|
MEDIA INDONESIA, 05 Juni 2013
PADA 2014, kita akan kembali
merayakan hajatan politik nasional, pemilihan anggota dewan dan pilpres. Mulai
tahun ini atmosfernya sudah terasa. Partai-partai sudah mulai berkonsolidasi,
mempersiapkan kapital ekonomi, sosial, dan budaya untuk meraih simpati,
memperebutkan suara, dan memengaruhi layar bawah sadar massa dengan membangun
citra positif masing-masing agar pemilih memiliki ‘ingatan sosial’ dan
diharapkan menjatuhkan pilih annya kepada mereka.
Setelah semua kegaduhan politik itu berakhir, kita biasanya
kembali pada lingkungan asal, pada rutinitas yang tidak jauh berbeda dengan
waktu semula. Dalam ungkapan Hannah Arendt, “Kekuasaan
di dimandatkan oleh masyarakat, tetapi masyarakat kemudian hanya memiliki
kekuasaan itu pada saat pemilihan umum. Setelah itu kekuasaan berpindah ke
tangan penguasa yang mereka pilih,“ (Agus Sudibyo, 2012).
Politik kembali mewajahkan rupanya yang penuh muslihat,
transaksional, memburu rente, jual beli kekuasaan, dan masyarakat pemilih tidak
memiliki akses untuk `memeriksa' para wakil mereka. Politik membebaskan yang
dijangkarkan pada haluan semangat kesetaraan, solidaritas, dan kebersamaan
autentik dalam ruang yang pluralistik kembali hanya menjadi sekadar wacana.
Seandainya diperbincangkan, `publik' yang hadir hampir
dapat dipastikan bukan representasi dari `publik universal' yang berpayungkan
kebinekaan, tapi lebih kepada `publik' yang sudah diidentifikasi rujukan
alienasi eksklusifnya baik berupa agama, tradisi, birokrasi, maupun berahi
sensitivitas etnik yang kelewat batas. `Publik atas nama' yang pada ujungnya
malah menciptakan suasana penuh kegelisahan dan sering kali menimbulkan konflik
tak berkesudahan.
Harus diakui seperti itulah kualitas demokrasi kita pascarontoknya
negara despotik Orde Baru. Demokrasi yang diterapkan bisa jadi baru berada pada
stadium rendah. Demokrasi yang baru sebatas prosedur dan belum menyentuh sisi
substansinya.
Tidak aneh dalam suasana `gelap' seperti ini yang muncul
bukan kafilah politisi cerdas sebagai cerminan animal politicon, tapi lebih kepada homo homini lupus dengan atraksi primitif sang Leviathan: satu sama
lain melihat lawan lemah untuk diterkam.
Medan politik tak ubahnya belantara dengan serigala yang
siap memangsa. Nafsu menguasai (Max Weber) jauh lebih dominan ketimbang
kesediaan untuk berdialog dalam suasana komunikasi diskursif yang terbuka,
setara, dan saling menerima (Habermas), membangun persahabatan tulus
(Aristoteles), dan semua ikut berpartisipasi dalam napas keterbukaan
(Socrates).
Napas Mikraj
Mikraj yang selalu kita peringati setiap tahun pada 27
Rajab 1434 dan sekarang bertepatan dengan 6 Juni 2013 besok harus dibaca tidak
melulu melalui optik yang serbaritualformalistik dengan upacara yang nyaris
tidak ada perubahan dari tahun ke tahun: menghadirkan penceramah. Dianggap
berhasil Rajaban itu kalau panitia bisa mendatangkan mubalig yang sering nongol
di layar kaca.
Nyaris sudah mafhum, sang penceramah dengan kepandaian
retorika yang memang sudah menjadi keahliannya dan dibumbui joke-joke menyampaikan hikmah Isra
Mikraj sebatas kesalehan ritual. Bukan hanya kedalaman pesan keagamaan yang
hilang dalam konteks komunikasi massa yang hanya mengandalkan suasana `budaya
populer', melainkan juga tidak pernah menumbuhkan sikap kritis jemaah dan tidak
pernah menginjeksikan kesadaran politik kepada peserta yang menghadiri upacara
Rajaban.
Agama menjadi hilang daya kepekaannya dalam merespons
persoalan kemanusiaankebangsaan yang semakin kompleks. Yang tersisa hanya
dramaturgi percakapan tentang eskatologi dan fantasi ihwal kehidupan arkais
masa silam yang serbaindah dan penuh pesona, tetapi sama sekali tidak ada
tautannya dengan kehidupan hari ini. Semacam agama populer yang sungguh
berbanding lurus dengan aksesori penceramahnya: berkendaraan mewah dan wajah
klimis di tengah para jamaah yang kebanyakan hidup di bawah garis kemiskinan.
Yang diceramahkan seputar akhlak kenabian tanpa cela, tapi
berbanding terbalik dengan perangai umatnya hari ini. Kita hanya dapat berdecak
kagum atau mencucurkan air mata tanpa ada tindakan serius bagaimana merumuskan
`masa silam' itu sehingga tidak menjadi beban: bagaimana sejarah itu menjadi
pijar yang mendorong kita sekarang lebih kreatif membangun `makna' baik yang
berhubungan dengan persoalan sosial, politik, ekonomi atau kebudayaan.
Seandainya politik diperbincangkan dalam upacara Rajaban,
yang saya temukan sering kali adalah tema politik yang telah kehilangan adab:
politik perkauman. Politik yang menyuntikkan semangat eksklusifisme kepada
umat. Politik yang berpusat pada kehendak membangun ruang yang bebas dari liyan dengan kebenaran yang disikapi
berwatak tunggal dan solidaritas dibangun hanya berdasarkan kesamaan pemahaman,
agama, etnik budaya, dan partainya. Politik tidak cerdas yang diacukan pada
fantasi masa silam itu dengan hal ihwal persoalan sosial dianggap akan selesai
ketika dihadirkan teks metafisik yang telah ditafsirkannya, tentu berdasarkan
kepentingannya masing-masing.
Kekerasan
simbolik
Harus diakui, tema-tema seperti inilah yang disampaikan
dalam upacara keagamaan ataupun dalam buku ajar pada jangka panjang yang
kemudian menjadi penyemai kognitif dan menjadi tunas bagi tumbuh kembangnya
kekerasan. Karena itu, tidak ada yang lebih berbahaya kecuali kekerasan
berjubahkan agama. Kekerasan yang mendapatkan landasan ideologis dan pembenaran
simbolik maka implikasinya akan panjang dan berdarah-darah.
Seperti pernah dibilang Michel Foucault bahwa agama
memiliki potensi yang sangat besar dalam memproduksi kekuasaan-pengetahuan yang
mengandaikan kepatuhan absolut para pemeluknya, di antaranya dengan mufasirkan teks-teks
keagamaan yang involutif: tertutup, doktriner, dan manikean (hitam putih).
Atau jangan-jangan tema keberagamaan yang tidak beranjak
dari nuansa ritualistik dan politik perkauman sesungguhnya adalah cermin dari
defisit nalar dan surplus keberagamaan yang hanya sebatas formalitas saja.
Absennya `pemikiran' dan tercera butnya penghayatan iman sehingga yang mencuat
adalah visi keagamaan yang bersifat permukaan itu.
Mikraj pada titik tertentu salah satu hikmahnya adalah
mengingatkan kita tentang bagaimana politik dikembalikan kepada khitahnya
sebagai siasat untuk menaikkan (mikraj artinya naik) harkat kemanusiaan kita,
harkat bangsa, dan negara yang sedang terpuruk. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar