Selasa, 18 Juni 2013

Merawat Keindonesiaan

Merawat Keindonesiaan
Benny Susetyo ;   Budayawan
SINAR HARAPAN, 17 Juni 2013


Bangsa Indonesia kehilangan dengan wafatnya Ketua MPR Taufiq Kiemas (70). Pemikiran Taufiq Kiemas mengenai empat pilar kebangsaan masih relevan guna menangkal ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara. Generasi penerus harus melanjutkan pemikiran Taufiq Kiemas sehingga Indonesia tetap bersatu dan tidak terpecah belah karena perbedaan paham.

“Saat ini timbul ancaman seperti keinginan sebagian orang untuk mengubah Indonesia menjadi negara agama. Hal ini tidak cocok dengan cita-cita para bapak bangsa ketika memproklamasikan kemerdekaan RI,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD yang dihubungi SH, Senin (10/6) pagi.

Dia menyatakan bangsa Indonesia kehilangan sosok Taufiq Kiemas sebagai seorang nasionalis sejati. “Pak Taufiq merupakan orang yang baik dan merupakan ketua MPR yang menjadi teladan bagi anggota MPR lainnya karena memiliki sifat kenegarawanan serta gigih berjuang guna mempersatukan bangsa Indonesia. Sebagai seorang ketua ia menjadi panutan bagi para koleganya yang lebih muda,” katanya.

Kita kehilangan Bapak Bangsa yang mempersatukan perbedaan dalam satu wadah keindonesiaan. Menjadi Indonesia bagi Pak Taufiq berarti menjadikan Pancasila sebagai dasar hidup bersama. Akhir-akhir ini kondisi keragaman bangsa ini sedang diuji di mana kekerasan atas nama agama, etnis, serta konflik antarkampung menjadi pemandangan sehari-hari.

Di tengah krisis keberagaman Pak Taufiq Kiemas tampil memberikan panduan bagi bangsa ini untuk mengembalikan Pancasila, UUD 45, NKRI, Bineka Tunggal Ika menjadi dasar ideologi dalam merawat perbedaan. Dia tampil menyuarakan nilai-nilai Pancasila dijadikan acuan bersama karena Pancasila merupakan saripati kebangsaan yang tidak boleh diabaikan dan harus terus mendapat tempat untuk dilestarikan sebagai penuntun jalan kehidupan bangsa ini.

Pancasila lahir dari karakter murni bangsa Indonesia sejak zaman dulu, dan diperkuat perumusannya oleh para founding fathers Republik ini. Namun, dalam kehidupan, kita begitu sering melalaikannya dalam tindakan sehari-hari. Dalam dunia politik, Pancasila kerap hanya menjadi lips service. Begitu mudah diucapkan, tapi nilai-nilai luhurnya diabaikan.

Pancasila digali dan dilahirkan sebagai dasar-dasar berperikehidupan dan berkebangsaan. Tentu amat disayangkan sejauh ini Pancasila belum sungguh-sungguh menjadi pedoman kehidupan bangsa ini. Sepanjang Orde Baru, Pancasila mengalami masa-masa yang sulit ketika ia diperalat untuk tujuan pelanggengan kekuasaan. Nasib buruk juga terjadi di masa Reformasi, nilai-nilai Pancasila sudah diabaikan dan dilalaikan dalam semua perikehidupan kita.

Pancasila belum mewujud dalam nilai-nilai etis para penyelenggara negara dan elite bangsa ini. Praktik korupsi dan penindasan justru semakin menjadi-jadi. Para elite menjadi buas, rakus dan tamak. Dalam praktik keagamaan, kerukunan bukan menjadi inti kehidupan bersama-sama. Dalam praktik kehidupan ekonomi, keadilan sosial nyaris hanya menjadi kata-kata kosong tanpa makna.

Acuan Bersama

Pancasila bisa menjadi kontrol/kendali saat politik dijalankan dengan penuh kerakusan untuk meraih kekayaan pribadi dan kelompok. Saat konfrontasi dan pragmatisme di tingkat elite politik sudah berada pada tahap sangat mengkhawatirkan, seolah sebagai bangsa kita tidak memiliki nilai pijakan dan pedoman berkehidupan.

Karena itu tidak mengherankan jika ada satu survei yang menghasilkan opini masyarakat yang ingin kembali ke masa lalu. Mereka berpendapat seolah lebih baik hidup dalam penindasan daripada hidup dalam ketidakpastian. Kehidupan ekonomi rakyat kecil tidak kunjung membaik malah sebaliknya.
Nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Semua harga jabatan politik setara dengan uang berjumlah tertentu. Semakin lama kita hidup dalam keprihatinan yang semakin mendalam.

Pancasila sudah dilupakan sebagai acuan etis politik negeri ini. Bangsa ini kehilangan prasyarat mendasar yang dijadikan acuan bersama dalam merumuskan politik demokratis yang berbasis etika dan moralitas. Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami kehancuran.

Fungsi sebagai pelindung rakyat tidak berjalan sesuai dengan komitmen yang ada. Keadaban publik yang hancur inilah yang sering kali merusak wajah hukum, budaya, pendidikan dan agama. Rusaknya sendi-sendi ini rupanya membuat wajah masa depan bangsa ini semakin kabur, karena etika tidak dijadikan acuan dalam kehidupan politik.

Ini terjadi di sebuah negeri yang mengumandangkan diri sebagai negeri reformis, negeri agamis dan menjunjung tinggi adat ketimuran. Negeri berdasar Pancasila, dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kontribusi Pak Taufiq begitu besar untuk terus mengingatkan kita hidup berbangsa berlandaskan Pancasila.

Kita kembali diingatkan bahwa dasar-dasar kehidupan bersama kita sudah mulai pupus, dan saatnya mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Kita perlu memperkuat Pancasila sebagai landasan etis berkebangsaan ini. Di tengah segi-segi kehidupan yang sudah semakin rusak parah, kita kembali diingatkan untuk merenungkan dan mengembalikan Pancasila sebagai dasar kehidupan bangsa ini.

Kita memang telah kehilangan sosok negarawan yang ajek menjunjung tinggi pilar dasar kebangsaan itu, tetapi kita diwarisi buah pemikiran dan keyakinan bahwa bangsa ini bisa tumbuh besar dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan Bineka Tunggal Ika.

Yang jauh lebih penting lagi, Pak Taufiq memberikan teladan kepada kita bukan hanya “kata-kata” kosong. Ia menerapkan sehari-hari ber-Pancasila. Ia selalu menjadi penengah di dalam kebuntuan, menjadi jembatan dalam berbagai polemik dan perbedaan pandangan. Ia menerapkan dalam praktik aktual sehari-hari. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar