Jumat, 07 Juni 2013

Mewaspadai Kejahatan terhadap Demokrasi

Mewaspadai Kejahatan terhadap Demokrasi
Abdul Hakim G Nusantara ;   Ketua Komnas HAM kurun 2002-2007
MEDIA INDONESIA, 05 Juni 2013


HUKUM internasional HAM (HIHAM) mengakui demokrasi sebagai hak substantive setiap warga negara tanpa pembedaan dan pembatasan yang tidak wajar. Inilah yang disebut hak demokrasi tiap warga negara yang meliputi: (a) hak untuk turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui perwakilan yang dipilih secara bebas; (b) memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur dengan hak pilih universal dan sederajat serta dilakukan dengan pemungutan suara rahasia yang menjamin kebebasan para pemilih menyatakan kehendaknya; (c) memperoleh akses berdasarkan persyaratan yang sama secara umum dalam pelayanan publik di negaranya.

Nilai dan norma yang terkandung dalam Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) ini sekarang telah diadopsi hampir sebagian besar anggota PBB yang lebih dari 160 negara dilaporkan telah meratifi kasi KIHSP, termasuk Indonesia. Naiknya gelombang demokratisasi di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan Eropa Timur pada dekade 1980 sampai 1990-an memperkuat posisi hak demokrasi sebagai hak substantive dalam konstitusi yang berlaku di negara-negara tersebut.

Namun, pada transisi menuju demokrasi, gerakan membangun demokrasi menghadapi perlawanan dari sisa-sisa kekuatan authoritarianism dan kroninya yang bersarang di dalam birokrasi negara, bisnis, militer, parlemen, partai-partai politik, dan serikat pekerja. Bahkan, badan yudisial yang memandang tujuan gerakan demokratisasi untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, bersih, transparan, responsif, dan distributif membahayakan kepentingan ekonomi dan politik mereka.

Mereka inilah yang menghalangi dan menyerang demokratisasi dengan berbagai cara. Cara itu antara lain, melalui desakan kebijakan pemerintah yang represif berupa pembatasan dan kontrol yang lebih ketat terhadap individu dan organisasi masyarakat sipil dan tiga kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan berkumpul, berorganisasi dan berekspresi yang secara pelan, tapi pasti mengontrol parlemen dan pengadilan sehingga mengurangi atau menghilangkan sistem check dan balance antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Inilah kejahatan terhadap demokrasi berupa kudeta merangkak seperti di Ukraina, Zimbabwe, Mali, Pantai Gading, Rusia, Peru, Haiti, dan pernah pula terjadi di Thailand dan Indonesia pada masa Orla dan Orba. Kejahatan terhadap demokrasi bisa dilakukan pihak militer atau pihak penguasa sipil yang mengambil alih kekuasaan dengan melanggar konstitusi.

Pemimpin sipil yang terpilih dalam suatu pemilihan umum yang demokratis dapat pula melakukan kejahatan terhadap demokrasi secara sistematis dengan mengurangi kebebasan sipil dan menghilangkan atau mengurangi sistem check dan balance antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Itulah yang terjadi di Jerman, seusai Adolf Hitler memenangi pemilu pada 1933 yang kemudian membawa petaka ke seluruh dunia.
Menurut Profesor Lance de Haven-Smith, dari Universitas Florida, AS, kejahatan terhadap demokrasi dapat dilakukan negara berupa tindakan bersama atau pembiaran oleh orangorang dalam pemerintah. Itu dimaksudkan untuk mema nipulasi proses demokratis dan melemahkan kedaulatan rakyat dengan potensi menggulingkan lembaga demokrasi dan seluruh atau cabang-cabang pemerintah.

Profesor de Haven-Smith menunjuk kasus-kasus, seperti Watergate ketika Presiden Nixon mengirim orang-orangnya untuk mencuri informasi dari markas Partai Demokrat, yaitu fabrikasi bukti palsu yang berkenaan dengan serangan terhadap kapal Amerika di Teluk Tonkin, Vietnam, yang dilakukan rezim pemerintah Presiden Jhonson. Mc Carthyism kemudian menuduh tanpa bukti para politikus dan aktivis yang telah diinfi ltrasi komunis hingga pemilu Florida pada 2000 sebagai kasus kejahatan terhadap demokrasi.

Selain kudeta merangkak sebagai bentuk kejahatan terhadap demokrasi, pemerintah yang berkuasa dapat melakukan kejahatan ini dengan berbagai modus operandi. Hal itu seperti melakukan manipulasi yang bersifat sistemik atas daftar pemilih sehingga menghilangkan hak pemilih sejumlah besar warga negara yang berhak memilih atau secara sistemik melakukan kecurangan dalam pemilu. Mencegah dan melarang warga negara yang mempunyai keyakinan politik tertentu, misalnya, komunis atau yang diduga komunis untuk turut serta dalam pemilu, sesungguhnya merupakan crime against democracy.

Kejahatan terhadap demokrasi dapat pula dilakukan kelompok-kelompok masyarakat yang secara politik dan ekonomi kuat, antara lain, seperti korporasi, organized crime, dan teroris. Yang terakhir terjadi bila korporasi bekerja sama dengan orang-orang dalam pemerintah menjalankan money politics secara massive sehingga mampu mendikte proses dan hasil pemilu. Para teroris melakukan kejahatan demokrasi dengan cara antara lain menyandera para calon wakil rakyat dan/atau menghancurkan infrastruktur demokrasi.
Jelas kejahatan terhadap demokrasi mengakibatkan kerugian kepada individu, masyarakat, dan negara berupa timbulnya kekerasan dalam masyarakat yang membawa kerugian fisik, psikis, dan harta benda milik pribadi dan publik. Yang lebih dari itu adalah hilangnya stabilitas politik dan keamanan di tingkat lokal, nasional, dan regional, dan lain sebagainya. Mengingat dampak negatifnya yang luas dan kerugian besar yang ditimbulkannya, sejumlah pihak mengusulkan agar kejahatan terhadap demokrasi dimasukkan ke Statuta Roma mengenai Peradilan Pidana Internasional. Dengan begitu, terbuka jalan untuk mengadili dan menghukum berat pelaku di Pengadilan Pidana Internasional atau di pengadilan setiap negara anggota Statuta Roma.

Sejumlah negara seperti Thailand dan Filipina menyatakan dalam konstitusinya bahwa pengambilalihan kekuasaan secara inkonstitusional adalah kejahatan. Ketentuan ini jelas belum memadai sebagai konseptualisasi crimes against democracy yang acap mewujud dalam bentuk kudeta merangkak sebagaimana digambarkan di awal.

Untuk mencegah dan memberantas kejahatan terhadap demokrasi, kalangan DPR dan pemerintah yang saat ini sedang membahas RUU KUHP perlu dan harus merumuskan suatu konsep undang-undang pidana yang mampu menangkal dan mengatasi crime against democracy. Upaya pencegahan terhadap crimes against democracy perlu pula dilakukan bersama oleh pemerintah, DPR, partai-partai politik, korporasi, LSM, dan lain sebagainya melalui program pendidikan dan penyadaran berdemokrasi.


Sistem dan prosedur pemilu harus mampu pula mencegah muncul dan terpilihnya orangorang yang di masa lalu sangat patut diduga terlibat dalam crimes against democracy dan crimes against humanity.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar