Selasa, 04 Juni 2013

Berdagang Politisi Pesohor

Berdagang Politisi Pesohor
Bambang Arianto ;   Peneliti Politik di Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC) Yogyakarta
OKEZONE, 03 Juni 2013



MENJELANG gelaran Pemilu 2014 partai politik sibuk memutar otak agar dapat meraup  perolehan suara sebanyak mungkin dan tentunya dapat memenangi kontes pemilu. Apapun dilakukan asal bisa memuluskan jalan ke parlemen dengan baik. Cara klasik yang digunakan adalah dengan memunculkan kader yang dapat menarik simpati publik dan tentunya bermodal besar. Bila dirasa kurang, partai pun melirik para kaum pesohor yang selama ini banyak kita kenal sebagai pekerja infotaiment. Caleg artis pun kembali bermunculan di kancah politik tanah air. Terhitung pemilu 1999, 2004 dan 2009 banyak caleg artis yang terlibat dalam dunia kepartaian. Langkah parpol menggaet politisi instan ini pun akhirnya mengundang banyak pro dan kontra, bagaimana tidak, di beberapa survei kontemporer yang digelar menunjukkan sebuah keraguan dari masyarakat akan kredibilitas para politisi pesohor ini. 

Survei kontemporer di sebuah media cetak nasional memaparkan hanya 13,1 persen responden yang akan memilih artis atau selebritas, dan yang belum menentukan pilihan mencapai 42,8 persen, sedang tidak memilih di angka 42,8 persen. Sebuah gambaran keraguan dari masyarakat terhadap sikap parpol yang banyak menampilkan sejumlah caleg pesohor padahal sebagian besar belum mampu membuktikan rekam jejak terbaiknya dikancah politik. Publik pun merasa miris dengan tingkah laku parpol yang sibuk berburu caleg instan untuk ditempatkan sebagai wakil diparlemen. Banyak pertimbangan yang mendasari publik meragukan kredibilitas caleg artis, salah satunya minimnya pendidikan politik yang dienyam oleh para caleg artis. Apalagi diketahui selama ini caleg artis murni sebagai pekerja seni dan sangat jauh dari pekerja politik yang telah banyak mengenyam pendidikan politik. 

Dibalik Tabir Pesohor

Bila melihat hasil survei survei kontemporer yang baru digelar Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC) 25 April – 3 Mei 2013, ketika responden diberikan pertanyaan selain berbasis nasionalis dan Islami apa saja kriteria yang menarik bagi anda untuk memilih caleg dari suatu partai politik dalam pemilu 2014? Nyaris 29,4 persen responden menjatuhkan pilihannya pada faktor adanya caleg artis dalam parpol tersebut. Sedang yang mndasari kriteria banyaknya iklan politik hanya berkisar 26,6 persen. Program kerja partai yang merakyat hanya 19,4 persen, pernah menjadi anggota legislatif atau petahana 7,2 persen dan sama-sama kader partai hanya 17,4 persen. Sebuah bukti psikologis bahwa pemilih lebih menaruh hati pada partai politik yang menyajikan caleg artis sebagai wakilnya diparlemen. Survei BERC juga menyatakan terdapat 37,1 persen responden yang tidak yakin  bila ditanya apakah partai politik akan mampu menghasilkan tokoh pesohor dari rahim sebuah kaderisasi. Hasil ini artinya masih ada kemungkinan lain yaitu publik lebih memilih wait and see terhadap caleg pesohor yang ditampilkan, dan bisa jadi ketika pemilu berlangsung bisa dipastikan mereka akan memilih atau sebaliknya. Hanya 24,4 persen yang yakin bila parpol mampu melahirkan tokoh dari kaderisasi, sedangkan 17,2 persen tidak menjawab. Ini membuktikan sampai saat ini parpol masih kesulitan melahirkan pesohor dari rahim parpol kecuali terjadi proses rekruitmen politik terlebih dahulu baru kemudian terjadi transformasi sehingga menjadi pekerja politik. Bisa disimpulkan bahwa pembacaan terhadap fenomena rekruitmen politik ini dimasing-masing partai memang merupakan penjelasan dari dinamika politik partai itu sendiri.

Perilaku pemilih ini perlu dicermati sebagai sebuah perubahan mainstream pemilih akhir-akhir ini yang lebih terbuai dengan “popularitas” artinya publik merasa artislah sosok yang dia kenal dan tentunya akan mampu menjadi wakil mereka diparlemen. Responden pun banyak yang menyatakan kekecewaan pada kinerja para wakil rakyat selama ini, sehingga banyak responden menilai artis dan bukan artis sama saja ketika duduk diparlemen. Inilah yang membuat mereka lebih memilih caleg artis diantara pilihan lainnya karena faktor kedikenalan artis lebih baik dibanding caleg lainnya. Mereka berharap caleg artis akan mampu bertransformasi layaknya beberapa artis yang mampu menjelma menjadi politisi ulung seperti Nurul Arifin, Tantowi Yahya, Rieke Diah Pitaloka sampai “Miing” Gumelar. Publik pun merasa harus memilih diantara dua pilihan terburuk karena minimnya tokoh populer yang mampu disajikan partai dihadapan rakyat. Hal inilah yang mengakibatkan pilihan pemilih jatuh pada tokoh pesohor karena secara psikologi lebih mudah diingat.

Berdagang Pesohor

Langkah ini bisa dikatakan fenomena “berdagang politisi pesohor” ala partai politik, artinya sebuah langkah jitu parpol dengan menjual popularitas pamor politisi yang dimiliki guna mendapatkan keuntungan suara yang berlipat. Tapi hal ini harus tetap dimaklumi sebagai upaya menarik pemilih untuk tetap mengikuti jalannya proses pesta demokrasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Bahkan ada 39.5 persen responden yang akan memilih jalan golput bila tidak ada caleg pesohor atau artis dalam parpol pilihannya nanti padahal KPU saat ini berupaya partisipasi pemilih menjadi 75 persen. Responden yang tidak menjawab hanya 32,1 persen dan yang tetap akan memilih hanya 19,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa daya tarik kaum pesohor untuk saat ini masih sangat efektif untuk mengurangi angka golput. Politisi pesohor pun bisa digunakan partai politik untuk menarik simpati massa mengambang (swing voters) dan non ideologis dengan biaya yang murah karena rata-rata pesohor juga ikut merogoh koceknya demi menaikkan elektabilitasnya. “Magnet” politisi pesohor pun diharapkan mampu membius para pemilih di daerah minus yang selama ini terbuai dengan rayuan iklan politik. Banyak masyarakat yang menilai bahwa tanpa adanya politisi pesohor pemilu dirasakan akan terasa ambar. Lagi-lagi ini semua semakin membuktikan bahwa partai politik sampai saat ini belum juga mampu mencetak kadernya menjadi seorang tokoh yang terlahir dari rahim parpol dan bukan hasil cuplikan popularitas. 

Jalan pintas dengan “berdagang politisi pesohor “ jangan diartikan sebagai kegagalan atau keberhasilan regenerasi dari partai politik. Tapi kita harus dapat melihat bagaimana partai politik kedepan dapat mampu melakukan transformasi pendidikan politik pada kaum pesohor agar menjadi pekerja politik yang tentunya menjadi penyambung aspirasi rakyat. Jangan sampai rekruitmen politik (kandidasi) legislatif ini merupakan pertaruhan survavilitas politik individu dan faksi-faksi yang ujung-ujungnya merugikan partai. Rakyat menunggu proses rekruitmen politik ala parpol dengan menjaring para pesohor sebagai upaya dari proses melahirkan kader partai yang berkualitas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar