Jumat, 07 Juni 2013

Daulat Politik Mikraj

Daulat Politik Mikraj
Asep Salahudin ;   Esais dan Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
MEDIA INDONESIA, 05 Juni 2013


PADA 2014, kita akan kembali merayakan hajatan politik nasional, pemilihan anggota dewan dan pilpres. Mulai tahun ini atmosfernya sudah terasa. Partai-partai sudah mulai berkonsolidasi, mempersiapkan kapital ekonomi, sosial, dan budaya untuk meraih simpati, memperebutkan suara, dan memengaruhi layar bawah sadar massa dengan membangun citra positif masing-masing agar pemilih memiliki ‘ingatan sosial’ dan diharapkan menjatuhkan pilih annya kepada mereka.

Setelah semua kegaduhan politik itu berakhir, kita biasanya kembali pada lingkungan asal, pada rutinitas yang tidak jauh berbeda dengan waktu semula. Dalam ungkapan Hannah Arendt, “Kekuasaan di dimandatkan oleh masyarakat, tetapi masyarakat kemudian hanya memiliki kekuasaan itu pada saat pemilihan umum. Setelah itu kekuasaan berpindah ke tangan penguasa yang mereka pilih,“ (Agus Sudibyo, 2012).

Politik kembali mewajahkan rupanya yang penuh muslihat, transaksional, memburu rente, jual beli kekuasaan, dan masyarakat pemilih tidak memiliki akses untuk `memeriksa' para wakil mereka. Politik membebaskan yang dijangkarkan pada haluan semangat kesetaraan, solidaritas, dan kebersamaan autentik dalam ruang yang pluralistik kembali hanya menjadi sekadar wacana.

Seandainya diperbincangkan, `publik' yang hadir hampir dapat dipastikan bukan representasi dari `publik universal' yang berpayungkan kebinekaan, tapi lebih kepada `publik' yang sudah diidentifikasi rujukan alienasi eksklusifnya baik berupa agama, tradisi, birokrasi, maupun berahi sensitivitas etnik yang kelewat batas. `Publik atas nama' yang pada ujungnya malah menciptakan suasana penuh kegelisahan dan sering kali menimbulkan konflik tak berkesudahan.

Harus diakui seperti itulah kualitas demokrasi kita pascarontoknya negara despotik Orde Baru. Demokrasi yang diterapkan bisa jadi baru berada pada stadium rendah. Demokrasi yang baru sebatas prosedur dan belum menyentuh sisi substansinya.

Tidak aneh dalam suasana `gelap' seperti ini yang muncul bukan kafilah politisi cerdas sebagai cerminan animal politicon, tapi lebih kepada homo homini lupus dengan atraksi primitif sang Leviathan: satu sama lain melihat lawan lemah untuk diterkam.

Medan politik tak ubahnya belantara dengan serigala yang siap memangsa. Nafsu menguasai (Max Weber) jauh lebih dominan ketimbang kesediaan untuk berdialog dalam suasana komunikasi diskursif yang terbuka, setara, dan saling menerima (Habermas), membangun persahabatan tulus (Aristoteles), dan semua ikut berpartisipasi dalam napas keterbukaan (Socrates).

Napas Mikraj

Mikraj yang selalu kita peringati setiap tahun pada 27 Rajab 1434 dan sekarang bertepatan dengan 6 Juni 2013 besok harus dibaca tidak melulu melalui optik yang serbaritualformalistik dengan upacara yang nyaris tidak ada perubahan dari tahun ke tahun: menghadirkan penceramah. Dianggap berhasil Rajaban itu kalau panitia bisa mendatangkan mubalig yang sering nongol di layar kaca.

Nyaris sudah mafhum, sang penceramah dengan kepandaian retorika yang memang sudah menjadi keahliannya dan dibumbui joke-joke menyampaikan hikmah Isra Mikraj sebatas kesalehan ritual. Bukan hanya kedalaman pesan keagamaan yang hilang dalam konteks komunikasi massa yang hanya mengandalkan suasana `budaya populer', melainkan juga tidak pernah menumbuhkan sikap kritis jemaah dan tidak pernah menginjeksikan kesadaran politik kepada peserta yang menghadiri upacara Rajaban.

Agama menjadi hilang daya kepekaannya dalam merespons persoalan kemanusiaankebangsaan yang semakin kompleks. Yang tersisa hanya dramaturgi percakapan tentang eskatologi dan fantasi ihwal kehidupan arkais masa silam yang serbaindah dan penuh pesona, tetapi sama sekali tidak ada tautannya dengan kehidupan hari ini. Semacam agama populer yang sungguh berbanding lurus dengan aksesori penceramahnya: berkendaraan mewah dan wajah klimis di tengah para jamaah yang kebanyakan hidup di bawah garis kemiskinan.

Yang diceramahkan seputar akhlak kenabian tanpa cela, tapi berbanding terbalik dengan perangai umatnya hari ini. Kita hanya dapat berdecak kagum atau mencucurkan air mata tanpa ada tindakan serius bagaimana merumuskan `masa silam' itu sehingga tidak menjadi beban: bagaimana sejarah itu menjadi pijar yang mendorong kita sekarang lebih kreatif membangun `makna' baik yang berhubungan dengan persoalan sosial, politik, ekonomi atau kebudayaan.

Seandainya politik diperbincangkan dalam upacara Rajaban, yang saya temukan sering kali adalah tema politik yang telah kehilangan adab: politik perkauman. Politik yang menyuntikkan semangat eksklusifisme kepada umat. Politik yang berpusat pada kehendak membangun ruang yang bebas dari liyan dengan kebenaran yang disikapi berwatak tunggal dan solidaritas dibangun hanya berdasarkan kesamaan pemahaman, agama, etnik budaya, dan partainya. Politik tidak cerdas yang diacukan pada fantasi masa silam itu dengan hal ihwal persoalan sosial dianggap akan selesai ketika dihadirkan teks metafisik yang telah ditafsirkannya, tentu berdasarkan kepentingannya masing-masing.

Kekerasan simbolik

Harus diakui, tema-tema seperti inilah yang disampaikan dalam upacara keagamaan ataupun dalam buku ajar pada jangka panjang yang kemudian menjadi penyemai kognitif dan menjadi tunas bagi tumbuh kembangnya kekerasan. Karena itu, tidak ada yang lebih berbahaya kecuali kekerasan berjubahkan agama. Kekerasan yang mendapatkan landasan ideologis dan pembenaran simbolik maka implikasinya akan panjang dan berdarah-darah.

Seperti pernah dibilang Michel Foucault bahwa agama memiliki potensi yang sangat besar dalam memproduksi kekuasaan-pengetahuan yang mengandaikan kepatuhan absolut para pemeluknya, di antaranya dengan mufasirkan teks-teks keagamaan yang involutif: tertutup, doktriner, dan manikean (hitam putih).

Atau jangan-jangan tema keberagamaan yang tidak beranjak dari nuansa ritualistik dan politik perkauman sesungguhnya adalah cermin dari defisit nalar dan surplus keberagamaan yang hanya sebatas formalitas saja. Absennya `pemikiran' dan tercera butnya penghayatan iman sehingga yang mencuat adalah visi keagamaan yang bersifat permukaan itu.


Mikraj pada titik tertentu salah satu hikmahnya adalah mengingatkan kita tentang bagaimana politik dikembalikan kepada khitahnya sebagai siasat untuk menaikkan (mikraj artinya naik) harkat kemanusiaan kita, harkat bangsa, dan negara yang sedang terpuruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar