|
MEDIA
INDONESIA, 13 Juni 2013
RASIONALITAS
hukum akan diuji pada kasus PT Indosat dan anak perusahaannya, PT Indosat Mega
Media (IM2). Hakim dalam waktu dekat akan memutuskan kasus tersebut setelah
proses pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memunculkan
kontroversi. Adanya kontroversi disebabkan pihak regulator, dalam hal ini
Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyatakan tidak ada pelanggaran atau
perbuatan hukum dalam kasus perjanjian kerja sama antara Indosat dan IM2
terkait dengan penggunaan frekuensi 2,1 Ghz. Pandangan berbeda muncul dari
pihak penyidik Kejaksaan Agung.
Apabila ditelaah secara rasional
hukum, kasus perjanjian itu lebih layak masuk ranah hukum perdata, atau
setidaknya ranah hukum administrasi negara karena menyangkut regulasi
administrasi. Apalagi jika melihat latar belakang kasus itu yang bermula dari
adanya laporan seseorang yang ternyata terbukti melakukan pidana pemerasan
terhadap Indosat dan IM2, tentu rasionalitas penyidikan atas kasus itu perlu
ditelaah secara mendalam dari segi hukumnya. Maksud penelaahan itu perlu
dilakukan ialah agar penegakan undangundang tidak mengarah ke irasionalitas
hukum yang bukan hanya akan merusak sistem hukum, melainkan juga tujuan hukum
itu sendiri.
Dalam penegakan hukum, ranah
hukum yang ada di Indonesia, yaitu hukum perdata, hukum administrasi negara,
dan hukum pidana, tidak dapat saling menyaingi atau menjadi superior-hukum.
Ketika penyidikan kasus perjanjian kerja sama antara Indosat dan IM2 terkait
dengan penggunaan frekuensi 2,1 Ghz dilakukan semestinya penegak hukum bekerja
sistematis pada ranah hukum yang tersedia. Misalnya, apakah perjanjian tersebut
telah terjadi wanprestasi hingga perlu ada perubahan perjanjian, ataukah ada
suatu kekurangan bayar yang perlu ditagihkan hingga pemerintah menerbitkan
surat terutang, atau memang ada niat menipu hingga harus dikenai sanksi pidana?
Jika kemudian kasus itu langsung
diarahkan dengan sanksi pidana, berarti penyelesaian kasus perjanjian kerja
sama antara Indosat dan IM2 terkait dengan penggunaan frekuensi 2,1 Ghz telah
terjadi lompatan berpikir hukum yang irasional karena dua hal.
Pertama, regulasi telekomunikasi
melalui Undang-Undang Telekomunikasi yang mengatur sistem, prosedur, dan
standar dalam mengatasi kemungkinan pelanggaran belum dilakukan terlebih
dahulu. Kedua, pendapat Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai
regulator sekaligus instansi yang berwenang dalam pemungutan penerimaan negara
di sektor komunikasi dan informatika dalam kasus ini diabaikan. Jika
undang-undang yang berlaku mengikat umum dan instansi yang berwenang dalam
komunikasi dan informatika tidak dijadikan dasar dalam menegakkan kesalahan
sistem, apakah mungkin rasionalitas hukum terjadi?
Irasionalitas berpikir hukum yang
paling membahayakan dalam kasus ini, dan beberapa kasus yang sejenis, ialah menyatakan
UU Tindak Pidana Korupsi sebagai primus act atau UU yang dapat mengesampingkan
seluruh UU apa pun yang dianggap bertentangan. Akibatnya rasionalitas hukum
yang mengharuskan adanya sistem, prosedur, syarat, dan standar dalam penegakan
hukum sektor tertentu dalam UU yang mengatur sektornya itu dapat diabaikan,
atau bahkan mungkin dapat disingkirkan kalau dianggap tidak menguntungkan
proses penegakan.
Irasionalitas berpikir hukum
demikian cenderung mendistorsi tujuan penegakan hukum sendiri dan semakin
menjauhkan sifat hukum pidana yang ultimum remedium. Padahal UU Tindak Pidana
Korupsi sendiri mengatur hanya pelanggaran pidana yang dinyatakan tegas dalam
suatu UU tertentu sebagai tindak pidana korupsi yang dapat dianggap sebagai
korupsi. Hal itu berarti jika UU Telekomunikasi tidak menganggap tindakan
pidana tertentu dalam telekomunikasi sebagai korupsi, berarti penegakan
hukumnya harus dilakukan sesuai dengan syarat, prosedur, dan sistem dalam UU
Telekomunikasi.
Menurut hukum administrasi
negara, kewenangan penegakan hukum suatu sektor tertentu harus diawali dengan
penelaahan dari pihak yang mempunyai wewenang atas sektor itu. Misalnya, ketika
ada kasus perjanjian kerja sama antara Indosat dan IM2 terkait dengan
penggunaan frekuensi 2,1 Ghz, Kementerian Komunikasi dan Informatika ialah
pihak yang paling pertama dan utama untuk diminta penelaahannya.
Jika telaah Kementerian yang
mempunyai otoritas tersebut diabaikan atau dikesam pingkan begitu saja tanpa
rasionalitas, bukankah itu termasuk pelanggaran terhadap UU Kementerian Negara
dan hak prerogatif presiden dalam menetapkan tugas pokok dan fungsi kementerian
tersebut?
Artinya, dalam penyelesaian kasus
ini, begitu banyak UU yang dikesampingkan dan diabaikan dengan alasan penegakan
hukum. Selain pengabaian terhadap ranah hukum yang dimiliki sistem hukum
Indonesia. Selain itu, yang irasional-administratif ialah ketika kasus itu
diduga melanggar suatu peraturan menteri komunikasi dan informatika. Namun,
pihak yang membuat peraturan tersebut melalui suratnya menyatakan tidak ada
pelanggaran terhadap peraturan administrasi yang dibentuknya.
Dalam sistem hukum administrasi
yang tertib, pendapat pembentuk peraturan ialah pihak yang mempunyai otoritas
dan paling menentukan dalam rasionalitas tindakan, baik tindakan hukum maupun
tindakan administratif. Jika sekarang kemudian diabaikan, bagaimana menjawab
rasionalitas pelanggaran tersebut?
Dengan berkaca pada kasus itu,
warga negara dan khususnya pelaku usaha di Indonesia membutuhkan kepastian
hukum sekaligus rasionalitas hukum dalam satu napas penegakan hukum. Dalam era
keterbukaan sekarang ini, penegakan hukum tidak hanya dijawab dengan kepastian
hukum, tetapi juga dengan rasionalitasnya sehingga setiap tindakan hukum
memiliki dasar rasionalitas. Ketika suatu tindakan yang taat pada UU sektoral
dianggap melanggar UU lainnya yang lebih superior berarti ada kesalahan
berpikir rasional (error in rasionality)
dalam penegakan hukum sekarang ini.
Jika anggapan irasionalitas hukum
itu dipahami pelaku usaha internasional sebagai alasan untuk mengajukannya ke
forum arbitrase internasional, itu akan menjadi risiko hukum yang berbahaya
bagi kestabilan keuangan negara, khususnya APBN.
Mengambil hikmah dari kasus
Karaha Bodas yang menyebabkan pemerintah mengganti kerugian ratusan juta dolar
AS, tindakan apa pun terhadap kasus serupa di Indonesia harus benar-benar
dilakukan secara cermat, rasional, hati-hati, dan melibatkan banyak pandangan
agar kemungkinan keuangan negara, khususnya APBN, menanggung risiko hukum itu
tidak terulang, dan menjadi faktor yang menciptakan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakpastian
fiskal (fiscal uncertainty) di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar