|
SUARA
KARYA, 14 Juni 2013
Masyarakat dunia kini sudah
mengakui bahwa sistem ekonomi modern, terutama kapitalisme, telah mendatangkan
malapetaka. Alih-alih sistem ini diharapkan membawa kemakmuran bagi masyarakat
dunia, justru ini biangkerok penyebab kesengsaraan yang sempurna umat manusia
di dunia.
Krisis ekonomi yang melanda
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa beberapa waktu lalu, yang sempat
menyebar ke wilayah-wilayah dunia, adalah suatu bukti yang memantapkan kita
betapa sistem atau ideologi kapitalisme yang dianut negara-negara Barat itu
semakin tidak memberi kemaslahatan dan kesejahteraan bagi umat manusia.
Virus-virus ekonomi kapitalisme senantiasa menyerang tanpa ampun masyarakat
dunia lewat globalisasi ekonomi itu.
Gerakan anti-Wall Street yang
dikenal dengan Duduki Wall Street (Occupy
Wall Street/OWS) yang semakin mendunia akhir-akhir ini yang disertai aksi
unjuk rasa, yang awalnya memprotes keserakahan korporasi global di Amerika
Serikat (AS). Ini menginspirasi gerakan serupa di berbagai negara dunia, mulai
dari Eropa hingga Asia adalah kenyataan buruk akibat sistem kapitalisme. Ini
sekaligus menunjukkan bahwa paham globalisasi ekonomi sebagai buah dari sistem
kapitalisme telah gagal menyejahterakan masyarakat dunia dan semakin mendapat
tantangan dan resistensi dari berbagai kalangan.
Sejarah pernah mencatat bahwa
resistensi atau tantangan oleh masyarakat dunia terhadap globalisasi pernah
terjadi. Di Mesir misalnya, kekecewaan terhadap pembangunan atas nama
globalisasi yang melanda warga muslim miskin perkotaan yang kemudian melahirkan
gerakan yang berbasis keagamaan diberi label Fundamentalisme Islam.
Hal serupa juga terjadi di India,
resistensi kultural terhadap globalisasi telah membangkitkan kelompok Hindu
Revivalis mendesak Pemerintah India untuk memboikot barang-barang buatan asing.
Di Indonesia, dengan mudah kita
menyaksikan kekecewaan atas sistem kapitalisme dengan wujudnya globalisasi
ekonomi itu. Unjuk rasa yang diwarnai konflik, bahkan pembunuhan di Papua
akibat kesewenang-wenangan perusahaan tambang emas milik AS, PT Freeport
Indonesia, beberapa waktu yang lalu. Masih banyak lagi gerakan-gerakan lainnya
yang pada intinya gerakan tersebut menentang globalisasi ekonomi karena dinilai
sangat menyengsarakan masyarakat dunia, terutama di negara-negara dunia ketiga,
seperti Indonesia.
Melihat sistem ekonomi kapitalis
yang tidak menguntungkan tersebut, sudah tepat masyarakat dunia dan bangsa
Indonesia yang mulai menerapkan sistem ekonomi Islam, terus memperkuatnya
sebagai sebuah sistem berketuhanan dan berperikemanusiaan. Fakta sejarah
menunjukkan bahwa Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat kompreshensif
dan lengkap. Islam mengatur semua aspek kehidupan, baik aspek sosial, politik,
spiritual maupun aspek ekonomi (bermuamalah).
Dalam menjalankan aktivitas utama
ekonomi (produksi, konsumsi, distribusi), Islam telah menetapkan seperangkat
aturan yang menjadi batas-batas perilaku manusia sehingga menguntungkan
individu tanpa merugikan individu yang lain. Perilaku inilah yang harus diawasi
dengan ditetapkannya aturan-aturan yang berlandaskan aturan Islam, untuk
mengarahkan manusia agar mereka secara baik melaksanakan aturan-aturan dan
mengontrol serta mengawasi berjalannya aturan-aturan itu. Aturan-aturan
tersebut terangkum dalam ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam sangat
berbeda dengan sistem ekonomi lainnya (kapitalis, sosialis). Hal yang
membedakan dengan sistem ekonomi yang lainnya adalah terletak pada aturan moral
dan etika ini. Aturan yang dibentuk dalam ekonomi Islam merupakan aturan yang
bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam hubungannya dengan kekuatan
tertinggi (Tuhan), kehidupan, sesama manusia, dunia, sesama makhluk dan tujuan
akhir manusia. Sedangkan pada sistem yang lain tidak terdapat aturan-aturan
yang menetapkan batas-batas perilaku manusia sehingga dapat merugikan satu
pihak dan menguntungkan pihak lainnya.
Karasteristik ekonomi Islam
bersumber pada ajaran Islam itu sendiri (Al-Qur'an dan Hadits). Intinya, sistem
ekonomi Islam tidak kapitalis juga tidak sosialis namun, berada di
tengah-tengah sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Ia menghormati kepentingan
individu, tetapi juga tidak sepenuhnya menyerahkan segala persoalan ekonomi
kepada negara (pemerintah). Ia adalah sebuah sistem yang dijiwai oleh
nilai-nilai ketuhanan.
Ciri ekonomi Islam meliputi,
pertama, menghormati hak milik pribadi, baik itu barang-barang konsumsi ataupun
barang-barang modal. Kepemilikan dalam Islam tidak mutlak, karena pemilik
sesungguhnya adalah Allah SWT. Kedua, terikat dengan akidah, syariah (hukum),
dan moral.
Ketiga, keseimbangan antara kerohanian
dan kebendaan. Dalam hal ini, beberapa ahli Barat memiliki tafsiran tersendiri
terhadap Islam. Keempat, menciptakan keseimbangan antara kepentingan Individu
dengan kepentingan umum. Arti keseimbangan dalam sistem sosial Islam adalah
Islam tidak mengakui hak mutlak dan kebebasan mutlak, tetapi mempunyai
batasan-batasan tertentu, termasuk dalam bidang hak milik.
Kelima, Kebebasan Individu. Dalam
Islam Individu-individu dalam perekonomian Islam diberikan kebebasan untuk
beraktivitas baik secara perorangan maupun kolektif untuk mencapai tujuan.
Keenam, campur tangan negara. Islam memperkenankan negara untuk mengatur
masalah perekonomian agar kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun
sosial dapat terpenuhi secara proporsional.
Dalam ekonomi Islam, negara berperan sementara dalam sistem
kapitalis sangat dibatasi, sedangkan dalam sistem sosialis negara berwenang
penuh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar