|
MEDIA INDONESIA, 05 Juni 2013
HUKUM
internasional HAM (HIHAM) mengakui demokrasi sebagai hak substantive setiap
warga negara tanpa pembedaan dan pembatasan yang tidak wajar. Inilah yang
disebut hak demokrasi tiap warga negara yang meliputi: (a) hak untuk turut
serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui perwakilan yang dipilih secara bebas; (b) memilih dan dipilih pada
pemilihan umum berkala yang jujur dengan hak pilih universal dan sederajat
serta dilakukan dengan pemungutan suara rahasia yang menjamin kebebasan para
pemilih menyatakan kehendaknya; (c) memperoleh akses berdasarkan persyaratan
yang sama secara umum dalam pelayanan publik di negaranya.
Nilai dan norma yang terkandung
dalam Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) ini
sekarang telah diadopsi hampir sebagian besar anggota PBB yang lebih dari 160
negara dilaporkan telah meratifi kasi KIHSP, termasuk Indonesia. Naiknya
gelombang demokratisasi di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan Eropa Timur pada
dekade 1980 sampai 1990-an memperkuat posisi hak demokrasi sebagai hak
substantive dalam konstitusi yang berlaku di negara-negara tersebut.
Namun, pada transisi menuju
demokrasi, gerakan membangun demokrasi menghadapi perlawanan dari sisa-sisa
kekuatan authoritarianism dan kroninya yang bersarang di dalam birokrasi negara,
bisnis, militer, parlemen, partai-partai politik, dan serikat pekerja. Bahkan,
badan yudisial yang memandang tujuan gerakan demokratisasi untuk mewujudkan
pemerintahan yang akuntabel, bersih, transparan, responsif, dan distributif
membahayakan kepentingan ekonomi dan politik mereka.
Mereka inilah yang menghalangi
dan menyerang demokratisasi dengan berbagai cara. Cara itu antara lain, melalui
desakan kebijakan pemerintah yang represif berupa pembatasan dan kontrol yang
lebih ketat terhadap individu dan organisasi masyarakat sipil dan tiga
kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan berkumpul, berorganisasi dan
berekspresi yang secara pelan, tapi pasti mengontrol parlemen dan pengadilan
sehingga mengurangi atau menghilangkan sistem check dan balance antara
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Inilah kejahatan terhadap
demokrasi berupa kudeta merangkak seperti di Ukraina, Zimbabwe, Mali, Pantai
Gading, Rusia, Peru, Haiti, dan pernah pula terjadi di Thailand dan Indonesia
pada masa Orla dan Orba. Kejahatan terhadap demokrasi bisa dilakukan pihak militer
atau pihak penguasa sipil yang mengambil alih kekuasaan dengan melanggar
konstitusi.
Pemimpin sipil yang terpilih
dalam suatu pemilihan umum yang demokratis dapat pula melakukan kejahatan
terhadap demokrasi secara sistematis dengan mengurangi kebebasan sipil dan
menghilangkan atau mengurangi sistem check dan balance antara eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Itulah yang terjadi di Jerman, seusai Adolf Hitler
memenangi pemilu pada 1933 yang kemudian membawa petaka ke seluruh dunia.
Menurut Profesor Lance de
Haven-Smith, dari Universitas Florida, AS, kejahatan terhadap demokrasi dapat
dilakukan negara berupa tindakan bersama atau pembiaran oleh orangorang dalam
pemerintah. Itu dimaksudkan untuk mema nipulasi proses demokratis dan
melemahkan kedaulatan rakyat dengan potensi menggulingkan lembaga demokrasi dan
seluruh atau cabang-cabang pemerintah.
Profesor de Haven-Smith menunjuk
kasus-kasus, seperti Watergate ketika
Presiden Nixon mengirim orang-orangnya untuk mencuri informasi dari markas
Partai Demokrat, yaitu fabrikasi bukti palsu yang berkenaan dengan serangan
terhadap kapal Amerika di Teluk Tonkin, Vietnam, yang dilakukan rezim
pemerintah Presiden Jhonson. Mc Carthyism kemudian menuduh tanpa bukti para politikus
dan aktivis yang telah diinfi ltrasi komunis hingga pemilu Florida pada 2000
sebagai kasus kejahatan terhadap demokrasi.
Selain kudeta merangkak sebagai
bentuk kejahatan terhadap demokrasi, pemerintah yang berkuasa dapat melakukan
kejahatan ini dengan berbagai modus operandi. Hal itu seperti melakukan
manipulasi yang bersifat sistemik atas daftar pemilih sehingga menghilangkan
hak pemilih sejumlah besar warga negara yang berhak memilih atau secara
sistemik melakukan kecurangan dalam pemilu. Mencegah dan melarang warga negara
yang mempunyai keyakinan politik tertentu, misalnya, komunis atau yang diduga
komunis untuk turut serta dalam pemilu, sesungguhnya merupakan crime against democracy.
Kejahatan terhadap demokrasi
dapat pula dilakukan kelompok-kelompok masyarakat yang secara politik dan
ekonomi kuat, antara lain, seperti korporasi, organized crime, dan teroris.
Yang terakhir terjadi bila korporasi bekerja sama dengan orang-orang dalam
pemerintah menjalankan money politics secara massive sehingga mampu mendikte
proses dan hasil pemilu. Para teroris melakukan kejahatan demokrasi dengan cara
antara lain menyandera para calon wakil rakyat dan/atau menghancurkan
infrastruktur demokrasi.
Jelas kejahatan terhadap
demokrasi mengakibatkan kerugian kepada individu, masyarakat, dan negara berupa
timbulnya kekerasan dalam masyarakat yang membawa kerugian fisik, psikis, dan
harta benda milik pribadi dan publik. Yang lebih dari itu adalah hilangnya
stabilitas politik dan keamanan di tingkat lokal, nasional, dan regional, dan
lain sebagainya. Mengingat dampak negatifnya yang luas dan kerugian besar yang
ditimbulkannya, sejumlah pihak mengusulkan agar kejahatan terhadap demokrasi
dimasukkan ke Statuta Roma mengenai Peradilan Pidana Internasional. Dengan
begitu, terbuka jalan untuk mengadili dan menghukum berat pelaku di Pengadilan
Pidana Internasional atau di pengadilan setiap negara anggota Statuta Roma.
Sejumlah negara seperti Thailand
dan Filipina menyatakan dalam konstitusinya bahwa pengambilalihan kekuasaan
secara inkonstitusional adalah kejahatan. Ketentuan ini jelas belum memadai
sebagai konseptualisasi crimes against
democracy yang acap mewujud dalam bentuk kudeta merangkak sebagaimana
digambarkan di awal.
Untuk mencegah dan memberantas
kejahatan terhadap demokrasi, kalangan DPR dan pemerintah yang saat ini sedang
membahas RUU KUHP perlu dan harus merumuskan suatu konsep undang-undang pidana
yang mampu menangkal dan mengatasi crime
against democracy. Upaya pencegahan terhadap crimes against democracy perlu pula dilakukan bersama oleh
pemerintah, DPR, partai-partai politik, korporasi, LSM, dan lain sebagainya
melalui program pendidikan dan penyadaran berdemokrasi.
Sistem dan prosedur pemilu harus
mampu pula mencegah muncul dan terpilihnya orangorang yang di masa lalu sangat
patut diduga terlibat dalam crimes against democracy dan crimes against
humanity. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar