|
SUARA KARYA, 05 Juni 2013
The Big Four adalah nama restoran
terkenal di jantung kota San Francisco, California, AS. Restoran itu dibangun
untuk mengenang empat pengusaha minyak dan gas dari Texas, yang menentukan arah
kebijakan ekonomi AS tahun 1920-an.
Di Indonesia kita mengenal The Big Six di sektor yang sama, yaitu Exxon Mobil, Conoco Philips, Chevron,
Statoil, Talisman, dan CNOOC.
Belakangan tersiar kabar, lima dari enam perusahaan itu, ditambah investor
besar lain, Palung Aru, akan angkat kaki memindahkan investasi mereka.
Musababnya adalah ketidakjelasan legal infrastuucture Indonesia, yang tecermin
dari sejumlah kasus seperti bioremediasi PT Chevron Pacific dan kasus
Indosat-IM2.
Chevron dan Conoco Philips masih
menjadi investor migas terbesar di Indonesia. Keduanya menyumbang hingga 50
persen lifting migas. Artinya, jika salah satu atau keduanya hengkang, maka bukan
persoalan gampang untuk menambal defisit lifting migas yang ditinggalkan.
Serempak dengan kabar ancaman
hengkang The Big Six, nilai tukar
rupiah merosot hingga mendekati Rp 10 ribu per dolar AS. Rupanya ketidakpastian
legal infrastructure telah
berkolaborasi dengan ketidakpastian kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM),
menekan keras rupiah. Bisa jadi ini gelombang pertama akibat terusiknya
investasi The Big Six.
Sinyal hengkangnya investor bukan
kali ini saja terjadi. Sejumlah perusahaan dari berbagai sektor industri
memutuskan memindahkan investasi mereka karena masalah upah buruh. Upah buruh
yang melonjak tajam membuat investasi di sini tidak menarik lagi. Situasi
diperburuk dengan respons pejabat daerah yang dengan arogan mempersilakan mereka
hengkang jika keberatan dengan aturan UMP atau UMR baru.
Situasi ini seyogianya dikaji
dengan kepala dingin. Ada something wrong yang mengusik iklim investasi kita.
Tak perlu menutup-nutupi kenyataan dengan mengedepankan isu nasionalisme atau
keberpihakan kepada buruh. Dua hal yang memang populis dan gampang mendongkrak
popularitas, tetapi tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah.
Saatnya kini pemerintah lebih
fokus memperhatikan persoalan legal infrastructure dan persoalan lain yang
mengusik iklim investasi. Sebab, sekali hengkang, akan sangat susah meyakinkan
investor itu untuk kembali berinvestasi. Investor lain pun akan pikir-pikir
untuk membawa uangnya ke Indonesia.
Joe Studwell dalam buku How Asia Works, Success and Failure in the
World's Most Dynamic Region menyebutkan, untuk menjamin sukses transformasi
ekonomi sebuah kawasan, diperlukan intervensi pemerintah di sektor keuangan,
khususnya pada penanaman modal, untuk menciptakan iklim yang kondusif.
Menurut Studwell, masuknya modal
akan menggerakkan sektor-sektor lain seperti agrokultur. Investasi akan
menciptakan lapangan kerja baik secara langsung maupun melalui multiplier effect-nya.
Pemerintah selalu berdalih tidak
bisa mengintervensi lembaga peradilan yang menjadi penentu ada tidaknya
kepastian legal infrastructure. Tapi situasi kini ibarat durga anganggas kara,
aparat hukum menuntut dan memutuskan tanpa memahami persoalan secara
komprehensif. Bener ning ora pener,
bisa saja benar tapi tidak tepat.
Dalam situasi seperti itu,
pemerintah harus mengambil peran untuk menjamin kepastian hukum. Sebab, jika
ketidakpastian itu dibiarkan berkepanjangan dan menimbulkan kontraksi ekonomi,
yang menanggung akibatnya pemerintah juga. Pemerintah akan dinilai tidak cakap
mengendalikan perekonomian nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar