasi masyarakat Indonesia, memilih kesatuan-persatuan dengan mematikan kebhinekaan hanya akan menghasilkan konflik-konflik yang mungkin diketahui di mana awalnya, tapi tak pernah dapat diduga di mana atau bagaimana akan berakhir. Sebaliknya, memilih kebhinekaan dengan mengabaikan kesatuan-persatuan ibarat melepas bermacam-macam binatang buas dalam satu kandang, sehingga akan saling menerkam.

Kerangka dasar kehidupan nasional yang mendasarkan diri pada Pancasila akan melihat keragaman suku, agama, ras sebagai aset atau kekayaan bangsa. Namun, jiwa dan semangat Pancasila juga punya batas-batas yang menyangkut tetap tegaknya kesatuan-persatuan agar kebhinekaan itu tetap berfungsi sebagai kekayaan dan modal bangsa, jangan berfungsi sebaliknya.

Setelah melalui fase transisi, kesatuan-persatuan politis itu tetap mantap tapi kesatuan-persatuan berbangsa dan bernegara masih terkotak-kotak. Sudah ada interaksi yang dinamis, namun pada umumnya masih dalam bentuk interaksi antar kotak, yang tidak jarang justru mengganggu proses kebhinekaan.

Menghadapi permasalahan yang seperti inilah justru diperlukan pendekatan dan pola tindakan baru dalam kebersamaan demi keselamatan seluruh rakyat, terutama saat-saat bangsa kita sedang berupaya memberantas korupsi, kekerasan dan penghancuran lingkungan hidup.

Bertolak dari persoalan tersebut, barangkali faktor keselamatan seluruh rakyat itulah yang kiranya tetap merupakan perekat. Ada nasionalisme dan patriotisme, namun lebih ke dalam, antarkita dengan manifestasi ketulusan memberi dan menerima, ketulusan mendesak ke belakang kepentingan dan ambisi pribadi, golongan, atau suku lewat jalan Pancasila.

Jalan Pancasila tidak bisa dikatakan sebagai jalan yang mudah, tetapi sejak awal memang telah disadari bahwa memilih jalan Pancasila berarti memilih jalan yang tidak mudah. Juga, tidak dikatakan bahwa pembatasan-pembatasan yang bersifat eksternal tidak diperlukan. Tetapi, yang mesti jelas adalah, pembatasan-pembatasan eksternal saja tidaklah cukup. Itu mungkin dapat mencegah perpecahan, tetapi tidak dapat menumbuhkan kesatuan dan persatuan.

Ke depan, aspirasi masyarakat bangsa ini memang akan berkembang beraneka ragam dan bersamaan dengan itu dengan suasana yang lebih demokratis, berbagai aspirasi tadi muncul ke permukaan dan disuarakan. Dalam kondisi seperti itu Pancasila memang masih disanjung tetapi kurang atau bahkan tidak ada konsistensinya.

Oleh karena itu, tidak mustahil bahwa Pancasila akan semakin ditinggalkan. Hal ini tercermin dalam praktik-praktik yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi sosial.

Sadar atau tidak, bangsa ini telah terjebak dalam pengaburan nilai-nilai luhur Pancasila. Hal ini terbukti banyak keadaban publik tidak terbangun dan banyak orang disengsarakan. Dalam iklim demikian itu, rakyat sangat berharap agar pemerintah konsisten terhadap Pancasila. Sebab, apabila tidak mengondisikan penanaman nilai-nilai Pancasila itu, maka lama kelamaan negeri ini akan semakin terperosok ke jurang perpecahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar