Sabtu, 01 Juni 2013

Keefektifan Mesin Partai

Keefektifan Mesin Partai
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 31 Mei 2013


MENURUT hitungan sementara, pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmiko, yang diusung partai tunggal PDIP, mencapai kemenangan besar dalam pilkada Jateng untuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2013-2018. Gubernur petahana Bibit Waluyo menyebut keberhasilan itu luar biasa dan menunjukkan bahwa rakyat Jateng ingin perubahan. Ada komentar bahwa kemenangan itu berkat keefektifan mesin partai dan bahwa Jateng memang daerah PDIP. Namun, ada catatan, antusiasme elektorat Jateng dalam menggunakan hak pilih untuk Pilkada 2013 tergolong rendah.

Keefektifan mesin partai berkaitan dengan kerja lembaga politik dalam mengorganisasikan diri. Namun, bagaimana pun hebatnya siasat dan taktik-taktik humas dan publisitas yang digunakan, hasilnya tergantung bagaimana anggapan publik tentang tokoh-tokoh yang maju dan partai atau partai-partai yang mengusungnya. Dengan kekisruhan kehidupan politik akhir-akhir ini, elektorat tak pelak lebih cermat mengikuti rekam jejak para calon atau pun partai-partai pendukung. Ada kemungkinan dalam keadaan tidak pasti, mereka memilih untuk tidak memilih. Mungkin itu menjelaskan mengapa ada gejala penggunaan hak pilih di sejumlah pilkada menurun.

Pengamat politik CSIS, J Kristiadi, dalam diskusi di Senayan awal minggu ini dengan tema Mengatasi apatisme publik terhadap partai politik, bahkan memperkirakan angka golput di kalangan pemilih pemula dalam Pemilu 2014 akan tinggi karena mereka belum menemukan partai politik yang cocok.
Mereka kecewa akan korupsi yang marak di kalangan sejumlah politikus terkemuka akhir-akhir ini.

Demokrasi terabaikan

Tidak menggunakan hak pilih bisa saja disebabkan alasan lain. Di negara-negara maju yang sistem demokrasinya relatif mapan--siapa pun calon-calon yang maju--antusiasme elektorat umumnya memang tidak sebesar di negara-negara berkembang yang masih bergairah mengadakan perubahan demi modernisasi dan perbaikan kehidupan dan penghidupan. Kemerosotan antusiasme sebelum proses perubahan yang terjadi merupakan sinyal buruk untuk proses demokrasi.

Sebenarnya kalangan cerdik-pandai mampu memainkan peran penting sebagai perantara yang menjembatani hubungan kalangan penguasa dan rakyat. Pikiran pikiran cerdas tentu dapat membantu menemukan solusi perbedaan pendapat dan kesenjangan sosial. Sayangnya, realitas dan pragmatisme politik tampaknya membuat partai-partai memilih mendesain siasat bagaimana mengumpulkan sebanyak mungkin suara elektorat. Notabene, faktanya banyak di antara mereka terdiri dari khalayak yang berpendidikan dan berpenghasilan belum memadai atau belum mafhum benar tentang sistem politik dan demokrasi. Politik uang juga tidak terhindarkan.

Selain itu, partai-partai politik seakan berlomba me ngerahkan orang-orang yang banyak dikenal publik untuk kepentingan humas dan publisitasnya. Sebenarnya tradisi memanfaatkan orang-orang terkenal sudah ada di masa Orde Baru. Namun, mereka bukan direkrut sebagai bacaleg. Dalam kampanye politik, misalnya, dulu para artis ataupun kalangan politikus bahkan para menteri dan pejabat-pejabat tinggi lain diminta turun ke lapangan. Sebagian memberi hiburan, lain-lainnya menjelaskan visi, misi ataupun platform partai.

Bagaimana watak bangsaku?

Apa yang membuat segolongan petinggi di negeri ini terobsesi korupsi? Bahwa politik membutuhkan dana luar biasa, itu fakta. Di negara-negara yang sudah jauh lebih maju pun sama. Namun, pengumpulan dana besar yang dilakukan dengan korupsi dan terkesan direstui patut kita prihatinkan. Falsafah luhur negara agaknya kehilangan pesona.

Di zaman yang berubah demikian cepat, rumit, dan ruwet dengan gelombang globalisasi yang menggairahkan sekaligus mencemaskan, sayangnya, pendidikan politik kurang. Itu antara lain karena kita tidak banyak memiliki tokoh teladan seperti pada awal-awal kemerdekaan. Padahal, justru sekarang ini kita seharusnya memiliki tokohtokoh idealis atau utopis yang mengimpikan terciptanya masyarakat sempurna seperti yang diimpikan para pendiri negeri ini.

Budayawan dan wartawan senior Goenawan Mohamad pernah mengatakan, “Maklum, di mana-mana kita melihat mentalitas bayaran: orangorang politik, birokrat dan pejabat, ahli ilmu dan wartawan. Tapi apakah itu memang sifat bangsa kita? Saya kira tidak. Saya kira itu sifat dari setiap bangsa pada saat mereka baru saja menyaksikan hasil-hasil sebuah perekonomian yang bergerak, tapi tak punya kesempatan untuk mempersoalkan benar tidaknya mentalitas bayaran itu.”
Menengok ke negara Asia lainnya, Jepang bisa menjadi kiblat karena dia berhasil mencontohkan dirinya sebagai peraih sukses luar biasa dalam membangun negara: dari negara porak-poranda oleh perang dunia menjadi salah satu negara termaju di dunia.

Bekal apa yang dimiliki bangsa Jepang? Konon jawabannya adalah ‘watak bangsa’. Penulis Inazo Nitobe dalam Bushido, the Soul of Japan memberikan hipotesis: Jepang memiliki kemampuan untuk maju karena didorong semangat Bushido, kode etik kesatria. Arti harfi ah Bushido: perilaku militer bangsawan-perilaku para kesatria dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menjalankan tugas: noblesse oblige.

Bushido tumbuh dan berkembang selama ratusan tahun dari berbagai ajaran agama dan kepercayaan, termasuk ajaran-ajaran Confucius, Mencius, dan Buddha. Confucius, misalnya, mengajarkan agar penganutnya patuh kepada orangtua atau penguasa agar penguasa atau pemimpin selalu menjadi suri teladan dan agar semuanya mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.


Ajaran Mencius antara lain mengajarkan asas demokrasi. Ajaran Buddha memberikan keyakinan kepada penganutnya bahwa manusia tidak bisa mengingkari takdir. Berbeda dengan kita, bangsa Jepang ditakdirkan hidup di gugusan pulau yang tidak kaya akan sumber alam. Lalu bagaimana Jepang mampu menjaga kelangsungan hidup dan berkembang pesat dengan bekal yang ada? Apakah kebudayaan dan watak bangsa mendukung? Pertanyaan untuk direnungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar