|
SINAR HARAPAN, 31 Mei 2013
Prasangka
korupsi dalam kasus kuota impor sapi, yang melibatkan petinggi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) memicu wacana “radikal” pembubaran partai, apabila bisa
dibuktikan ada aliran dana korupsi ke kas partai.
Parpol
dalam UU Tipikor secara prinsip didefinisikan sebagai korporasi. Korporasi yang
tersangkut korupsi bisa dibubarkan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi.
Praktik
korupsi yang menimpa parpol bukan hanya dialami elite PKS. Mayoritas partai,
kaukus elitenya pernah atau sedang terjebak kasus korupsi, pungli, upeti, dan
modus penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki.
Korupsi
berjemaah yang dilakukan elite partai dan ditengarai untuk kepentingan biaya
(modal) partai disebabkan iklim biaya politik tinggi di dalam demokrasi yang
berwatak liberal saat ini.
Parpol
meskipun memiliki aset sumber daya manusia yang besar yang terdiri dari kader
dan simpatisan partai, harus diakui tidak optimal dalam menggali sumber dana
internal.
Iuran
anggota partai tidak maksimal demikian juga dengan sumbangan kader dan
simpatisan begitu minim. Hal tersebut harus diakui sebagai wujud kelemahan
parpol di Indonesia yang masih tergantung figur dan relasi korporatif dengan
pemodal yang dikenal sebagai cukong politik.
Agenda
parpol yang reguler dan semakin padat menjelang pemilu membutuhkan ongkos
politik yang besar. Parpol tidak mampu mencukupi kebutuhan anggaran yang besar
tersebut melalui “arisan” atau iuran anggota.
Diperparah
lagi karakter partai primordial, yang mengutamakan relasi tokoh dan massa,
menciptakan ketergantungan massa (kader dan simpatisan) pada peran
kepemimpinan. Termasuk peran dalam menggali sumber dana politik.
Modus
praktis penggalian dana partai – di mana banyak partai yang tidak memiliki
mekanisme iuran anggota secara ajek- adalah melalui kerja sama dengan pemilik
modal besar, yang ditarik masuk dalam struktur kepengurusan partai.
Harus
jujur diakui kader partai yang menjadi anggota parlemen atau pejabat publik
(menteri, bupati/wali kota, gubernur) selama ini menjadi tulang punggung partai
dalam penggalian dana. Mereka mengemban amanah untuk mencukupi modal bagi
partai yang mengusungnya. Entah dengan memanfaatkan posisi atau membangun
relasi nonposisional.
Hal
inilah yang menjadi faktor penyebab ketidakmandirian partai politik dalam sisi
pendanaan. Parpol tidak memiliki basis pendanaan yang memadai untuk menggerakkan
roda organisasi dan program kerja partai. Apalagi jika berhubungan dengan
aktivitas penggalangan massa menjelang momen politik internal dan kompetisi
demokratik.
Bergantung
Tokoh
Iklim
keterbukaan demokrasi multipartai menciptakan ruang ekspresi bagi masyarakat
dan elite sosial untuk membentuk parpol. Demikian dengan partai tradisional
yang telah eksis semenjak era Orde Baru kini lebih leluasa mengembangkan
sayap-sayap kepentingan politiknya.
Partai-partai
yang terbentuk sebagai dampak friksi politik atau partai yang dibangun oleh
kaukus elite pada umumnya bergantung kepada tokoh atau figur politik yang
memiliki aset dan akses sumber finansial yang kuat.
Taruhlah
Partai Nasdem sangat lekat dengan “taipan media” Surya Paloh, Partai Gerindra
sangat erat dengan nama Prabowo Subianto yang memiliki jaringan bisnis minyak.
Sementara itu, partai-partai yang lain sangat dekat dengan figur yang memiliki
kekuatan modal finansial. Partai sangat membutuhkan pemodal. Dalam bahasa
Jefrey Winters, partai bersimbiosis dengan konglomerasi.
Realitas
demikian yang menyebabkan parpol yang eksis dan siap berkompetisi dalam pemilu
tidak mandiri dan tidak mampu mengoptimalkan sumber dana internalnya. Sangat
bertolak belakang dengan apa yang dinamakan idealitas kemandirian partai.
Idealitas
kemandirian partai politik memiliki makna dan mandat sebagai berikut:
Pertama, Partai
memiliki ideologi yang teguh dipegang prinsipnya dan dijabarkan dalam
program-program aktual partai sesuai kepentingan objektif anggota. Ideologi
partai tersebut diaktualisasikan secara konsisten dalam tindakan para kader dan
simpatisannya. Ideologi adalah prinsip dan keyakinan untuk membangun kondisi
masyarakat yang lebih baik dan berubah dari keadaan yang buruk. Ideologi
menjadi way of life bagi kader serta simpatisan.
Jika
ada partai politik yang konon memegang teguh ideologi yang dekat dengan
kejujuran, amanah Illahi namun perilaku kader dan pengurusnya koruptif maka hal
tersebut sesuatu yang paradoks.
Kedua,
Partai memiliki program kerja yang mandiri sesuai kepentingan anggota dan
bukannya memiliki program yang diintervensi oleh kepentingan dari luar yang
memiliki modal besar. Ketiga, Partai dalam sikap politiknya tidak didikte atau
dikendalikan oleh kekuatan dari luar partai yang lebih hegemonik. Jadi, partai
memiliki asas organisasi yang dijalankan atas keputusan anggota.
Keempat, Parpol
mampu menghidupi dirinya sendiri melalui pengumpulan dana yang bersumber dari
iuran anggota dan kader, atau sumbangan yang “bersih dan akuntabel” yang tidak
mengikat secara politis.
Terbongkarnya
skandal korupsi proyek wisma atlet yang menyeret kader utama Partai Demokrat,
serta skandal kuota impor sapi yang menjebloskan petinggi PKS menjadi tersangka
kasus korupsi menjadi bukti bahwa partai-partai politik di Indonesia semakin
jauh dari kemandirian.
Partai-partai
politik yang kini menduduki kursi parlemen dan pemerintahan, tidak saja gagal
membangun kemandirian dalam sisi pendanaan untuk agenda dan program partai,
namun tidak mampu memodernisasi dalam fungsi politiknya.
Seharusnya
partai yang mulai mampu memodernisasi fungsi adalah ketika mampu melakukan
edukasi, konsolidasi dan meningkatkan soliditas dukungan kader-simpatisan
terhadap eksistensi partai dalam mengarungi rivalitas politik. Partai yang
modern tidak lamban dalam menggali sumber daya, sumber dana untuk mencukupi
kebutuhan organisasi.
Fungsi
modern partai terkait dengan edukasi politik, sosialisasi program seharusnya
mendatangkan ruang untuk menggali sumber dana dari kader-anggota-simpatisan.
Parpol juga bisa membangun jaringan usaha kolektif yang dikelola atas nama
partai untuk kepentingan bersama.
Hal
ini dilakukan oleh partai-partai yang mampu mengimplementasikan hakikat
kepartaian. Untuk hal demikian seharusnya partai-partai politik meresapi apa
yang pernah dinyatakan Sjahrir (1946): “Partai itoe haroes hidoep oleh
dirinja sendiri. Jangan tergantung pada mereka yang punya niat boesoek.”
Semoga
kemandirian partai ke depannya bukan sekadar imaji, sehingga partai bukan alat
korupsi namun berperan dalam membangun sikap berdikari. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar