|
SUARA
KARYA, 14 Juni 2013
Patutkah gelombang protes di
negara-negara Arab yang di sebagian negara belum usai hingga kini disebut Musim
Semi Arab (Arab Spring/ar-Rabi' al'Araby)?
Perkembangan mutakhir justru
menunjukkan bahwa kenyataan masa transisi dan demokratisasi di sana tak seindah
musim semi. Konflik berkepangan di sejumlah negara Timur Tengah memberi isyarat
ketidaksiapan mereka menghadapi demokratisasi. Apakah kemajemukan seperti di
Indonesia bukan suatu potensi dan kekuatan melainkan pintu perpecahan?
Thahir 'Athaf dalam ar-Rabi
al'Arabiy wa al'Ajz ad-Dimuqrathiy (2012: 14-18) menyebutkan setidaknya tiga
faktor yang melatarbelakangi hal itu. Pertama, ketegangan politik akibat
polarisasi akut antar kelas sosial. Kedua, perpecahan internal keagamaan yang
sebagian disulut oleh sentimen sektarian. Dan, ketiga, campur tangan asing
dengan berbagai kepentingannya masing-masing.
Mesir menjadi contoh dari faktor
pertama. Lengsernya Husni Mubarak sama sekali tidak menandakan bahwa masa
transisi pascarevolusi akan berjalan mulus. Krisis politik di Negeri Kinanah
itu memicu lahirnya pertentangan antar kelompok yang terbagi ke dalam tiga
kubu: militer, sekuler-liberal, dan Islamis.
Perdebatan mengenai bagaimana
demokratisasi meski diarahkan belum usai hingga dua tahun pascarevolusi Tahrir
25 Januari. Kabar mutakhirnya, setelah Presiden Muhammad Mursi mengeluarkan
dekrit 22 November tahun lalu, friksi Islamis-sekular semakin meruncing.
'"Ikwanisasi" Mesir kini telah meletakkan posisi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif dalam dominasi dan hegemoni kaum Islamis.
Dari faktor kedua, Yaman, Bahrain,
dan Irak menjadi contohnya. Yaman masih belum mampu menyelesaikan persoalan
gerakan separatis dan disintegrasi Utara-Selatan. Bahrain, pada awal munculnya
protes, cenderung lurus-lurus saja: menuntut kebebasan politik dan hak asasi
manusia (HAM). Tapi campur tangan Arab Saudi dengan menerjunkan pasukan dari
GCC membuat sentimen Syiah muncul. Tak mau ketinggalan, Iran pun turun tangan
membela Syiah di Bahrain.
Sentimen sekte di Irak bahkan
lebih kental lagi. Tahun lalu, PM Nouri al-Maliki mengeluarkan komando untuk
menangkap pejabat-pejabat tinggi lainnya yang diduga terlibat dalam kasus
(ancaman) pengeboman. Setelah ditariknya pasukan Amerika, Irak belum mampu
meredam konflik sekte. Ketegangan ini tidak hanya antara Sunni dan Syiah,
melainkan juga suku Kurdi yang masih was-was dengan perkembangan politik ke
depan.
Faktor ketiga, kekuatan global
tentu berpengaruh besar di kawasan, utamanya di Suriah. Menurut laporan UNHCR
belum lama ini, korban tewas di tangan rezim Bashar al-Assad sudah mencapai 60
ribu jiwa. Krisis Suriah susah diakhiri setidaknya karena dua hal, yakni
terpecahnya oposisi dan pembelaan dari Iran, Rusia, dan Cina. Faktor eksternal
itu memang penghambat besar bagi diakhirinya "genosida" di Suriah.
Dari ketiga faktor di atas, bisa
ditarik benang merah bahwa pangkal mula dari krisis politik di negara-negara
Arab adalah disintegrasi bangsa. Tiadanya persatuan yang kukuh antar elemen
sosial menyebabkan negara-negara itu sulit melakukan konsolidasi, apalagi
membendung intervensi asing.
Konsolidasi internal tidak mudah
dilakukan jika tiada saling percaya. Kubu yang paling sering bertengkar adalah
kelompok Islamis melawan kelompok sekuler-liberal. Hal ini sebenarnya mengulang
kembali persoalan klasik dan terkait erat dengan teorinya Samuel Huntington
tentang clash of civilization
(benturan peradaban), apakah Islam kompatibel dengan demokrasi?
Untuk mengatasi problem
kompatibilitas itu, banyak negara Arab hendak menjadikan Turki sebagai
"cetak biru". Pasalnya, pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan
(AKP) yang berhaluan Islamis bisa membawa Turki dalam stabilitas politik bahkan
maju secara ekonomi (Sinan Ulgen, 2011: 6).
Hanya saja, problem di Turki tidak
sepenuhnya sama, elemen sosial di Turki tidak seberagam sebagaimana di
negara-negara Arab itu. Oleh karena itu, negara-negara Arab perlu mencari blue
print lain untuk menyusun solusi bagi krisis di masa transisi. Pada hemat
penulis, negara-negara Arab bahkan perlu menengok Indonesia sebagai inspirasi
alternatif setelah Turki. Indonesia, yang berpenduduk muslim terbesar sedunia
punya kans besar untuk ikut ambil bagian menangani masalah Timur Tengah.
Bagaimana negara sebesar dan semajemuk ini dapat melalui transisi demokrasi
pasca Orde Baru tanpa mengalami friksi sosial yang tajam?
Andreas Ufen (2008: 34-35)
menyatakan, tiadanya polarisasi sosial di masa transisi-demokratisasi Indonesia
pasca-Suharto itu karena "politik aliran" tak lagi laku dalam lanskap
demokrasi Indonesia. Itulah salah satu hal yang bisa kita tawarkan ke
negara-negara Arab.
Sejarah masa transisi kita dari
otoritarianisme Orde Baru ke Era Reformasi tidak mengalami disintegrasi akut
seperti yang terjadi di negara-negara Arab. Tidak ada friksi
Islamisme-sekularisme dalam lanskap demokrasi kita sejak era reformasi.
Partai-partai (berbasis massa) Islam kita justru bergerak melakukan moderasi,
menjadi partai terbuka dan menanggalkan ambisi membentuk sistem teokrasi.
Perpolitikan Islam yang relatif
terbuka dan mampu melakukan ijtihad politik untuk berkompromi dengan
sekularisme adalah modal yang bisa kita tawarkan ke Arab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar