|
SINAR HARAPAN, 03 Juni 2013
Tahun 2013 adalah tahun pemanasan
politik menjelang Pemilu 2014. Para politikus yang berasal dari partai penguasa
maupun menjabat petahana saling tebar pesona kepada masyarakat melalui
pemberian bantuan sosial langsung. Bantuan sosial tersebut dilakukan di level
lokal maupun nasional dengan menyamarkan diri sebagai kebijakan bantuan
pemerintah. Namun sejatinya, bantuan sosial tersebut tidaklah tulus sepenuhnya
diberikan atas nama rakyat, namun diberikan atas nama kepentingan politikus.
Hal inilah yang sering kita jumpai dalam beberapa bulan sebelum pemilu dilangsungkan. Masyarakat seolah dimanja dengan guyuran bantuan barang maupun keuangan dari “pemerintah”. Hal inilah yang kemudian dapat menaikkan popularitas sebuah partai politik maupun petahana untuk mendulang suara secara instan dalam pemilu nanti sehingga menciptakan kontestasi pemilu menjadi tidak sehat.
Sudah menjadi rahasia umum kalau kontestan pemilu baik lokal maupun nasional selalu curiga dengan model kampanye yang dilakukan petahana maupun partai penguasa karena selalu menyaru sebagai pemerintah. Dualisme antara kebijakan pemerintah maupun kepentingan politis sering kali sulit dibedakan, namun demikian berdampak besar pada pemilu.
Fenomena “populisme dadakan” yang sering kali muncul dalam event menjelang pemilu kerap disebut sebagai politik gentong babi (pork barrel policy). Istilah gentong babi ini berawal di bagian selatan Amerika sebelum perang sipil pecah antara pasukan federasi melawan pasukan union. Para pemilik budak memberikan gentong-gentong yang berisi daging babi yang telah diasinkan kepada para budak negro mereka yang kekurangan gizi di hari-hari raya. Para budak tersebut berebutan memperoleh daging tersebut (Ridwan, 2010).
Istilah gentong babi dalam bahasa politik Amerika didefinisikan sebagai praktik penganggaran (budgeting) yang dilakukan oleh anggota parlemen dalam bentuk kebijakan pembangunan di mana tujuannya membayar balik atas suara dari pemilihnya maupun sebagai upaya membeli suara pemilih lainnya melalui bentuk bantuan sosial. Perilaku para legislator yang mencari subsidi pemerintah untuk kepentingan pribadi politik mereka bisa disamakan dengan perilaku para budak yang memperebutkan daging tersebut. Mereka berlomba membuat kanalisasi dalam anggaran guna menyukseskan pemenangan pribadi. Setelah perang sipil berakhir, istilah itu menjadi sesuatu yang mengandung konotasi yang negatif terkait dengan perilaku politikus yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya dan tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Praktik penganggaran gentong babi tersebut memang sangatlah memboroskan uang negara yang terhambur sia-sia demi kepentingan pribadi. Selain halnya pemborosan anggaran, praktik ini juga dipandang negatif karena sering kali ada rekanan proyek para korporasi terhadap kekuasaan politik yang diemban partai penguasa. Hal inilah yang kemudian menjadi bantuan sosial tidak lagi dimaknai sebagai upaya merekatkan kohesivitas partai dan masyarakat. Kohesivitas tersebut hanya sekadar dimaknai sebagai formalitas dalam demokrasi yang membuat makna pemilu sebagai ajang memilih pemimpin berkualitas menjadi sumir.
Maka, munculnya praktik gentong babi dalam negara demokrasi merupakan distorsi ketika demokrasi berganti menjadi monekrasi. Masyarakat tidak lagi dilihat sebagai demos dalam praktik gentong babi, namun hanya dinilai sebagai makhluk ekonomi semu yang suaranya dinilai dari kucuran uang. Jika sudah demikian, monetisasi atas demokrasi tidak lebih dari sekadar bazar yang di dalamnya berisi manusia pragmatis yang berdagang suara dan hak politiknya untuk sekadar ditukarkan segepok uang dan bantuan sosial.
Praktik di Indonesia
Dalam kasus di negara kita, praktik gentong babi yang dilakukan oleh para partai politik dilakukan dalam tiga cara, yakni konversi dana SILPA menjadi dana hibah masyarakat, penggunaan dana non-budgeter yang tidak terserap dalam progam belanja, dan praktik penggelembungan (mark-up) anggaran dana bantuan sosial masyarakat.
Yang pertama yakni konversi SILPA sebenarnya merupakan cara klasik yang selalu saja diulang oleh partai penguasa maupun petahana. Adanya anggaran residu dalam APBN atau APBD sering kali disulap sebagai progam kebijakan populis yang sifatnya sporadis dan dilakukan oleh spontanitas. Misalnya saja, pemberian pupuk, beasiswa gratis, pembangunan jalan rusak, pembangunan/renovasi tempat ibadah. Yang fenomenal tentu saja adalah inisiasi DPR membuat rumah aspirasi maupun pemberian dana aspirasi bagi anggota dewan per dapil yang dijatah Rp 2-5 miliar.
Kedua, dana non-budgeter ini dimaknai sebagai alokasi dana APBN yang belum dialokasikan di pos-pos anggaran tertentu. Partai politik penguasa biasanya menggunakan dana “nganggur” ini untuk digunakan sebagai bantuan sosial kemasyarakatan dengan mendompleng kebijakan desa. Contohnya babonisasi, betonisasi, pelayanan kesehatan gratis, maupun bedah rumah. Biasanya praktik gentong babi dalam ranah kedua ini menyisir kalangan pemilih yang berada di kawasan pedesaan maupun pedalaman yang minim informasi. Dalam lingkup nasional, kebijakan BLSM sebagai kompensasi naiknya harga BBM masuk dalam kategori ini karena dana BLSM diambil dari selisih naiknya BBM dengan pengurangan subsidi BBM. Partai-partai yang menggulirkan BLSM tersebut akan diuntungkan dengan apresiasi positif dari masyarakat secara cepat.
Ketiga, praktik mark-up anggaran ini merupakan strategi parpol dalam ranah politik lokal yang selalu berusaha menaikkan dana sosial regional menjelang pilkada. Temuan Fitra selama Januari-Mei 2013 ini menarik untuk dicermati dimana ada upaya penggelembungan dana bantuan sosial yang dilakukan kepala daerah antara 10-50 persen per anggaran. Kenaikan fantastis tersebut disinyalir sebagai upaya korupsi terselubung para legislator maupun petahana guna memperkuat proyek pencitraan politiknya.
Maka pembahasan praktik penganggaran gentong babi ini sering kali memperdebatkan dimensi teknokrasi maupun politisasi dalam penyusunan kebijakannya. Di satu sisi, kebijakan bantuan sosial tentu tidak lepas dari kajian rasional yang mendalam untuk menawarkan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat. Namun di sisi sebaliknya, bantuan sosial sendiri adalah produk politisasi yang dilakukan partai politik guna memenangkan proyek politiknya. Maka sebagai masyarakat, kita perlu cermat memahami adanya wajah parpol yang tiba-tiba menjadi populis dengan bantuan sosial dadakan yang bisa jadi itu adalah gentong babi dan kita diibaratkan sebagai babi yang berebut bantuan tersebut tanpa tahu itu adalah praktik pembelian suara terselubung melalui jalur legal formal. ●
Hal inilah yang sering kita jumpai dalam beberapa bulan sebelum pemilu dilangsungkan. Masyarakat seolah dimanja dengan guyuran bantuan barang maupun keuangan dari “pemerintah”. Hal inilah yang kemudian dapat menaikkan popularitas sebuah partai politik maupun petahana untuk mendulang suara secara instan dalam pemilu nanti sehingga menciptakan kontestasi pemilu menjadi tidak sehat.
Sudah menjadi rahasia umum kalau kontestan pemilu baik lokal maupun nasional selalu curiga dengan model kampanye yang dilakukan petahana maupun partai penguasa karena selalu menyaru sebagai pemerintah. Dualisme antara kebijakan pemerintah maupun kepentingan politis sering kali sulit dibedakan, namun demikian berdampak besar pada pemilu.
Fenomena “populisme dadakan” yang sering kali muncul dalam event menjelang pemilu kerap disebut sebagai politik gentong babi (pork barrel policy). Istilah gentong babi ini berawal di bagian selatan Amerika sebelum perang sipil pecah antara pasukan federasi melawan pasukan union. Para pemilik budak memberikan gentong-gentong yang berisi daging babi yang telah diasinkan kepada para budak negro mereka yang kekurangan gizi di hari-hari raya. Para budak tersebut berebutan memperoleh daging tersebut (Ridwan, 2010).
Istilah gentong babi dalam bahasa politik Amerika didefinisikan sebagai praktik penganggaran (budgeting) yang dilakukan oleh anggota parlemen dalam bentuk kebijakan pembangunan di mana tujuannya membayar balik atas suara dari pemilihnya maupun sebagai upaya membeli suara pemilih lainnya melalui bentuk bantuan sosial. Perilaku para legislator yang mencari subsidi pemerintah untuk kepentingan pribadi politik mereka bisa disamakan dengan perilaku para budak yang memperebutkan daging tersebut. Mereka berlomba membuat kanalisasi dalam anggaran guna menyukseskan pemenangan pribadi. Setelah perang sipil berakhir, istilah itu menjadi sesuatu yang mengandung konotasi yang negatif terkait dengan perilaku politikus yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya dan tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Praktik penganggaran gentong babi tersebut memang sangatlah memboroskan uang negara yang terhambur sia-sia demi kepentingan pribadi. Selain halnya pemborosan anggaran, praktik ini juga dipandang negatif karena sering kali ada rekanan proyek para korporasi terhadap kekuasaan politik yang diemban partai penguasa. Hal inilah yang kemudian menjadi bantuan sosial tidak lagi dimaknai sebagai upaya merekatkan kohesivitas partai dan masyarakat. Kohesivitas tersebut hanya sekadar dimaknai sebagai formalitas dalam demokrasi yang membuat makna pemilu sebagai ajang memilih pemimpin berkualitas menjadi sumir.
Maka, munculnya praktik gentong babi dalam negara demokrasi merupakan distorsi ketika demokrasi berganti menjadi monekrasi. Masyarakat tidak lagi dilihat sebagai demos dalam praktik gentong babi, namun hanya dinilai sebagai makhluk ekonomi semu yang suaranya dinilai dari kucuran uang. Jika sudah demikian, monetisasi atas demokrasi tidak lebih dari sekadar bazar yang di dalamnya berisi manusia pragmatis yang berdagang suara dan hak politiknya untuk sekadar ditukarkan segepok uang dan bantuan sosial.
Praktik di Indonesia
Dalam kasus di negara kita, praktik gentong babi yang dilakukan oleh para partai politik dilakukan dalam tiga cara, yakni konversi dana SILPA menjadi dana hibah masyarakat, penggunaan dana non-budgeter yang tidak terserap dalam progam belanja, dan praktik penggelembungan (mark-up) anggaran dana bantuan sosial masyarakat.
Yang pertama yakni konversi SILPA sebenarnya merupakan cara klasik yang selalu saja diulang oleh partai penguasa maupun petahana. Adanya anggaran residu dalam APBN atau APBD sering kali disulap sebagai progam kebijakan populis yang sifatnya sporadis dan dilakukan oleh spontanitas. Misalnya saja, pemberian pupuk, beasiswa gratis, pembangunan jalan rusak, pembangunan/renovasi tempat ibadah. Yang fenomenal tentu saja adalah inisiasi DPR membuat rumah aspirasi maupun pemberian dana aspirasi bagi anggota dewan per dapil yang dijatah Rp 2-5 miliar.
Kedua, dana non-budgeter ini dimaknai sebagai alokasi dana APBN yang belum dialokasikan di pos-pos anggaran tertentu. Partai politik penguasa biasanya menggunakan dana “nganggur” ini untuk digunakan sebagai bantuan sosial kemasyarakatan dengan mendompleng kebijakan desa. Contohnya babonisasi, betonisasi, pelayanan kesehatan gratis, maupun bedah rumah. Biasanya praktik gentong babi dalam ranah kedua ini menyisir kalangan pemilih yang berada di kawasan pedesaan maupun pedalaman yang minim informasi. Dalam lingkup nasional, kebijakan BLSM sebagai kompensasi naiknya harga BBM masuk dalam kategori ini karena dana BLSM diambil dari selisih naiknya BBM dengan pengurangan subsidi BBM. Partai-partai yang menggulirkan BLSM tersebut akan diuntungkan dengan apresiasi positif dari masyarakat secara cepat.
Ketiga, praktik mark-up anggaran ini merupakan strategi parpol dalam ranah politik lokal yang selalu berusaha menaikkan dana sosial regional menjelang pilkada. Temuan Fitra selama Januari-Mei 2013 ini menarik untuk dicermati dimana ada upaya penggelembungan dana bantuan sosial yang dilakukan kepala daerah antara 10-50 persen per anggaran. Kenaikan fantastis tersebut disinyalir sebagai upaya korupsi terselubung para legislator maupun petahana guna memperkuat proyek pencitraan politiknya.
Maka pembahasan praktik penganggaran gentong babi ini sering kali memperdebatkan dimensi teknokrasi maupun politisasi dalam penyusunan kebijakannya. Di satu sisi, kebijakan bantuan sosial tentu tidak lepas dari kajian rasional yang mendalam untuk menawarkan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat. Namun di sisi sebaliknya, bantuan sosial sendiri adalah produk politisasi yang dilakukan partai politik guna memenangkan proyek politiknya. Maka sebagai masyarakat, kita perlu cermat memahami adanya wajah parpol yang tiba-tiba menjadi populis dengan bantuan sosial dadakan yang bisa jadi itu adalah gentong babi dan kita diibaratkan sebagai babi yang berebut bantuan tersebut tanpa tahu itu adalah praktik pembelian suara terselubung melalui jalur legal formal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar