|
MEDIA INDONESIA, 01 Juni 2013
TEPAT pada 1 Juni ini, 68 tahun
lalu, lima dasar negara diprokla masikan Bung Karno di hadapan peserta sidang
BPUPKI (Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Memperingati hari kelahiran lima nilai yang kita sebut Pancasila itu merupakan
saat yang tepat untuk merefleksikan kembali semangat yang diwariskan para
pendahulu kita untuk membenahi berbagai pekerjaan rumah yang belum
terselesaikan.
Salah satu dari tumpukan persoalan yang belum rampung ialah
pembahasan RUU Ormas. Di hari bersejarah ini, perlu kita pahami kembali secara
mendalam spirit pembahasan RUU Ormas yang sebentar lagi diputuskan di DPR
seiring dengan penguatan civil society.
Penguatan karakter kebangsaan kita yaitu Pancasila dan apa yang termuat dalam
Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar bermusyawarah mufakat yang tidak boleh kita
tinggalkan.
Seperti yang sudah kita pahami, indikasi bertumbuhnya iklim
demokratis ialah semakin lebarnya kesempatan warga masyarakat untuk berperan
menurut fungsi sosial formatifnya di ruang-ruang sosial masing-masing.
Penguatan peran masyarakat (citizenship)
dalam mengelola ruang hidup bersama secara sosial, budaya, politik, dan
keagamaan adalah implementasinya. Sejalan dengan itu, hukum harus menjadi
koridor dan ramburambu dalam mengatur atau memfasilitasi kesempatan
berekspresi, berpendapat, dan menyampaikan pandangan dan pilihan seorang warga
dalam masyarakatnya.
RUU Ormas yang sedang dibahas menurut rencana akan merevisi
UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dalam undang-undang lama
itu terlihat semangat `asas tunggal' yang kental. Memahaminya juga otomatis
memunculkan `tafsir tunggal' sang penguasa. Kentalnya nuansa asas tunggal itu
sedikit luruh di RUU Ormas yang sedianya akan ditetapkan dan diputuskan.
Akan tetapi, RUU Ormas itu membuka tafsir liar sebagai
upaya memanfaatkan kekuasaan untuk mengebiri kreativitas masyarakat dalam
membangun demokrasi. Maka, catatan yang perlu disertakan di sini ialah iktikad
dan spirit pembahasan RUU Ormas itu untuk mengatur perikehidupan masyarakat
yang lebih mandiri, partisipatif, bertanggung jawab, dan dewasa dalam era
demokrasi ini.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, penulis
memandang perlu kehadiran suatu perundang-undangan yang mengatur tata kelola
organisasi kemasyarakatan. Suatu aturan yang tidak menghalangi semarak
bertumbuhnya partisipasi warga masyarakat dalam membangun etika sosial di era
demokrasi ini. Bukan suatu aturan atau undangundang yang membungkam setiap
aspirasi dan ekspresi masyarakat, melainkan aturan yang menunjukkan semakin
kuatnya ideologi bernegara.
Kemerdekaan
berpendapat
Konstitusi kita menjamin kemerdekaan orang per orang untuk
menyampaikan aspirasi dan mengekspresikan dalam beraneka media, baik secara
lisan maupun tulisan, terutama melalui mediamedia organisasi yang menjadi wa
hana penyaluran aspirasi yang nonparpol. Memang, para warga ketika ingin
menyampaikan aspirasinya atau mengekspresikan pandangan dan harapan hidupnya
tidak harus selalu melalui partai politik. Dalam hal ini organisasi
kemasyarakatan (ormas) menjadi wahana yang strategis dan fungsional untuk
mengekspresikan hak-haknya.
Pemerintah dan DPR RI tentunya tidak ingin menarik kembali
pertumbuhan iklim demokrasi yang kondusif ini. Masyarakat tidak ingin juga set-back ke masa lalu, ketika pengebirian
tidak hanya terjadi pada aspek kreativitas masyarakat tetapi juga membungkam
aspirasi dan mengurangi (corrupting)
hak-hak kewarganegaraan (citizenship).
Akan terlihat ironis jika atmosfer demokratis yang terlahir dari semangat
reformasi ini tiba-tiba melahirkan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan yang
tidak beranjak dari kesadaran dan bayang-bayang rezim masa lalu.
Oleh karena itu, seiring dengan visi yang terbit dari
semangat reformasi itu, alangkah lebih baik bila terus-menerus diupayakan penguatan
kapasitas masyarakat dalam membangun demokrasi yang dewasa dan mandiri.
Terlebih, semangat yang mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan sehingga negara mampu mendorong dan memfasilitasi masyarakat meraih
kesejahteraannya. Bukankah itu sejalan dengan semangat corporate governance yang sudah dideklarasikan?
Tentunya peraturan yang akan mengatur masalah organisasi
kemasyarakatan itu tidak boleh lepas dari semangat `pembaruan' tata kelola
pemerintahan itu. Yakni, partisipasi masyarakat sangat diharapkan dalam
pelaksanaan pembangunan, tetapi tetap dalam semangat ideologi negara dengan
terciptanya tertib sosial.
Di era demokrasi, semangat corporate-governance bisa diartikan kesempatan bagi pemerintah
sebagai pendorong masyarakat untuk memperkuat kapasitas, juga untuk
memfasilitasi masyarakat menuju kesejahteraannya. Pemerintah juga harus bisa
menciptakan hawa kebebasan dalam masyarakat untuk berekspresi, mengembangkan
diri, dan meraih harapan hidupnya sekaligus memperkukuh elemen penguatan hukum
(nomokrasi) di era demokrasi.
Pentingnya
partisipasi masyarakat
Hal terpenting dalam menetapkan RUU itu ialah menghentikan
segala perdebatan dan berkaca kembali ke pada Pancasila. Pancasila ialah
pilihan final yang menjadi komitmen bersama saat bangsa Indonesia mendirikan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka sudah seharusnya nilai nilai
Pancasila dijadi kan sebagai cita-cita bangsa yang harus diwujudkan.
Pancasila sebagai dasar negara dan sumber nilai kehidupan
berbangsa dan berne gara harus menjadi asas dari organisasi kemasyarakatan dan
segala perangkat kebangsaan, sebagai perwujudan konkret dari komitmen bersama
hidup di NKRI. Salah satu inti Pancasila ialah pentingnya musyawarah mufakat
dalam mengambil sebuah keputusan.
Oleh karena itu, sangat perlu untuk diadakan `dialog
keadaban' dalam membahas RUU Ormas yang menempatkan secara paralel kebebasan
berekspresi dengan karakter ideologi Pancasila. Dialog tersebut juga bertindak
sebagai upaya konstruktif dengan memanfaatkan media apa pun, yang memberi
pencerahan dan jalan terang yang dapat menunjukkan letak masyarakat menaruh
harapan-harapannya terhadap UU Ormas yang baru kelak.
Memang, belum tentu RUU Ormas bisa diundangkan karena masih
menyisakan aspek intrinsik di dalam pasal-pasal bermasalah, seperti pasal-pasal
yang bertumpang tindih dengan peraturan hukum, misal UU Pencucian Uang,
Yayasan, dan Perkumpulan serta pasal yang lain. Maka, tahapan pembahasan RUU
Ormas selanjutnya harus dikembalikan lagi kepada semangat untuk meluruskan
kembali jalannya reformasi yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan.
Karena itu, pembahasan RUU Ormas bukan untuk
dipertentangkan, melainkan harus memberi solusi yang tepat melalui ruang
aspirasi publik, terutama serapan aspirasi dari masyarakat atau organisasi
kemasyarakatan. Pancasila harus menjadi the
living ideology yang menginspirasi semua gerak kebangsaan dan kenegaraan di
Indonesia. Tanpa implementasi nilainilai Pancasila, ia hanya akan menjadi
ornamen tekstual konstitusi. Pengejawantahan Pancasila itulah yang menjadi
intisari pembahasan RUU Ormas. Rakyat yang berdaulat dan kukuhnya Pancasila
harus ditarik menjadi satu napas agar terjadi tertib sosial.
Bukankah kita merindukan suasana harmonis itu? ●
Bukankah kita merindukan suasana harmonis itu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar