|
SINAR
HARAPAN, 17 Juni 2013
Bangsa
Indonesia kehilangan dengan wafatnya Ketua MPR Taufiq Kiemas (70). Pemikiran
Taufiq Kiemas mengenai empat pilar kebangsaan masih relevan guna menangkal
ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara. Generasi penerus harus melanjutkan
pemikiran Taufiq Kiemas sehingga Indonesia tetap bersatu dan tidak terpecah
belah karena perbedaan paham.
“Saat ini timbul ancaman seperti keinginan
sebagian orang untuk mengubah Indonesia menjadi negara agama. Hal ini tidak
cocok dengan cita-cita para bapak bangsa ketika memproklamasikan kemerdekaan
RI,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK) Moh Mahfud MD yang dihubungi SH, Senin (10/6) pagi.
Dia
menyatakan bangsa Indonesia kehilangan sosok Taufiq Kiemas sebagai seorang
nasionalis sejati. “Pak Taufiq merupakan
orang yang baik dan merupakan ketua MPR yang menjadi teladan bagi anggota MPR
lainnya karena memiliki sifat kenegarawanan serta gigih berjuang guna
mempersatukan bangsa Indonesia. Sebagai seorang ketua ia menjadi panutan bagi
para koleganya yang lebih muda,” katanya.
Kita
kehilangan Bapak Bangsa yang mempersatukan perbedaan dalam satu wadah
keindonesiaan. Menjadi Indonesia bagi Pak Taufiq berarti menjadikan Pancasila
sebagai dasar hidup bersama. Akhir-akhir ini kondisi keragaman bangsa ini
sedang diuji di mana kekerasan atas nama agama, etnis, serta konflik
antarkampung menjadi pemandangan sehari-hari.
Di
tengah krisis keberagaman Pak Taufiq Kiemas tampil memberikan panduan bagi
bangsa ini untuk mengembalikan Pancasila, UUD 45, NKRI, Bineka Tunggal Ika
menjadi dasar ideologi dalam merawat perbedaan. Dia tampil menyuarakan
nilai-nilai Pancasila dijadikan acuan bersama karena Pancasila merupakan
saripati kebangsaan yang tidak boleh diabaikan dan harus terus mendapat tempat
untuk dilestarikan sebagai penuntun jalan kehidupan bangsa ini.
Pancasila
lahir dari karakter murni bangsa Indonesia sejak zaman dulu, dan diperkuat perumusannya
oleh para founding fathers
Republik ini. Namun, dalam kehidupan, kita begitu sering melalaikannya dalam
tindakan sehari-hari. Dalam dunia politik, Pancasila kerap hanya menjadi lips service. Begitu mudah diucapkan,
tapi nilai-nilai luhurnya diabaikan.
Pancasila
digali dan dilahirkan sebagai dasar-dasar berperikehidupan dan berkebangsaan.
Tentu amat disayangkan sejauh ini Pancasila belum sungguh-sungguh menjadi
pedoman kehidupan bangsa ini. Sepanjang Orde Baru, Pancasila mengalami
masa-masa yang sulit ketika ia diperalat untuk tujuan pelanggengan kekuasaan.
Nasib buruk juga terjadi di masa Reformasi, nilai-nilai Pancasila sudah
diabaikan dan dilalaikan dalam semua perikehidupan kita.
Pancasila
belum mewujud dalam nilai-nilai etis para penyelenggara negara dan elite bangsa
ini. Praktik korupsi dan penindasan justru semakin menjadi-jadi. Para elite
menjadi buas, rakus dan tamak. Dalam praktik keagamaan, kerukunan bukan menjadi
inti kehidupan bersama-sama. Dalam praktik kehidupan ekonomi, keadilan sosial
nyaris hanya menjadi kata-kata kosong tanpa makna.
Acuan
Bersama
Pancasila
bisa menjadi kontrol/kendali saat politik dijalankan dengan penuh kerakusan
untuk meraih kekayaan pribadi dan kelompok. Saat konfrontasi dan pragmatisme di
tingkat elite politik sudah berada pada tahap sangat mengkhawatirkan, seolah
sebagai bangsa kita tidak memiliki nilai pijakan dan pedoman berkehidupan.
Karena
itu tidak mengherankan jika ada satu survei yang menghasilkan opini masyarakat
yang ingin kembali ke masa lalu. Mereka berpendapat seolah lebih baik hidup
dalam penindasan daripada hidup dalam ketidakpastian. Kehidupan ekonomi rakyat
kecil tidak kunjung membaik malah sebaliknya.
Nilai
etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral.
Semua harga jabatan politik setara dengan uang berjumlah tertentu. Semakin lama
kita hidup dalam keprihatinan yang semakin mendalam.
Pancasila
sudah dilupakan sebagai acuan etis politik negeri ini. Bangsa ini kehilangan
prasyarat mendasar yang dijadikan acuan bersama dalam merumuskan politik
demokratis yang berbasis etika dan moralitas. Ketidakjelasan secara etis
berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini
mengalami kehancuran.
Fungsi
sebagai pelindung rakyat tidak berjalan sesuai dengan komitmen yang ada.
Keadaban publik yang hancur inilah yang sering kali merusak wajah hukum,
budaya, pendidikan dan agama. Rusaknya sendi-sendi ini rupanya membuat wajah
masa depan bangsa ini semakin kabur, karena etika tidak dijadikan acuan dalam
kehidupan politik.
Ini
terjadi di sebuah negeri yang mengumandangkan diri sebagai negeri reformis,
negeri agamis dan menjunjung tinggi adat ketimuran. Negeri berdasar Pancasila,
dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kontribusi Pak Taufiq begitu
besar untuk terus mengingatkan kita hidup berbangsa berlandaskan Pancasila.
Kita
kembali diingatkan bahwa dasar-dasar kehidupan bersama kita sudah mulai pupus,
dan saatnya mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Kita
perlu memperkuat Pancasila sebagai landasan etis berkebangsaan ini. Di tengah
segi-segi kehidupan yang sudah semakin rusak parah, kita kembali diingatkan
untuk merenungkan dan mengembalikan Pancasila sebagai dasar kehidupan bangsa
ini.
Kita
memang telah kehilangan sosok negarawan yang ajek menjunjung tinggi pilar dasar
kebangsaan itu, tetapi kita diwarisi buah pemikiran dan keyakinan bahwa bangsa
ini bisa tumbuh besar dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan Bineka Tunggal
Ika.
Yang
jauh lebih penting lagi, Pak Taufiq memberikan teladan kepada kita bukan hanya
“kata-kata” kosong. Ia menerapkan sehari-hari ber-Pancasila. Ia selalu menjadi
penengah di dalam kebuntuan, menjadi jembatan dalam berbagai polemik dan
perbedaan pandangan. Ia menerapkan dalam praktik aktual sehari-hari. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar