|
MEDIA INDONESIA, 31 Mei 2013
DEMOKRASI, kata Robert A Dahl
(1991) merupakan suatu sistem politik yang kompleks dan rumit. Baginya,
demokrasi memerlukan kerja nyata, sistem politik yang baik dan konsisten serta
ditopang aktor yang memiliki kualitas dan integritas. Pengabaian terhadap
nilai-nilai tersebut membuat demokrasi ibarat menyusuri lorong gelap penuh
ketidakpastian.
Rekrutmen calon anggota legislatif merupakan momentum
penting untuk menumbuhkan demokrasi sehingga prosesnya harus dilandaskan pada
sistem yang rasional, terbuka, dan partisipatif. Sayangnya, parpol mengabaikan
soal ini seperti terlihat dari dominasi artis, pengusaha, dan kerabat dalam
daftar calon wakil rakyat. Wajar jika publik mencemaskan kualitas parlemen
periode 2014-2019.
Kenyataan itu menyiratkan bahwa parpol belum sepenuhnya
menjadi kekuatan penopang demokrasi. Bukannya bersikap kritis, parpol justru
membuka pintu lebar-lebar bagi pemburu kekuasaan dan kemewahan pribadi. Parpol
berlomba menawarkan kemudahan berupa nomor urut kecil, dapil strategis, dan
sogokan uang hingga miliaran rupiah. Parpol juga gesit merayu dan menebar
undangan terbuka bagi figur-figur potensial untuk direkrut jadi wakil rakyat.
Persyaratan kompetensi dan komitmen kader tergusur oleh popularitas dan
tumpukan uang. Pragmatisme kekuasaan melabrak prinsip rasionalitas, asas
kepatutan dan masa depan demokrasi.
Problem
kaderisasi
Menurut Pater Beek, SJ (2008:192) kader adalah orang yang
bisa menggetar kan dunia karena mampu menawarkan perubahan. Kader terlibat
dalam tindakan nyata dan senantiasa berjuang untuk kebaikan bersama. Mereka
berani mengambil risiko, tanpa rasa takut, termasuk mengorbankan kepentingan
diri.
Rasa takut melemahkan bahkan melumpuhkan, sehingga gagal menuntun seorang kader menjadi pemimpin yang baik.
Rasa takut melemahkan bahkan melumpuhkan, sehingga gagal menuntun seorang kader menjadi pemimpin yang baik.
Parpol modern bertumpu pada kekuatan kader. Kader merupakan
tenaga inti dan penggerak parpol karena menjadi sum ber ide, gagasan, dan
inovasi.
Kader adalah insan teruji dan terpuji karena kapasitas intelektual, integritas,
dan loyalitasnya. Kualitas kader merupakan syarat utama bagi mekarnya harapan
publik bahwa partai politik meru pakan bagian dari solusi terhadap berbagai
persoalan kebangsaan.
Kader berkualitas hanya tumbuh jika parpol serius menangani
kaderisasi. Kaderisasi memainkan peran eksistensial karena agenda ini berperan
penting untuk menyiapkan embrio-embrio pemimpin yang mampu mendinamisasi dan
memajukan partai. Kaderisasi menggaransi lahirnya calon pemimpin yang memiliki
wawasan luas tentang ideologi, semangat kebangsaan, politik, demokrasi,
kepemimpinan, pembangunan, otonomi daerah dan sebagainya.
Ironisnya, agenda sepenting ini kurang mendapat perhatian
serius dari parpol. Kalaupun kaderisasi diagenda kan, tapi biasanya tidak
dilandasi pe rencanaan yang rasional, cenderung asal jadi dan dangkal.
Kurikulum pendidikan kaderisasi tidak disusun secara baik sehingga kurang mampu
membekali kader dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Bahkan banyak
parpol yang memandang kaderisasi ibarat mempersiapkan pekerja bengkel, cukup
dengan pendidikan dan pelatihan singkat.
Terabaikannya agenda kaderisasi ini membuat parpol miskin
kader yang memiliki kualitas, loyalitas, dan militansi. Sulit rasanya parpol
mengharapkan munculnya kader dengan kapasitas yang bisa diandalkan jika
sejarah, ideologi, dan visi partai tidak mereka pahami. Sama halnya mustahil
bagi seorang kader untuk mendorong demokrasi dan pembangunan jika konsep-konsep
dan strateginya tidak pernah dipelajari secara benar. Dengan kata lain,
pengabaian terhadap agenda kaderisasi merupakan akar persoalan yang membuat
parpol gagal melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas dan berintegritas sebagai
komponen pokok da lam memajukan demokrasi.
Perketat
rekrutmen
Rekrutmen memainkan fungsi sentral dari sistem politik
sekaligus menjadi indikator berfungsi tidaknya parpol dalam menyiapkan
kader-kader dan menyebarkan pengaruh politik kepada publik. Jason dan Gable
dalam Political Development and Social
Change (1996) menyatakan bahwa rekrutmen politik merupakan jalan untuk
mewujudkan perubahan sosial.
Rekrutmen politik berfungsi untuk mendorong transformasi
seseorang dari status nonpolitik menjadi aktor politik. Aktor politik hanya
bisa berperan optimal jika terbebas dari beban kepentingan pribadi. Mereka
harus dijauhkan dari potensi-potensi conflict
of interest.
Rekrutmen politik juga bermakna sebagai mekanisme seleksi
dan penugasan kader untuk memainkan peran spesifik di bidang politik. Itu berarti,
kader menjadi duta parpol di arena publik. Kader harus mampu menerjemahkan
ideologi dan visi parpol dalam tindakan konkret dengan senantiasa menjunjung
tinggi profesionalisme dan etika publik. Kegagalan kader dalam mengemban peran
dan tanggungjawabnya akan berdampak pada merosotnya legitimasi parpol di mata
publik.
Jika demikian, rekrutmen politik menyongsong Pemilu 2014
semestinya dilakukan secara ketat dengan membuka ruang bagi partisipasi publik.
Parpol harus mampu membangun sistem rekrutmen yang lebih berorientasi
kualitatif dengan menempatkan kapasitas intelektual, kompetensi keahlian, dan
totalitas pengabdian sebagai persyaratan pokok. Tradisi rekrutmen yang lebih
menonjolkan aspek senioritas, koneksi, dan popularitas sudah saatnya
ditinggalkan. Langkah ini efektif untuk mendongkrak legitimasi parpol di mata
publik sekaligus membuat demokrasi semakin realistis diharapkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar