Minggu, 16 Juni 2013

Moral Tanggung Jawab

Moral Tanggung Jawab
Mudji Sutrisno ;   Budayawan
SUARA KARYA, 14 Juni 2013

Mengapa saat terjadi musibah atau kecelakaan yang menyangkut nyawa saudara-saudari kita sebangsa, muncul dua tanggapan spontan? Yang satu, peduli dan sukarela tanpa pamrih membantu yang sedang tertimpa kemalangan untuk dihibur dan disolidaritasi. Sementara, yang kedua, para pejabatnya saling melempar tanggung jawab saat harus mempertanggungjawabkan tugas kewenangannya.

Bertanggung jawab atau menangungjawabi adalah sikap moral berani memilih tindakan atas putusan matang yang ditimbang budi dan nurani seseorang untuk juga menanggung risiko dan konsekuensinya apabila hasil akhirnya negatif. Kebanyakan di antara kita, apabila hasil akhirnya sukses dan gemilang, semuanya ramai-ramai mengaku atau "mengklaim" sebagai buah jasanya. Namun, apabila gagal, mereka lalu tidak berani bertanggung jawab dalam kewenangannya.

Fenomena pemimpin atau pejabat tidak bertanggung jawab sempat dibahas dalam sebuah diskusi mengenai penanaman sikap bertanggung jawab. Dalam kasus di atas, sikap tanggung jawab telah dijawab, salah satunya dengan "kisah lucu namun getir yang merunut lemparan tanggung jawab bukan dari kita pelaku tetapi di luar pelaku".

Tolong, bandingkan secara analogi (baca dengan jalan pikiran akal sehat serupa), mengapa kita paling jago membentuk Pam Swakarsa pada saat krisis tanggung jawab kepemimpinan menjelang diturunkannya Soeharto tahun 1997-1998? Atau, pembentukan milisi-milisi di Timor Leste saat jajak pendapat Timor Timur tahun 1999? Kini, fenomena itu dilanjutkan dengan keberadaan satuan-satuan pengaman dan penenteram yang tugasnya jauh dari pengayom dan penenteram karena mendatangkan ketakutan pada warga masyarakat kecil, khususnya para pedagang kaki lima yang terus dikejar-kejar dan digusur?
Jawabnya, jelas, terpenuhinya hipotesis perilaku dan pola "tidak berani berhadap-hadapan secara bertanggung jawab". Namun, mereka hanya maunya beres, selamat untuk diri sendiri dan demi "wibawa" meski yang jadi korban akhirnya adalah sesama saudara kita sebangsa yang tidak terlindungi, yaitu kaum jelata.

Dalam penelaahan kultural terendapkan kebersamaan perkauman yang kolektif dan kebersamaan saudara sepayungan dalam marga atau kekerabatan oleh mendiang Dr Matulaada, ditunjuklah, mengapa krisis pertanggungjawaban berada pada transisi dari masyarakat rasional "modern" dengan perbedaan tajam pada ruang pribadi dan ruang publik yang sedang ditapaki oleh "masyarakat kolektif" yang masih mencari bentuk ekspresi tanggung jawabnya. Herankah kita apabila ada pejabat atau elite lempar tanggung jawab atau "lempar batu sembunyi tangan" untuk meluputkan diri agar selamat dari pertanggungjawaban? Hal ini perlu dicarikan akar sebabnya pada situasi transisional kultural ini.

Dalam kerendahan hati, secara realistis, kita perlu belajar mulai dari diri sendiri, keluarga, di tempat kerja serta dalam kewenangan tanggung jawab pelayanan kita pada sesama, untuk berani meneladankan sikap dan perilaku bertanggung jawab. Ranah itu ada dalam pendidikan mentalitas dan watak, yang untuk mewujudkannya dibutuhkan proses dan bukan melalui orientasi hasil kilat atau target penyelesaian proyek. Memasuki era di mana materi dan uang mendominasi keseharian kita, maka "roh" dan "spirit" kerap pingsan dalam cekikannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar