Jumat, 14 Juni 2013

Bangsa tanpa Spirit Moralitas

Bangsa tanpa Spirit Moralitas
Thomas Koten ;   Direktur Social Development Center
MEDIA INDONESIA, 13 Juni 2013


PERIHAL utama yang dieksplorasi, diolah, dan diproduksi gila-gilaan oleh masyarakat bangsa ini adalah materi. Sebagai sebuah masyarakat modern, bangsa ini berhasil secara gemilang menciptakan dunia materi secara fantastis. Bersama dunia pasar dan industri, kegilaan terhadap kenikmatan materi pun semakin membubung tak terkendali.

Pengutamaan terhadap materi itu membuat masyarakat bangsa ini dari segala lapisan bekerja habis-habisan dan akhirnya hanya untuk membeli komoditas materi dan menumpuknya, bahkan mungkin tidak bisa lagi menikmatinya. Dunia layar kaca dan media cetak terus menyokong mentalitas publik dengan tawarantawaran akan kenikmatan dengan berbagai bentuk iklan sehingga kegilaan bangsa ini terhadap materi semakin tidak terkejar.

Ujungnya, materi menjadi standar hidup manusia-bermasyarakat bangsa ini. Lantas, idealisasi status dan harga diri manusia Indonesia pun seakan identik dengan sekadar memiliki lebih banyak materi. Kegelisahan hakiki hidup manusia Indonesia kini seperti merasa tenteram dalam tumpukan materi. Akan tetapi, apakah itu sebuah jalan yang benar bagi kehidupan sebuah bangsa yang bermoral dan berkeadaban?

Moralitas yang terabaikan

Oleh karena orientasi utama masyarakat bangsa bahkan negara saat ini adalah materi dan menjadikan materi sebagai standar hidup, persoalan luhur kemanusiaan yang menyangkut norma-norma moral semakin terpinggirkan dari perjuangan hidup kemasyarakatan dan kebangsaan. Cermin dari terpinggir atau terabainya moralitas dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa itu adalah jalan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya, seperti di jalan korupsi, suap, atau tak canggung bersekongkol untuk memperoleh bagian materi.

Dengan demikian, persoalan terbesar yang dihadapi bangsa saat ini sesungguhnya bukan pada masalah suap dan korupsi, melainkan pada kebobrokan moral atau meminjam istilah Presiden Cekoi slovakia, sebagai kehidupan moral yang tercemar. The worst thing is that we live in a contaminated moral environment. Sebuah situasi bangsa dengan kebiasaan berbohong yang mewabah. Kata Havel, “We fell morally ill because we became used to saying something different from what we thought.“

Itulah persoalan utama yang melahirkan krisis kepercayaan di antara sesama warga yang berujung pada upaya mementingkan diri membuncah. Ingat bahwa kebiasaan berbohong juga merupakan salah satu ciri manusia Indonesia. Itu ditegaskan Mochtar Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki (1977), dengan tema Manusia Indonesia, sebuah pertanggungjawaban. Dalam ceramahnya itu, Mochtar Lubis menyebutkan ada beberapa ciri manusia Indonesia, antara lain malas, korup, suka menerabas, senang takhayul, suka berbohong, dan kurang serius menjalankan hidup.

Tegas Mochtar Lubis, salah satu ciri manusia Indonesia yang paling menonjol ialah hipokritis, yakni suka berpura-pura, berbohong, dan berdusta; lain di depan, lain di belakang, untuk menyelamatkan diri agar tetap survive. Manusia Indonesia suka beretorika dan gampang melempar tanggung jawab. Senang `lempar batu sembunyi tangan'.

Celakanya, kebiasaan berbohong itu tumbuh subur di kalangan elite negeri. Itu tecermin dari merebaknya kasus suap dan korupsi di kalangan elite yang sesungguhnya menjadi panutan masyarakat kebanyakan. Tidak mengherankan tatkala melihat kasus suap dan korupsi merebak pula di kalangan masyarakat biasa. Masyarakat tidak lagi mendapat contoh teladan yang baik dari para elite negeri yang sebenarnya menjadi panutan. Ingat pepatah yang tumbuh subur di kalangan masyarakat Afrika, `Ikan membusuk mulai dari kepalanya'.

Karena kebobrokan moral bangsa itu merebak ke segenap lapisan masyarakat, dalam masyarakat bangsa ini muncul atau terpotret gambaran yang mengerikan, yakni terjadinya bebalisme dalam kehidupan sosial politik di negeri ini. Bebalisme yang ditandai dengan buta dan tulinya mata, hati, dan telinga mayoritas masyarakat bangsa ini yang bekerja di berbagai aspek kehidupan. Bebalisme juga merujuk ke sepak terjang masyarakat bangsa ini, baik secara institusional maupun personal, yang tidak lagi memiliki empati terhadap penderitaan warga yang tertimpa ketidakadilan ekonomi, politik, dan hukum.

Karena ketiadaan empati, hukum direkayasa sekadar pemenuhan keadilan bagi orang-orang kuat, baik secara ekonomi maupun politik, dengan imbalan materi atau atas dasar kompromi yang saling menguntungkan. Rakyat kecil yang tidak memiliki kekuatan untuk kompromi terus digencet dengan dalih demi penegakan hukum. Bersamaan dengan itu pula, kesejatian politik terletak pada kemampuan, kecerdasan, dan keterampilan untuk mengubah keadaan masyarakat ditertawakan dan dilupakan. Politik sebagai seni dan daya kreasi kekuasaan untuk mengubah nasib rakyat yang menderita dianggap sekadar lelucon yang tidak lucu atau kegilaan.

Akhirnya, demokratisasi yang diyakini merupakan pesona (obat mujarab) untuk merombak mindset bebalisme, tapi apa lacur, ternyata tidak berhasil mereduksi bebalisme yang telah menyatu menjadi budaya dan kebiasaan dalam kehidupan masyarakat bangsa. Nilai kepatutan, kejujuran, keterbukaan, keadilan, antikekerasan, dan prokepentingan rakyat hanya rajin dislogankan, tapi nilai tersebut tidak memiliki perangkat derivasi agar bisa diimplementasikan.

Pembenahan moral bangsa

Oleh karena itu, pembenahan dan pembangunan moral menjadi sangat penting dan urgen saat ini. Pembenahan dan pembangunan moral harus disadari dan diyakini sebagai landasan, pijakan, atau awal penataan dan pembangunan bangsa secara keseluruhan. Pemberantasan korupsi dan segala macam kejahatan yang bercokol di negeri ini tidak bisa dilakukan dengan mengabai kan pembenahan dan pembangunan di bidang moral yang sudah telanjur rusak di tengah masyarakat bangsa ini. Segala ketidakberesan di Republik ini sebagai cermin kebangsaan tanpa spirit moralitas.

Untuk itu, Jeffrey D Sachs dalam artikelnya, Growth in a Buddhist Economy (2009), mengingatkan agar pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur dari angka-angka gross national product dan kemakmuran konsumtif yang potensial menimbulkan destabilitas sosial yang menyebabkan berkembangnya perilaku agresif, rakus, korup, dan diperbudak pekerjaan. Pekerjaan bukan dilakukan dengan tujuan pengaktualisasian diri demi mencapai kebahagiaan hidup dan kesejahteraan masyarakat bangsa, melainkan lebih kepada peningkatan status sosial dan pemenuhan gengsi dengan cara menumpuk harta sebanyak-banyaknya.

Pembenahan dan pembangunan moral bangsa juga dapat dilakukan dengan upaya menghembuskan spirit moral atau menggalang gerakan moral untuk mendobrak segala ketidakjujuran atau kebohongan, perilaku diskriminatif, rekayasa hukum, yang melahirkan ketidakadilan, dan lain-lain. Penghembusan spirit moral atau penggalangan gerakan moral juga harus dilihat sebagai gerakan pencerahan kebangsaan. Semua itu juga harus dilihat sebagi misi profetik panggilan sejarah ke agamaan atau panggilan iman untuk mencerahkan dan menyadarkan para pelaku tindak amoral untuk membersihkan kehidupan kebangsaan dari pencemaran moral.

Lewat hembusan spirit moral atau gerakan moral itulah dapat tersembul spirit moralitas yang menjadi landasan, pijakan, sandaran, dan bangunan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa kini dan esok dalam ‘keabadiannya’. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar