|
SINAR HARAPAN, 01 Juni 2013
Pancasila sebagai filosofi, jiwa,
pandangan hidup, dan ideologi negara sudah final. Namun, setelah 68 tahun
Pancasila dilahirkan, keluhuran nilai-nilainya sebagai dasar dan haluan
bernegara terus diimpikan tanpa kemampuan untuk membumikannya.
Kenistaan terpedih sebuah
bangsa adalah saat ia kehilangan jati diri yang menjadi dasar dari pandangan
hidupnya. Setelah 68 merdeka, Indonesia masih hidup di bawah bayang-bayang
kebesaran Pancasila, tanpa kemampunan untuk membumikannya.
Kepedihan lain, warisan
terburuk dari sebuah rezim otoritarian adalah ketidaksanggupan rezim penerus
untuk membuat Pancasila bicara. Kesalahan rezim masa lalu yang memosisikan
Pancasila sebagai “alat pukul” dipandang sebagai dosa struktural.
Di era Orde Baru, upaya
pembumian Pancasila hanyalah seremoni berbungkus penataran Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4). Di era reformasi, upaya itu hanya berpindah cara
ke seremoni sosialisasi Empat Pilar, tanpa kekayaan metodologi dan perluasan
imajinasi pematrian nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan karakter bangsa
(Yudi Latif, 2012).
Dalam kegundahan krisis jati
diri bangsa, pemerintah, DPR, DPD, Parpol, dan beragam organisasi sosial
kemasyarakatan kembali menengok dan merayakan Pancasila. Namun sekali lagi,
tanpa kesungguhan usaha untuk membuatnya bicara. Empati atas Pancasila berhenti
sebagai komedi omong, yang tingkat
kedalamannya hanya sampai di tenggorokan.
Sebagai bangsa, kita
merasakan begitu banyak ketidakberesan dalam aspek pemahaman, penjiwaan, dan
aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Ditelisik dari dimensi logos (pengetahuan)
dan etos (semangat), kekosongan definisi dan kerendahan daya juang untuk
membumikan Pancasila telah membuat Pancasila duduk kembali sebagai “ideologi
bisu”.
Dalam kebisuan Pancasila
itu, negara membiarkan ideologi lain—seperti fundamentalisme, radikalisme, atau
liberalisme—tumbuh subur. Dalam kebisuannya, Pancasila terus “direcoki”,
“diinfiltrasi” dan menghadapi ”inflasi” luar biasa.
Penghormatan dan penghargaan
atas Pancasila seakan selesai ketika mimbar upacara dan peringatan digelar di
sekolah atau kantor pemerintahan. Saat kita merayakan hari lahir
Pancasila, para petinggi negeri terus mempertontonkan perilaku korup tanpa rasa
malu.
Dalam rentang perjalanan
kebangsaan kita, eksperimentasi Pancasila hingga kini hanya fasih melafalkan
wajah kemerdekaan, kebinekaan, dan integrasi nasional yang berhasil dirakit
generasi Soekarno (1945-1966) di satu sisi, serta pencetusan pembangunan
nasional dan integrasi teritorial yang berhasil dipateri generasi Soeharto
(1966-1998) pada sisi lain.
Jika pada masa Soekarno
proyek nasionalisme digerakkan melalui jalan sosialisme Indonesia, di mana
desain pembangunan negara-bangsa (nation-state)
dilandasi oleh spirit persatuan nasional dengan nation and character building sebagai fundamennya; maka di era
Soeharto konsep ini tedesak oleh ideologi "developmentalism", sebuah
ajaran politik pragmatik yang beroperasi di bawah logika negara korporatis (state-corporatism).
Faktual, sejak era Soeharto
hingga Yudhoyono saat ini, nilai-nilai dasar Pancasila seakan tak berelasi dengan
prinsip kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan. Logika pembangunan korporatis
yang dipraktikkan Soeharto terbukti gagal mewujudkan daulat rakyat.
Ideologi pembangunan Orde
Baru yang berencana mewujudkan—meminjam tesis Soekarno: "berdaulat di
bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang
budaya"—ternyata cuma sanggup melahirkan negara Leviathan; gurita besar
yang melumat kebebasan dan melahap hak rakyat.
Pada era Habibie,
nasionalisme Indonesia kembali terinterupsi oleh soal territorial state,
dengan lepasnya Timor Timur dari peta NKRI. Situasi ini terus berlanjut pada
masa pemerintahan Gus Dur yang terus menghadapi deraan separatisme Aceh dan
Papua.
Pemerintah Megawati kemudian
mencoba merajut kembali semangat persatuan nasional, terutama pascalepasnya
Sipadan dan Ligitan dari NKRI. Sementara di masa Yudhoyono, kasus radikalisme
dan fundamentalisme agama serta terorisme agaknya masih menjadi bayang-bayang
yang terus mengancam.
Tantangan Ganda
Pancasila praktis menghadapi
tantangan ganda. Di satu sisi, ia harus membuktikan diri sebagai ideologi yang
relevan di tengah gempuran keras globalisasi. Di sisi lain, ia wajib menjaga
kedaulatan bangsa dari pelbagai rongrongan internal.
Problemnya, campur tangan
lembaga keuangan internasional (World Bank, IMF, atau ADB) dalam kebijakan
ekonomi negara serta penguasaan korporasi global (seperti Caltex, Freeport,
atau Newmont) atas manajemen sumber daya alam dan energi nasional justru kian
menguat di tengah teriakan rakyat untuk kembali kepada Pancasila.
Praktis, Pancasila kini
lunglai di hadapan rezim pasar dan korporasi global. Pancasila praktis tak
menjadi rujukan dalam soal pengaturan produksi, konsumsi, dan distribusi yang
berorientasi pada pemenuhan hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya rakyat.
Pancasila menjadi kian
paradoks ketika ia cuma bisa diam membisu saat menyaksikan rezim
neoliberal memaksakan kebijakan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi
beragam sektor strategis yang menguasai hajat hidup rakyat di kudeta oleh rezim
globalisasi-neoliberal dan para kaki tangannya.
Pancasila bak Goliath kurang
gizi; lunglai dalam mewujudkan emansipasi sosial, menggerakan proses demokrasi
substansial, menopang kedaulatan politik dan ekonomi nasional, serta punya
kecerdasan dan adaptasi tinggi dalam menghadapi kecongkakan rezim
globalisasi-neoliberal.
Sebaliknya, arus
nasionalisme-sosialisme—sebagai bentuk perlawanan terbuka terhadap doktrin
globalisasi-neoliberal—kini menggeliat kuat di kawasan Amerika Latin. Pemimpin
seperti Hugo Chavez (Venezuela), Evo Morales (Bolivia), Michele Bachelet
(Chile), Lula da Silva (Brasil), Tabare Vasquez (Uruguay), atau Alfredo Palacio
(Ekuador) adalah tokoh-tokoh sosialis kiri-tengah yang berani melawan
kecongkakan Barat.
Tantangan aktual pembumian
Pancasila adalah kesanggupan pandangan bangsa ini menjadi bintang penuntun (lead star) untuk membumikan nilai-nilai
demokrasi, persatuan, keadilan sosial, dan kedaulatan nasional secara nyata
dalam kehidupan berbangsa.
Selama kita tak serius
membumikan Pancasila dalam kehidupan nyata, selama itu pula bangsa
Indonesia tidak akan pernah punya dasar kokoh untuk mewujudkan peri kehidupan
berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur seperti dimandatkan konstitusi.
Mari kita ingat pesan
Presiden Soekarno dalam pidatonya tahun 1958, “Tak ada sebuah bangsa yang mampu bertahan tanpa kepercayaan”. Nah,
mungkinkah Indonesia bisa terus bertahan hidup tanpa Pancasila? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar