|
INILAH.COM, 30 Mei 2013
Saat ribut-ribut soal Jokowi dan
Kartu Jakarta Sehat (KJS), Kiwir dan Misro rekannya berbincang di salah satu
warung kopi di Taman Ismail Marzuki, Cikini.
Kiwir: Saya heran, kenapa itu para anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah DKI Jakarta mengkritik langkah Gubernur Joko Widodo membagikan
KJS. Gubernur mikirin rakyat kok disalahin?
Misro: Jelas, Jokowi harus dikritik. Saya setuju kebijakan
itu diinterpelasi anggota DPRD Jakarta. Saya baca di koran, orang DPRD bilang
pembagian KJS itu harusnya jangan dilakukan Jokowi sendiri. Kan bisa dibagikan
oleh kepala puskesmas, camat atau lurah?
Kiwir: Lho, tapi minggu lalu Jokowi kan hanya membagikan 50
kartu saja, bukan seluruh KJS.
Misro: Ya, tapi apa tujuannya? Itu kan cari popularitas
namanya… Pencitraan. Dia kan sudah jadi gubernur; buat apa lagi blusukan kayak
begitu – kayak orang lagi kampanye saja.
Kiwir: Nah, justru itu Bung. Kalau itu dilakukan saat
kampanye, itulah pencitraan; seolah-olah peduli pada rakyat, tapi nanti kalau
sudah terpilih jadi gubernur justru lupa pada rakyatnya. Ingat gak lelucon saat
pemilu legislatif dulu, tentang bedanya pil KB dan ‘pil-leg’?
Misro: Oh iya. Ingat. Bedanya, kalau pil KB ketika ‘lupa’
bisa ‘jadi’, kalau pil-leg kalau sudah ‘jadi’ terus ‘lupa’… Bisa aja Bang Kiwir
ini…
Kiwir: Nah itu. Jokowi melakukan itu justru untuk
menunjukkan kepeduliannya pada rakyat, bukan pencitraan.
Misro: Maksudnya? Kiwir menjentikkan abu rokoknya. Tersenyum sebentar, lalu
melanjutkan.
Kiwir: Begini. Kegiatan Jokowi itu bukti bahwa setelah
terpilih jadi gubernur ia tidak lupa. Ia tetap mikirin kepentingan rakyat.
Jokowi bukan membangun citra, Bung Misro. Ia membangun reputasi, ‘nama baik’
sebagai pemimpin yang memang ‘care’ pada rakyat banyak. Berkat kepedulian
gubernurnya sekarang kita bisa lihat sudah dua jutaan warga tak mampu Jakarta
yang terdaftar dalam program KJS. Mereka kan senang, Bung, bisa dapat layanan
kesehatan gratis di puskesmas, rawat inap kelas III dan IGD.
Misro: IGD apaan sih Bang?
Kiwir: Itu singkatan Instalasi Gawat Darurat, bagian rumah
sakit untuk menangani kegawatan seperti kecelakaan atau tindakan medis yang
mendesak.
Misro: Tapi, saya pikir daripada sibuk begitu, bukankah
lebih baik Jokowi melobi Kementerian Kesehatan, biar kuota pembayaran untuk
rumah sakit bisa meningkat?
Kiwir: Ah, soal kuota pembayaran, atau konsekuensi yang
muncul ‘kan bisa dibicarakan dalam beberapa minggu atau bulan mendatang. Tetapi
kalau rakyat sakit sekarang, apa harus menunggu beberapa minggu? Keburu
penyakitnya gawat dong…
Misro: Tapi, kenapa kesannya Jokowi ingin cari popularitas?
Kiwir: Itu kan persepsi sebagian anggota DPRD saja. Itu kan
abstrak, dan bisa beda antara satu orang dengan orang lainnya. Buktinya, yang
ngotot mau interpelasi toh hanya sebagian kecil saja…
Misro mengerenyitkan dahi, seperti orang berpikir serius…
Ia menyeruput kopinya.
Misro: Tahan dulu Bang. Tadi Bang Kiwir bilang, persepsi
itu abstrak. Maksudnya gimana?
Kiwir: Persepsi itu ada di benak manusia – sesuatu yang
abstrak, atau absurd, tapi bisa kita rasakan. Bahkan bisa dianalisa dan
disiasati. Orang yang tidak suka pada seorang pemimpin bisa merekayasa agar
rakyat mempersepsi pemimpin itu jelek. Tapi kalau Jokowi, saya yakin ia
dipersepsi sangat baik oleh sebagian besar rakyat Jakarta. Ia sederhana seperti
rakyat kebanyakan. Mungkin ia bukan orang yang sangat pintar, tetapi jelas ia
dipersepsi sebagai pemimpin yang punya empati besar pada masyarakat. Itu
sebabnya reputasinya bagus. Reputasi ya Bung, bukan citra.
Misro: Jadi, Jokowi sendiri secara tidak langsung mengolah
persepsi rakyat agar reputasinya bagus?
Kiwir: Betul. Politisi, sebagaimana praktisi public
relations, bisa mengolah hubungan jangka panjang dengan audience-nya, dalam hal
ini rakyat Jakarta, lewat berbagai program yang tujuan akhirnya adalah
meningkatkan reputasinya.
Misro: Apa manfaatnya buat Jokowi, Bang?
Kiwir: Makin bagus reputasi seseorang, maka publiknya makin
mudah dibujuk, dan tidak sensitif lagi terhadap ’pengorbanan’ atau harga tinggi
yang harus dibayar. Sehingga jika Pemda DKI mau bikin macam-macam rencana baru,
misalnya, maka rakyat tidak keberatan, karena mereka sadar bahwa gubernurnya
baik, mikirin rakyat. Mereka jadi sadar, anu.. maksud saya, mereka mempersepsi
Pemda DKI sebagai ’melakukan itu demi rakyat’.
Misro: Jadi kalau harus digusur atau dipindahkan, rakyat
gak nolak? Gitu?
Kiwir: Benar. Persepsi kita sangat menentukan bagaimana
kita melihat dunia, atau bagaimana kita menyikapi apa yang ada di hadapan kita.
Secara mikro, persepsi mengontrol pesan yang disampaikan oleh panca indera kita
ke otak. Dari situlah muncul pikiran – sesuatu yang sering dikatakan ’mind’
atau kognitif kita, tentang ’sesuatu’, atau sebuah ’nilai’ mengenai suatu
keadaan, sebuah produk, seorang tokoh atau sebuah partai politik.
Misro: Wah, hebat. Bang Kiwir ini ilmiah banget... Terus?
Kiwir: (sambil tersenyum) Setiap’brand’, entah itu nama
sebuah produk atau seorang tokoh politik, umpamanya, mesti dikelola agar
’pesan-pesan’ yang dikomunikasikannya bisa dipersepsi oleh publiknya sebagai
’bagus’. Artinya nilai ’brand’ itu tinggi.
Misro: Jadi persepsi itu penting ya?
Kiwir: Sangat penting. Sebab, pada kenyataannya apa yang
dipersepsi konsumen atau pasar, atau rakyat Jakarta dalam kasus Jokowi kita
ini, lebih penting dari ’kenyataan’ yang ada. Karena berhasil mengubah persepsi
khalayak, brand seperti Mercedes dan Samsung bisa sukses.
Misro: Jadi, apa yang dipersepsi publik mengenai seorang
tokoh atau sebuah partai politik menentukan apakah ia akan dipilih dalam pemilu
yang diikutinya? Lalu, apa bedanya dengan pencitraan?
Kiwir: Beda, Bung. Pencitraan alias image bersifat dangkal
dan tidak murni. Seperti gincu atau bedak cewek yang berdandan sebelum ke
pesta, ia hanya berlangsung untuk jangka pendek di mata salah satu pemangku
kepentingan saja. Sedangkan reputasi harus dibangun dalam jangka panjang.
Misro: Jadi, reputasi adalah karakter yang konsisten dalam
sebuah brand ya? Kalau begitu, ia jadi aset paling berharga dong, Bang?
Kiwir: Benar. Reputasi itu adalah gabungan
kebiasaan-kebiasaan -- atau personality – brand tertentu yang dilihat oleh mata
seluruh khalayaknya, atau, dalam kasus Jokowi, oleh seluruh lapisan masyarakat
di Jakarta ini.
Misro: Jadi, bisakah kita katakan bahwa image merupakan apa
yang ‘dikatakan’ sebuah produk atau seorang tokoh, sedangkan reputasi muncul
dari berbagai pengalaman pribadi dan ‘apa kata orang’ lain mengenai brand itu?
Kiwir: Tepat. Nah, ternyata Bung Misro pintar sekali.
Memang segala yang dikatakan orang -- atau istilahnya ‘words of mouth’ -- yang
muncul tentang brand itu adalah reputasi.
Misro: Dengan kata lain, pencitraan bisa disiasati ya;
sedangkan reputasi harus diraih?
Kiwir: Persis. Itu sebabnya reputasi harus dibuktikan
melalui apa yang dilakukan brand atau sang tokoh, dan memerlukan hubungan
jangka panjang antara dirinya dengan berbagai khalayak luas. Seorang tokoh
seperti Jokowi, sebuah partai politik atau sebuah ‘brand’ produk boleh saja
sibuk dengan ‘pencitraan’, tapi ia tidak akan bertahan lama. Kalau ingin unggul
dalam persaingan, ia mesti memupuk reputasi yang baik dalam periode yang panjang
dan terus menerus – sehingga dapat melicinkan jalan baginya untuk memperoleh
penerimaan dan pujian dari konstituen atau pasarnya.
Misro: Jadi, reputasi tidak datang secara kebetulan?
Kiwir: Tidak Bung. Ia berkait dengan kepemimpinan,
manajemen, cara organisasi itu beroperasi, kualitas produk atau kepribadian
seorang tokoh; dan – yang sangat penting – hubungan baik dengan pemangku
kepentingannya melalui komunikasi dua arah.
Ada senyap sejenak. Kiwir memperhatikan Misro yang
tiba-tiba tampak gelisah.
Misro: Sebentar Bang, ini ada sms dari isteriku. Gawat.
Katanya anakku baru saja dibawa ke dokter dekat rumah. Dia bilang anakku kena
usus buntu. Wah, gimana ya? Harus dioperasi segera, Bang. Aku gak punya duit...
Kiwir: Lho, Bung Misro kan gak perlu bayar... Sudah punya
KJS kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar