|
SINAR
HARAPAN, 13 Juni 2013
Ada kliping
koran yang memberitakan, musim kampanye pemilihan umum kepala daerah di Blora,
Jawa Tengah, 2010, diwarnai kasus pembagian ikan asin (gereh) kepada masyarakat setempat. Konon gereh tersebut dari tim sukses salah satu kandidat.
Banyak
pihak kemudian menyebutnya sebagai gereh politik. Untuk konteks Blora, yang
notabene daerah miskin, gereh adalah lauk-pauk yang paling populer, karena
mayoritas masyarakat suka mengonsumsinya.
Kasus
gereh tersebut telah memperpanjang daftar jenis politik uang yang menyertai
perkembangan demokrasi di negeri ini.
Pada
titik ini, tampaknya fenomena pelecehan kedaulatan rakyat semakin mengejawantah
di banyak pelosok daerah. Artinya, rakyat semakin sering diposisikan seperti
kucing-kucing lapar yang mudah dijinakkan dengan secuil ikan asin oleh elite
politik yang sedang berebut kekuasaan.
Kekuatan
Uang
Politik
uang dengan berbagai jenis sebagai pelecehan kedaulatan rakyat sulit
dihentikan, atau bahkan akan semakin marak, jika mayoritas rakyat tetap hidup
di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, derajat demokrasi akan selalu
paralel dengan derajat ekonomi rakyat; maka siapa ingin berkuasa harus punya
banyak uang.
Konkretnya,
siapa saja yang paling kaya dan berminat menjadi pemimpin (terutama di daerah)
dianggap paling berpotensi untuk menang secara demokratis, karena kekuatan
politik selalu menguasai proses demokrasi.
Dengan
kata lain, kekuatan uang memang sulit dikalahkan dalam ranah demokrasi, ketika
mayoritas rakyat sedang dirundung kemiskinan.
Konkretnya,
jarak pandang rakyat dalam kondisi lapar sangat terbatas. Pada kondisi
demikian, rakyat hanya akan bisa mengenal dan kemudian mendukung siapa pun yang
mendekatinya dengan memberikan sesuatu yang dibutuhkan.
Lebih
gamblangnya, kampanye politik paling efektif adalah mendekati rakyat dengan
memberikan bantuan. Sekecil apa pun bantuan yang diterima rakyat akan lebih
berarti. Model kampanye dengan berlomba memasang gambar besar-besaran yang
tidak bisa dinikmati rakyat akan sia-sia saja.
Di
banyak daerah yang relatif makmur, kekuatan uang yang dikelola dengan efektif
akan tetap menarik. Misalnya, masyarakat yang relatif makmur akan cenderung
mendukung kandidat yang bersedia mendanai pembangunan infrastruktur seperti
jalan dan gorong-gorong yang nyata-nyata bisa dirasakan manfaatnya.
Kemiskinan
Abadi
Jika
pelecehan kedaulatan rakyat dibiarkan berkembang di negeri ini, efeknya bisa
sama dengan memasifkan kemiskinan. Artinya, pihak yang berkuasa dan ingin
memperpanjang kekuasaan akan sengaja membiarkan mayoritas rakyat hidup di bawah
garis kemiskinan, agar sewaktu-waktu bisa diperlakukan seperti kucing-kucing
lapar yang mudah dirayu dengan secuil ikan asin.
Pada
konteks nasional, bangsa dan negara bisa saja sengaja dibiarkan tetap miskin
oleh suatu rezim yang ingin berkuasa dalam jangka panjang. Konkretnya,
kemenangan politik karena berhasil mendapatkan dukungan mayoritas rakyat bisa
saja menjadi tanda akan abadinya kemiskinan.
Kasus
rezim orde baru yang berhasil memperpanjang kekuasaan selama tiga dasawarsa
lebih tanpa mengurangi angka kemiskinan secara signifikan bisa terulang lagi di
masa-masa mendatang jika pelecehan kedaulatan rakyat dibiarkan semakin marak.
Oleh
karena itu, jika rezim sekarang akan membagi-bagikan bantuan langsung sementara
masyarakat (BLSM) kepada rakyat miskin sebagai kompensasi naiknya harga BBM,
efeknya sangat mungkin akan mengabadikan kemiskinan juga. Pada titik ini,
rakyat miskin ditindas dengan mahalnya berbagai kebutuhan hidup, tapi juga
dibantu dengan uang tak seberapa secara kontinu agar hidupnya tetap miskin.
Sulit
Dihentikan
Pelecehan
kedaulatan rakyat juga akan sulit dihentikan dengan regulasi, selama mayoritas
rakyat tetap miskin. Dengan demikian, satu-satunya cara untuk menghentikannya
adalah dengan menghapus kemiskinan secara signifikan.
Konkretnya,
jika rakyat sudah mampu membeli gereh sendiri tentu tidak akan mau diperlakukan
seperti kucing lapar ketika hendak memilih pemimpin.
Oleh
karena itu, jika memang mendambakan demokrasi berkembang lebih bermartabat di
negeri ini, semua pihak harus sepakat untuk tidak memperlakukan rakyat seperti
kucing-kucing kelaparan. Misalnya, BLSM diganti dengan memperbanyak akses
ekonomi dan bantuan modal secara kontinu (tidak hanya ketika menjelang pemilu)
yang bisa digunakan rakyat untuk mengembangkan berbagai usaha kecil.
BLSM
yang diberikan secara kontinu hanya pada saat menjelang pemilu kepada rakyat
miskin akan membuat rakyat miskin semakin mudah diperlakukan seperti
kucing-kucing lapar, jika pada waktu bersamaan harga sembako naik dan
pasar-pasar tradisional yang notabene menjadi habitat berkembangnya
perekonomian rakyat digilas dengan pusat-pusat perbelanjaan modern yang
notabene menjadi habitat merajalelanya investor besar.
Kini,
di banyak daerah, kemiskinan cenderung semakin meluas, karena rakyat dibiarkan
terjajah secara ekonomi oleh menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan modern yang
telah menggilas pasar-pasar tradisional. Pada titik ini, pelecehan kedaulatan
rakyat tampaknya akan makin sulit dihentikan atau bahkan sebaliknya akan
semakin marak.
Kini,
BLSM akan kembali dibagikan kepada rakyat miskin terkait agenda politik
menaikkan harga BBM menjelang Pemilu 2014. Dalam hal ini, Partai Demokrat yang
notabene partai berkuasa tampaknya ingin mengulangi kesuksesannya merebut
simpati rakyat berkat adanya pembagian BLSM.
Jika
boleh menduga juga, Partai Demokrat tampaknya mengerti bahwa naiknya harga BBM
akan dibenci
oleh kalangan kelas menengah atas yang notabene konsumen BBM
nonsubsidi.
Mereka
akan dibiarkan memilih golput dalam Pemilu 2014 nanti, karena jumlah mereka
kalah jauh dengan jumlah rakyat miskin yang kemungkinan besar tidak akan golput
atau tetap setia mendukung partai yang berkuasa karena sebagian telah menerima
BLSM.
Begitulah,
demokrasi di negeri ini tampaknya akan tetap diwarnai politik uang, di tingkat
nasional, provinsi, kabupaten dan desa, karena semua elite politik tampak
senang-senang saja menikmati kemenangan di atas masifnya kemiskinan mayoritas
rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar