|
MEDIA INDONESIA, 31 Mei 2013
MENURUT hitungan sementara,
pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmiko, yang diusung partai tunggal PDIP,
mencapai kemenangan besar dalam pilkada Jateng untuk jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur periode 2013-2018. Gubernur petahana Bibit Waluyo menyebut keberhasilan
itu luar biasa dan menunjukkan bahwa rakyat Jateng ingin perubahan. Ada
komentar bahwa kemenangan itu berkat keefektifan mesin partai dan bahwa Jateng
memang daerah PDIP. Namun, ada catatan, antusiasme elektorat Jateng dalam
menggunakan hak pilih untuk Pilkada 2013 tergolong rendah.
Keefektifan mesin partai berkaitan dengan kerja lembaga
politik dalam mengorganisasikan diri. Namun, bagaimana pun hebatnya siasat dan
taktik-taktik humas dan publisitas yang digunakan, hasilnya tergantung
bagaimana anggapan publik tentang tokoh-tokoh yang maju dan partai atau
partai-partai yang mengusungnya. Dengan kekisruhan kehidupan politik
akhir-akhir ini, elektorat tak pelak lebih cermat mengikuti rekam jejak para
calon atau pun partai-partai pendukung. Ada kemungkinan dalam keadaan tidak
pasti, mereka memilih untuk tidak memilih. Mungkin itu menjelaskan mengapa ada
gejala penggunaan hak pilih di sejumlah pilkada menurun.
Pengamat politik CSIS, J Kristiadi, dalam diskusi di
Senayan awal minggu ini dengan tema Mengatasi apatisme publik terhadap partai
politik, bahkan memperkirakan angka golput di kalangan pemilih pemula dalam
Pemilu 2014 akan tinggi karena mereka belum menemukan partai politik yang
cocok.
Mereka kecewa akan korupsi yang marak di kalangan sejumlah politikus terkemuka akhir-akhir ini.
Mereka kecewa akan korupsi yang marak di kalangan sejumlah politikus terkemuka akhir-akhir ini.
Demokrasi
terabaikan
Tidak menggunakan hak pilih bisa saja disebabkan alasan
lain. Di negara-negara maju yang sistem demokrasinya relatif mapan--siapa pun
calon-calon yang maju--antusiasme elektorat umumnya memang tidak sebesar di
negara-negara berkembang yang masih bergairah mengadakan perubahan demi
modernisasi dan perbaikan kehidupan dan penghidupan. Kemerosotan antusiasme
sebelum proses perubahan yang terjadi merupakan sinyal buruk untuk proses
demokrasi.
Sebenarnya kalangan cerdik-pandai mampu memainkan peran
penting sebagai perantara yang menjembatani hubungan kalangan penguasa dan
rakyat. Pikiran pikiran cerdas tentu dapat membantu menemukan solusi perbedaan
pendapat dan kesenjangan sosial. Sayangnya, realitas dan pragmatisme politik
tampaknya membuat partai-partai memilih mendesain siasat bagaimana mengumpulkan
sebanyak mungkin suara elektorat. Notabene, faktanya banyak di antara mereka
terdiri dari khalayak yang berpendidikan dan berpenghasilan belum memadai atau
belum mafhum benar tentang sistem politik dan demokrasi. Politik uang juga
tidak terhindarkan.
Selain itu, partai-partai politik seakan berlomba me
ngerahkan orang-orang yang banyak dikenal publik untuk kepentingan humas dan
publisitasnya. Sebenarnya tradisi memanfaatkan orang-orang terkenal sudah ada
di masa Orde Baru. Namun, mereka bukan direkrut sebagai bacaleg. Dalam kampanye
politik, misalnya, dulu para artis ataupun kalangan politikus bahkan para
menteri dan pejabat-pejabat tinggi lain diminta turun ke lapangan. Sebagian
memberi hiburan, lain-lainnya menjelaskan visi, misi ataupun platform partai.
Bagaimana watak
bangsaku?
Apa yang membuat segolongan petinggi di negeri ini
terobsesi korupsi? Bahwa politik membutuhkan dana luar biasa, itu fakta. Di
negara-negara yang sudah jauh lebih maju pun sama. Namun, pengumpulan dana
besar yang dilakukan dengan korupsi dan terkesan direstui patut kita
prihatinkan. Falsafah luhur negara agaknya kehilangan pesona.
Di zaman yang berubah demikian cepat, rumit, dan ruwet dengan
gelombang globalisasi yang menggairahkan sekaligus mencemaskan, sayangnya,
pendidikan politik kurang. Itu antara lain karena kita tidak banyak memiliki
tokoh teladan seperti pada awal-awal kemerdekaan. Padahal, justru sekarang ini
kita seharusnya memiliki tokohtokoh idealis atau utopis yang mengimpikan
terciptanya masyarakat sempurna seperti yang diimpikan para pendiri negeri ini.
Budayawan dan wartawan senior Goenawan Mohamad pernah
mengatakan, “Maklum, di mana-mana kita
melihat mentalitas bayaran: orangorang politik, birokrat dan pejabat, ahli ilmu
dan wartawan. Tapi apakah itu memang sifat bangsa kita? Saya kira tidak. Saya
kira itu sifat dari setiap bangsa pada saat mereka baru saja menyaksikan
hasil-hasil sebuah perekonomian yang bergerak, tapi tak punya kesempatan untuk
mempersoalkan benar tidaknya mentalitas bayaran itu.”
Menengok ke negara Asia lainnya, Jepang bisa menjadi kiblat
karena dia berhasil mencontohkan dirinya sebagai peraih sukses luar biasa dalam
membangun negara: dari negara porak-poranda oleh perang dunia menjadi salah
satu negara termaju di dunia.
Bekal apa yang dimiliki bangsa Jepang? Konon jawabannya
adalah ‘watak bangsa’. Penulis Inazo Nitobe dalam Bushido, the Soul of Japan memberikan hipotesis: Jepang memiliki kemampuan
untuk maju karena didorong semangat Bushido, kode etik kesatria. Arti harfi ah
Bushido: perilaku militer bangsawan-perilaku para kesatria dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam menjalankan tugas: noblesse
oblige.
Bushido tumbuh dan berkembang selama ratusan tahun dari
berbagai ajaran agama dan kepercayaan, termasuk ajaran-ajaran Confucius,
Mencius, dan Buddha. Confucius, misalnya, mengajarkan agar penganutnya patuh
kepada orangtua atau penguasa agar penguasa atau pemimpin selalu menjadi suri
teladan dan agar semuanya mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi.
Ajaran Mencius antara lain mengajarkan asas demokrasi.
Ajaran Buddha memberikan keyakinan kepada penganutnya bahwa manusia tidak bisa
mengingkari takdir. Berbeda dengan kita, bangsa Jepang ditakdirkan hidup di
gugusan pulau yang tidak kaya akan sumber alam. Lalu bagaimana Jepang mampu
menjaga kelangsungan hidup dan berkembang pesat dengan bekal yang ada? Apakah
kebudayaan dan watak bangsa mendukung? Pertanyaan untuk direnungkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar