|
SUARA KARYA, 01 Juni 2013
Moment penting seperti Peringatan
Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 2013, perlu dijadikan media refleksi, bagaimana
bangsa Indonesia menggunakan Pancasila untuk hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam rangka mempertahankan kehidupan bangsa dan negara, rakyat terpanggil
untuk merevitalisasi Pancasila yang sedang berada di ambang bahaya.
Dalam konteks merevitalisasi
Pancasila sebagai dasar negara menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis,
seluruh lapisan masyarakat harus menyadari bahwa tanpa suatu platform dalam
format dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa akan mustahil dapat
mempertahankan survivalnya dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.
Revitalisasi Pancasila sebagai
dasar negara mempunyai makna bahwa Pancasila harus kita letakkan dalam keutuhan
dengan Pembukaan, dan dieksplorasikan sebagai paradigma dalam dimensi-dimensi
yang melekat padanya. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu
dikonkritisasikan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjukkan
kondisi objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sekaligus,
merupakan ujud aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang
demokratis tetapi tetap dalam kesatuan dan persatuan.
Penetapan Pancasila sebagai dasar
falsafah bangsa dan negara bukanlah pekerjaan yang sederhana. Proses
pengesahannya melalui jalan yang panjang, penuh perdebatan yang berbobot, rasa
tanggung jawab yang besar terhadap nasib bangsa dan negara di kemudian hari,
tetapi juga penuh dengan rasa persaudaraan yang akrab.
Kiranya perlu disadari pula bahwa
kebhinekaan maupun kesatuan-kesatuan Indonesia adalah suatu kenyataan dan suatu
persoalan. Walaupun proses integrasi bangsa terus berjalan, namun
potensi-potensi yang disintegratif belum hilang, bahkan amat mungkin tidak
pernah akan hilang. Hal itu sebagai konsekuensi kita mendasarkan diri pada
Pancasila. Sebab, Pancasila dengan karakter utamanya yang inklusif dan
non-diskriminatif, tidak melihat kebhinekaan dan kesatuan-persatuan sebagai
suatu perlawanan, melainkan merangkul kedua-duanya.
Pancasila amat menekankan
kesatuan-persatuan, tetapi tanpa mematikan atau melenyapkan kebhinekaan. Di
pihak lain, Pancasila menerima serta menghargai kebhinnekaan, tetapi dalam batas
tidak membahayakan atau menghancurkan kesatuan-persatuan. Kebhinekaan dalam
kesatuan-persatuan, dan kesatuan-persatuan dalam kebhinekaan. Di sinilah letak
kekuatan Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila merupakan satu-satunya pemersatu
bangsa yang paling mungkin.
Mencegah Perpecahan
Dalam konstelasi masyarakat
Indonesia, memilih kesatuan-persatuan dengan mematikan kebhinekaan hanya akan
menghasilkan konflik-konflik yang mungkin diketahui di mana awalnya, tapi tak
pernah dapat diduga di mana atau bagaimana akan berakhir. Sebaliknya, memilih
kebhinekaan dengan mengabaikan kesatuan-persatuan ibarat melepas bermacam-macam
binatang buas dalam satu kandang, sehingga akan saling menerkam.
Kerangka dasar kehidupan nasional
yang mendasarkan diri pada Pancasila akan melihat keragaman suku, agama, ras
sebagai aset atau kekayaan bangsa. Namun, jiwa dan semangat Pancasila juga
punya batas-batas yang menyangkut tetap tegaknya kesatuan-persatuan agar
kebhinekaan itu tetap berfungsi sebagai kekayaan dan modal bangsa, jangan
berfungsi sebaliknya.
Setelah melalui fase transisi,
kesatuan-persatuan politis itu tetap mantap tapi kesatuan-persatuan berbangsa
dan bernegara masih terkotak-kotak. Sudah ada interaksi yang dinamis, namun
pada umumnya masih dalam bentuk interaksi antar kotak, yang tidak jarang justru
mengganggu proses kebhinekaan.
Menghadapi permasalahan yang
seperti inilah justru diperlukan pendekatan dan pola tindakan baru dalam
kebersamaan demi keselamatan seluruh rakyat, terutama saat-saat bangsa kita
sedang berupaya memberantas korupsi, kekerasan dan penghancuran lingkungan
hidup.
Bertolak dari persoalan tersebut,
barangkali faktor keselamatan seluruh rakyat itulah yang kiranya tetap merupakan
perekat. Ada nasionalisme dan patriotisme, namun lebih ke dalam, antarkita
dengan manifestasi ketulusan memberi dan menerima, ketulusan mendesak ke
belakang kepentingan dan ambisi pribadi, golongan, atau suku lewat jalan
Pancasila.
Jalan Pancasila tidak bisa
dikatakan sebagai jalan yang mudah, tetapi sejak awal memang telah disadari
bahwa memilih jalan Pancasila berarti memilih jalan yang tidak mudah. Juga,
tidak dikatakan bahwa pembatasan-pembatasan yang bersifat eksternal tidak
diperlukan. Tetapi, yang mesti jelas adalah, pembatasan-pembatasan eksternal
saja tidaklah cukup. Itu mungkin dapat mencegah perpecahan, tetapi tidak dapat
menumbuhkan kesatuan dan persatuan.
Ke depan, aspirasi masyarakat
bangsa ini memang akan berkembang beraneka ragam dan bersamaan dengan itu
dengan suasana yang lebih demokratis, berbagai aspirasi tadi muncul ke
permukaan dan disuarakan. Dalam kondisi seperti itu Pancasila memang masih
disanjung tetapi kurang atau bahkan tidak ada konsistensinya.
Oleh karena itu, tidak mustahil bahwa
Pancasila akan semakin ditinggalkan. Hal ini tercermin dalam praktik-praktik
yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi sosial.
Sadar atau tidak, bangsa ini telah
terjebak dalam pengaburan nilai-nilai luhur Pancasila. Hal ini terbukti banyak
keadaban publik tidak terbangun dan banyak orang disengsarakan. Dalam iklim
demikian itu, rakyat sangat berharap agar pemerintah konsisten terhadap
Pancasila. Sebab, apabila tidak mengondisikan penanaman nilai-nilai Pancasila
itu, maka lama kelamaan negeri ini akan semakin terperosok ke jurang
perpecahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar