Jumat, 14 Juni 2013

Menguji Rasionalitas Hukum

Menguji Rasionalitas Hukum
Dian Puji N Simatupang ;   Doktor, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA, 13 Juni 2013


RASIONALITAS hukum akan diuji pada kasus PT Indosat dan anak perusahaannya, PT Indosat Mega Media (IM2). Hakim dalam waktu dekat akan memutuskan kasus tersebut setelah proses pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memunculkan kontroversi. Adanya kontroversi disebabkan pihak regulator, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyatakan tidak ada pelanggaran atau perbuatan hukum dalam kasus perjanjian kerja sama antara Indosat dan IM2 terkait dengan penggunaan frekuensi 2,1 Ghz. Pandangan berbeda muncul dari pihak penyidik Kejaksaan Agung.

Apabila ditelaah secara rasional hukum, kasus perjanjian itu lebih layak masuk ranah hukum perdata, atau setidaknya ranah hukum administrasi negara karena menyangkut regulasi administrasi. Apalagi jika melihat latar belakang kasus itu yang bermula dari adanya laporan seseorang yang ternyata terbukti melakukan pidana pemerasan terhadap Indosat dan IM2, tentu rasionalitas penyidikan atas kasus itu perlu ditelaah secara mendalam dari segi hukumnya. Maksud penelaahan itu perlu dilakukan ialah agar penegakan undangundang tidak mengarah ke irasionalitas hukum yang bukan hanya akan merusak sistem hukum, melainkan juga tujuan hukum itu sendiri.

Dalam penegakan hukum, ranah hukum yang ada di Indonesia, yaitu hukum perdata, hukum administrasi negara, dan hukum pidana, tidak dapat saling menyaingi atau menjadi superior-hukum. Ketika penyidikan kasus perjanjian kerja sama antara Indosat dan IM2 terkait dengan penggunaan frekuensi 2,1 Ghz dilakukan semestinya penegak hukum bekerja sistematis pada ranah hukum yang tersedia. Misalnya, apakah perjanjian tersebut telah terjadi wanprestasi hingga perlu ada perubahan perjanjian, ataukah ada suatu kekurangan bayar yang perlu ditagihkan hingga pemerintah menerbitkan surat terutang, atau memang ada niat menipu hingga harus dikenai sanksi pidana?

Jika kemudian kasus itu langsung diarahkan dengan sanksi pidana, berarti penyelesaian kasus perjanjian kerja sama antara Indosat dan IM2 terkait dengan penggunaan frekuensi 2,1 Ghz telah terjadi lompatan berpikir hukum yang irasional karena dua hal.

Pertama, regulasi telekomunikasi melalui Undang-Undang Telekomunikasi yang mengatur sistem, prosedur, dan standar dalam mengatasi kemungkinan pelanggaran belum dilakukan terlebih dahulu. Kedua, pendapat Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai regulator sekaligus instansi yang berwenang dalam pemungutan penerimaan negara di sektor komunikasi dan informatika dalam kasus ini diabaikan. Jika undang-undang yang berlaku mengikat umum dan instansi yang berwenang dalam komunikasi dan informatika tidak dijadikan dasar dalam menegakkan kesalahan sistem, apakah mungkin rasionalitas hukum terjadi?

Irasionalitas berpikir hukum yang paling membahayakan dalam kasus ini, dan beberapa kasus yang sejenis, ialah menyatakan UU Tindak Pidana Korupsi sebagai primus act atau UU yang dapat mengesampingkan seluruh UU apa pun yang dianggap bertentangan. Akibatnya rasionalitas hukum yang mengharuskan adanya sistem, prosedur, syarat, dan standar dalam penegakan hukum sektor tertentu dalam UU yang mengatur sektornya itu dapat diabaikan, atau bahkan mungkin dapat disingkirkan kalau dianggap tidak menguntungkan proses penegakan.

Irasionalitas berpikir hukum demikian cenderung mendistorsi tujuan penegakan hukum sendiri dan semakin menjauhkan sifat hukum pidana yang ultimum remedium. Padahal UU Tindak Pidana Korupsi sendiri mengatur hanya pelanggaran pidana yang dinyatakan tegas dalam suatu UU tertentu sebagai tindak pidana korupsi yang dapat dianggap sebagai korupsi. Hal itu berarti jika UU Telekomunikasi tidak menganggap tindakan pidana tertentu dalam telekomunikasi sebagai korupsi, berarti penegakan hukumnya harus dilakukan sesuai dengan syarat, prosedur, dan sistem dalam UU Telekomunikasi.

Menurut hukum administrasi negara, kewenangan penegakan hukum suatu sektor tertentu harus diawali dengan penelaahan dari pihak yang mempunyai wewenang atas sektor itu. Misalnya, ketika ada kasus perjanjian kerja sama antara Indosat dan IM2 terkait dengan penggunaan frekuensi 2,1 Ghz, Kementerian Komunikasi dan Informatika ialah pihak yang paling pertama dan utama untuk diminta penelaahannya.
Jika telaah Kementerian yang mempunyai otoritas tersebut diabaikan atau dikesam pingkan begitu saja tanpa rasionalitas, bukankah itu termasuk pelanggaran terhadap UU Kementerian Negara dan hak prerogatif presiden dalam menetapkan tugas pokok dan fungsi kementerian tersebut?

Artinya, dalam penyelesaian kasus ini, begitu banyak UU yang dikesampingkan dan diabaikan dengan alasan penegakan hukum. Selain pengabaian terhadap ranah hukum yang dimiliki sistem hukum Indonesia. Selain itu, yang irasional-administratif ialah ketika kasus itu diduga melanggar suatu peraturan menteri komunikasi dan informatika. Namun, pihak yang membuat peraturan tersebut melalui suratnya menyatakan tidak ada pelanggaran terhadap peraturan administrasi yang dibentuknya.

Dalam sistem hukum administrasi yang tertib, pendapat pembentuk peraturan ialah pihak yang mempunyai otoritas dan paling menentukan dalam rasionalitas tindakan, baik tindakan hukum maupun tindakan administratif. Jika sekarang kemudian diabaikan, bagaimana menjawab rasionalitas pelanggaran tersebut?

Dengan berkaca pada kasus itu, warga negara dan khususnya pelaku usaha di Indonesia membutuhkan kepastian hukum sekaligus rasionalitas hukum dalam satu napas penegakan hukum. Dalam era keterbukaan sekarang ini, penegakan hukum tidak hanya dijawab dengan kepastian hukum, tetapi juga dengan rasionalitasnya sehingga setiap tindakan hukum memiliki dasar rasionalitas. Ketika suatu tindakan yang taat pada UU sektoral dianggap melanggar UU lainnya yang lebih superior berarti ada kesalahan berpikir rasional (error in rasionality) dalam penegakan hukum sekarang ini.

Jika anggapan irasionalitas hukum itu dipahami pelaku usaha internasional sebagai alasan untuk mengajukannya ke forum arbitrase internasional, itu akan menjadi risiko hukum yang berbahaya bagi kestabilan keuangan negara, khususnya APBN.

Mengambil hikmah dari kasus Karaha Bodas yang menyebabkan pemerintah mengganti kerugian ratusan juta dolar AS, tindakan apa pun terhadap kasus serupa di Indonesia harus benar-benar dilakukan secara cermat, rasional, hati-hati, dan melibatkan banyak pandangan agar kemungkinan keuangan negara, khususnya APBN, menanggung risiko hukum itu tidak terulang, dan menjadi faktor yang menciptakan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakpastian fiskal (fiscal uncertainty) di Indonesia. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar