Minggu, 16 Juni 2013

Indonesia dan Konflik Timur Tengah

Indonesia dan Konflik Timur Tengah
Azis Anwar Fachrudin ;   Koordinator Forum Studi Arab dan Islam (FSAI),
Pengajar di Ponpes Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta
SUARA KARYA, 14 Juni 2013


Patutkah gelombang protes di negara-negara Arab yang di sebagian negara belum usai hingga kini disebut Musim Semi Arab (Arab Spring/ar-Rabi' al'Araby)?

Perkembangan mutakhir justru menunjukkan bahwa kenyataan masa transisi dan demokratisasi di sana tak seindah musim semi. Konflik berkepangan di sejumlah negara Timur Tengah memberi isyarat ketidaksiapan mereka menghadapi demokratisasi. Apakah kemajemukan seperti di Indonesia bukan suatu potensi dan kekuatan melainkan pintu perpecahan?

Thahir 'Athaf dalam ar-Rabi al'Arabiy wa al'Ajz ad-Dimuqrathiy (2012: 14-18) menyebutkan setidaknya tiga faktor yang melatarbelakangi hal itu. Pertama, ketegangan politik akibat polarisasi akut antar kelas sosial. Kedua, perpecahan internal keagamaan yang sebagian disulut oleh sentimen sektarian. Dan, ketiga, campur tangan asing dengan berbagai kepentingannya masing-masing.

Mesir menjadi contoh dari faktor pertama. Lengsernya Husni Mubarak sama sekali tidak menandakan bahwa masa transisi pascarevolusi akan berjalan mulus. Krisis politik di Negeri Kinanah itu memicu lahirnya pertentangan antar kelompok yang terbagi ke dalam tiga kubu: militer, sekuler-liberal, dan Islamis.

Perdebatan mengenai bagaimana demokratisasi meski diarahkan belum usai hingga dua tahun pascarevolusi Tahrir 25 Januari. Kabar mutakhirnya, setelah Presiden Muhammad Mursi mengeluarkan dekrit 22 November tahun lalu, friksi Islamis-sekular semakin meruncing. '"Ikwanisasi" Mesir kini telah meletakkan posisi legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam dominasi dan hegemoni kaum Islamis.

Dari faktor kedua, Yaman, Bahrain, dan Irak menjadi contohnya. Yaman masih belum mampu menyelesaikan persoalan gerakan separatis dan disintegrasi Utara-Selatan. Bahrain, pada awal munculnya protes, cenderung lurus-lurus saja: menuntut kebebasan politik dan hak asasi manusia (HAM). Tapi campur tangan Arab Saudi dengan menerjunkan pasukan dari GCC membuat sentimen Syiah muncul. Tak mau ketinggalan, Iran pun turun tangan membela Syiah di Bahrain.

Sentimen sekte di Irak bahkan lebih kental lagi. Tahun lalu, PM Nouri al-Maliki mengeluarkan komando untuk menangkap pejabat-pejabat tinggi lainnya yang diduga terlibat dalam kasus (ancaman) pengeboman. Setelah ditariknya pasukan Amerika, Irak belum mampu meredam konflik sekte. Ketegangan ini tidak hanya antara Sunni dan Syiah, melainkan juga suku Kurdi yang masih was-was dengan perkembangan politik ke depan.

Faktor ketiga, kekuatan global tentu berpengaruh besar di kawasan, utamanya di Suriah. Menurut laporan UNHCR belum lama ini, korban tewas di tangan rezim Bashar al-Assad sudah mencapai 60 ribu jiwa. Krisis Suriah susah diakhiri setidaknya karena dua hal, yakni terpecahnya oposisi dan pembelaan dari Iran, Rusia, dan Cina. Faktor eksternal itu memang penghambat besar bagi diakhirinya "genosida" di Suriah.

Dari ketiga faktor di atas, bisa ditarik benang merah bahwa pangkal mula dari krisis politik di negara-negara Arab adalah disintegrasi bangsa. Tiadanya persatuan yang kukuh antar elemen sosial menyebabkan negara-negara itu sulit melakukan konsolidasi, apalagi membendung intervensi asing.

Konsolidasi internal tidak mudah dilakukan jika tiada saling percaya. Kubu yang paling sering bertengkar adalah kelompok Islamis melawan kelompok sekuler-liberal. Hal ini sebenarnya mengulang kembali persoalan klasik dan terkait erat dengan teorinya Samuel Huntington tentang clash of civilization (benturan peradaban), apakah Islam kompatibel dengan demokrasi?

Untuk mengatasi problem kompatibilitas itu, banyak negara Arab hendak menjadikan Turki sebagai "cetak biru". Pasalnya, pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berhaluan Islamis bisa membawa Turki dalam stabilitas politik bahkan maju secara ekonomi (Sinan Ulgen, 2011: 6).

Hanya saja, problem di Turki tidak sepenuhnya sama, elemen sosial di Turki tidak seberagam sebagaimana di negara-negara Arab itu. Oleh karena itu, negara-negara Arab perlu mencari blue print lain untuk menyusun solusi bagi krisis di masa transisi. Pada hemat penulis, negara-negara Arab bahkan perlu menengok Indonesia sebagai inspirasi alternatif setelah Turki. Indonesia, yang berpenduduk muslim terbesar sedunia punya kans besar untuk ikut ambil bagian menangani masalah Timur Tengah. Bagaimana negara sebesar dan semajemuk ini dapat melalui transisi demokrasi pasca Orde Baru tanpa mengalami friksi sosial yang tajam?

Andreas Ufen (2008: 34-35) menyatakan, tiadanya polarisasi sosial di masa transisi-demokratisasi Indonesia pasca-Suharto itu karena "politik aliran" tak lagi laku dalam lanskap demokrasi Indonesia. Itulah salah satu hal yang bisa kita tawarkan ke negara-negara Arab.

Sejarah masa transisi kita dari otoritarianisme Orde Baru ke Era Reformasi tidak mengalami disintegrasi akut seperti yang terjadi di negara-negara Arab. Tidak ada friksi Islamisme-sekularisme dalam lanskap demokrasi kita sejak era reformasi. Partai-partai (berbasis massa) Islam kita justru bergerak melakukan moderasi, menjadi partai terbuka dan menanggalkan ambisi membentuk sistem teokrasi.

Perpolitikan Islam yang relatif terbuka dan mampu melakukan ijtihad politik untuk berkompromi dengan sekularisme adalah modal yang bisa kita tawarkan ke Arab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar