|
SUARA
KARYA, 14 Juni 2013
Mengapa saat terjadi musibah atau
kecelakaan yang menyangkut nyawa saudara-saudari kita sebangsa, muncul dua tanggapan
spontan? Yang satu, peduli dan sukarela tanpa pamrih membantu yang sedang
tertimpa kemalangan untuk dihibur dan disolidaritasi. Sementara, yang kedua,
para pejabatnya saling melempar tanggung jawab saat harus
mempertanggungjawabkan tugas kewenangannya.
Bertanggung jawab atau
menangungjawabi adalah sikap moral berani memilih tindakan atas putusan matang
yang ditimbang budi dan nurani seseorang untuk juga menanggung risiko dan
konsekuensinya apabila hasil akhirnya negatif. Kebanyakan di antara kita,
apabila hasil akhirnya sukses dan gemilang, semuanya ramai-ramai mengaku atau
"mengklaim" sebagai buah jasanya. Namun, apabila gagal, mereka lalu
tidak berani bertanggung jawab dalam kewenangannya.
Fenomena pemimpin atau pejabat
tidak bertanggung jawab sempat dibahas dalam sebuah diskusi mengenai penanaman
sikap bertanggung jawab. Dalam kasus di atas, sikap tanggung jawab telah
dijawab, salah satunya dengan "kisah lucu namun getir yang merunut
lemparan tanggung jawab bukan dari kita pelaku tetapi di luar pelaku".
Tolong, bandingkan secara analogi
(baca dengan jalan pikiran akal sehat serupa), mengapa kita paling jago
membentuk Pam Swakarsa pada saat krisis tanggung jawab kepemimpinan menjelang
diturunkannya Soeharto tahun 1997-1998? Atau, pembentukan milisi-milisi di
Timor Leste saat jajak pendapat Timor Timur tahun 1999? Kini, fenomena itu
dilanjutkan dengan keberadaan satuan-satuan pengaman dan penenteram yang
tugasnya jauh dari pengayom dan penenteram karena mendatangkan ketakutan pada
warga masyarakat kecil, khususnya para pedagang kaki lima yang terus
dikejar-kejar dan digusur?
Jawabnya, jelas, terpenuhinya
hipotesis perilaku dan pola "tidak berani berhadap-hadapan secara
bertanggung jawab". Namun, mereka hanya maunya beres, selamat untuk diri
sendiri dan demi "wibawa" meski yang jadi korban akhirnya adalah
sesama saudara kita sebangsa yang tidak terlindungi, yaitu kaum jelata.
Dalam penelaahan kultural
terendapkan kebersamaan perkauman yang kolektif dan kebersamaan saudara
sepayungan dalam marga atau kekerabatan oleh mendiang Dr Matulaada,
ditunjuklah, mengapa krisis pertanggungjawaban berada pada transisi dari
masyarakat rasional "modern" dengan perbedaan tajam pada ruang
pribadi dan ruang publik yang sedang ditapaki oleh "masyarakat kolektif"
yang masih mencari bentuk ekspresi tanggung jawabnya. Herankah kita apabila ada
pejabat atau elite lempar tanggung jawab atau "lempar batu sembunyi
tangan" untuk meluputkan diri agar selamat dari pertanggungjawaban? Hal
ini perlu dicarikan akar sebabnya pada situasi transisional kultural ini.
Dalam kerendahan hati, secara
realistis, kita perlu belajar mulai dari diri sendiri, keluarga, di tempat
kerja serta dalam kewenangan tanggung jawab pelayanan kita pada sesama, untuk
berani meneladankan sikap dan perilaku bertanggung jawab. Ranah itu ada dalam
pendidikan mentalitas dan watak, yang untuk mewujudkannya dibutuhkan proses dan
bukan melalui orientasi hasil kilat atau target penyelesaian proyek. Memasuki
era di mana materi dan uang mendominasi keseharian kita, maka "roh"
dan "spirit" kerap pingsan dalam cekikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar