Jumat, 21 Juni 2013

Iran Era Hasan Rowhani

Iran Era Hasan Rowhani
Jennie S Bev ;   Pengamat Globalisasi dan Kolumnis yang bermukim di California
TEMPO.CO, 20 Juni 2013


Presiden Iran terpilih yang dikenal moderat, Hasan Rowhani, menjanjikan transparansi atas program nuklir mereka. Ia juga menjanjikan pemulihan hubungan baik dengan Barat, terutama AS, dengan harapan sanksi-sanksi ekonomi, perdagangan, sains, dan militer bisa dicabut. Ia juga mengatakan bahwa Iran punya hak atas tenaga nuklir dan ini akan dipegangnya dengan teguh, sepanjang tidak melanggar hukum dan konvensi internasional.

Namun Rowhani mempunyai keterbatasan. Iran, yang merupakan negara teokrasi, menempatkan para ulama di bawah pimpinan Ayatollah Ali Khamenei sebagai pemegang keputusan akan kebijakan-kebijakan nuklir, pertahanan, dan hubungan luar negeri. Para ulama ini dilindungi oleh Pengawal Revolusi. Kemoderatan Rowhani memang merupakan angin segar bagi Barat dan dunia internasional, namun bisa jadi merupakan bumerang dan berupa noise saja. Bagaimana Rowhani mengimbangi kekuatan para ulama, ini masih perlu kita tunggu.

Terminologi “Barat” di sini dipakai untuk menunjuk P5 plus 1, yang termasuk Cina, Rusia, Jerman, Prancis, Inggris Raya, Uni Eropa, dan AS. Terminologi ini tidak digunakan untuk menunjuk dunia internasional keseluruhan dengan 120 negara anggota Gerakan Tanpa Aliansi (Non-Aligned Movement).
Bahwa Iran punya niat untuk menggunakan tenaga nuklirnya untuk kepentingan penyerangan bom, sesungguhnya ini masih merupakan spekulasi. Catatan sejarah menunjukkan bahwa semestinya Iran punya niat damai dengan tenaga nuklirnya. Melalui tangan Shah, Iran merupakan salah satu penanda tangan (signatoris) kesepakatan Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) pada 1 Juli 1968.

Terhitung pada 1979, Iran sudah punya program tenaga nuklir sipil dengan dua reaktor di Bushehr di Gulf Persia. Tidak lama kemudian, Iran mengalami revolusi, sehingga Iran dan AS bukanlah lagi aliansi yang akrab. Sebelum Revolusi Iran tahun 1979, AS mempunyai tiga alasan untuk beraliansi dengan Iran: suplai energi minyak bumi, dukungan Iran bagi Israel, dan mempromosikan demokrasi serta kebebasan.

Sebelum revolusi tersebut, Iran merupakan pendukung Israel. Pada masa itu pula, Ayatollah Ali Khamenei merupakan oposisi politik Shah yang pernah dikirim ke pengasingan di bawah pengawasan AS dan Shah. Kebangkitan tradisi Syiah dengan tradisi agama yang kuat memutarbalikkan kekuasaan atas proksi yang selama ini dipegang Shah. AS mengalami pukulan politis.

Kekuatan politik Syiah sebagai pembela yang lemah dan terinjak bertentangan dengan para aliansi di Teluk. Saddam Hussein, misalnya, dikenal boros dan bergaya hidup mewah. Para ulama Syiah memegang nilai-nilai kesederhanaan. Namun tentu saja ini bukan ukuran yang sahih mengenai kemungkinan penggunaan tenaga nuklir untuk merebut kekuasaan dunia. Ini hanya sebagai ilustrasi perbedaan cara pandang dan hubungan antara pemegang kekuasaan atas energi minyak dan pengelola sumber daya bagi kepentingan nasional alias “rakyat.”

Sekitar satu setengah tahun Revolusi Iran, Irak menyerang Iran. Perang Iran-Irak berlangsung selama delapan tahun. Irak dan para penguasa aristokrat negara-negara Teluk memandang Khamenei sebagai “pemberontak.” Selama Perang Iran-Irak, AS memihak Irak. Di sini dimulai posisi AS sebagai anti Iran. Dalam masa dan konteks ini pula, Iran membentuk aliansi dengan Hizbullah di Libanon dan Hamas di Gaza. Semakin “buruk”-lah Iran di mata AS.

Pembekuan aset Iran semasa Revolusi Iran oleh Presiden Jimmy Carter dengan Executive Order pada November 1979 membekukan US$ 12 miliar. Dengan invasi Iran oleh Irak pada 1984, AS meningkatkan sanksi terhadap Iran dengan pelarangan penjualan senjata dan segala macam bantuan AS. Presiden Ronald Reagan melarang ekspor dan impor perdagangan dari dan ke Iran.

Pasca 9/11 tahun 2001, Iran mengajukan diri untuk membantu AS menumpas Al-Qaidah, yang disaksikan oleh Hillary Mann, seorang US Representative di gedung PBB di Kota New York. Namun, menurut Peter Osborne dan David Morisson dalam A Dangerous Delusion: Why the West is Wrong about Nuclear Iran (Elliott and Thompson, Juni 2013), pemerintahan Bush tidak menanggapinya.

Menurut sumber yang sama, AS, melalui diplomat James Dobbins, yang memimpin delegasi AS pada 2001 Bonn Agreement on Afganistan pada 2002 dan 2003, Khamenei kembali mengajukan diri untuk bekerja sama soal perbedaan-perbedaan persepsi dalam program nuklir mereka dan membantu usaha perdamaian di Afganistan dan Irak. AS kembali menolak.

Kepentingan AS di masa lampau akan sumber daya minyak, ideologi demokrasi, dan dukungan Iran bagi Israel yang tidak terlaksana, tampaknya masih menjadi momok bagi hubungan antara Iran dan AS sampai sekarang. Juga ribetnya sanksi-sanksi ekonomi, perdagangan, sains, militer, dan bantuan merupakan salah satu benang kusut dari “masalah nuklir Iran” di mata AS.

Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) sendiri merupakan treaty yang unik. Para penanda tangan NPT terbagi atas dua kategori: negara-negara yang memiliki nuklir dan negara-negara yang tidak memiliki nuklir. Para pemilik nuklir sebelum 1 Januari 1967 adalah Cina, Prancis, Rusia, Inggris Raya, dan AS. Iran saat itu termasuk dalam kategori kedua. Dalam pasal ke-4 NPT tertulis, “..untuk meneruskan negosiasi dengan iktikad baik mengenai penanganan efektif dalam hal pelucutan nuklir….” Tidak ada batas waktu soal “pelucutan nuklir” ini yang merupakan legal loophole tersendiri.

Sampai saat ini, lima negara pemilik nuklir belum menghentikan program nuklir mereka dan negara-negara dalam kategori kedua tetap dilarang memiliki senjata nuklir. Pengecualian penggunaan nuklir untuk kepentingan sumber daya listrik diizinkan atas pengawasan International Atomic Energy Agency (IAEA). Negara-negara pemilik nuklir untuk kepentingan sumber daya listrik sekarang termasuk Jepang, Belanda, Argentina, Brasil, Jerman, dan Iran. Di samping itu, Israel dan India memiliki tenaga nuklir namun tidak (atau “belum”?) menandatangani NPT.

AS tidak ada masalah dengan lima negara pemilik nuklir lainnya plus Israel dan India, namun tidak demikian dengan Iran. Mengapa? Karena apabila Iran “diberi lampu hijau” untuk melanjutkan program nuklirnya, ini berarti AS menarik sanksi-sanksi yang diterapkan bagi Iran.

Indonesia sendiri, sebagai negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, menempati bumi yang sama. Bahwa Indonesia mempunyai hubungan relatif spesial dengan AS melalui Barack Obama dan hubungan “fraternitas” sesama muslim dengan Iran, hal itu belum mempunyai efek dalam konstelasi ini. Obama tampaknya masih melanjutkan “kebijakan” Bush soal “nuklir Iran”. Hillary Clinton pada Maret 2011 menyatakan bahwa Iran “mungkin” akan bisa melanjutkan program uraniumnya di masa mendatang sepanjang merespons harapan-harapan komunitas internasional.

Bisakah Hasan Rowhani memperbaiki hubungan Iran-AS sehingga program nuklir Iran tidak lagi dipandang 
sebagai “ancaman” bagi dunia? Ini merupakan salah satu proyek besar bagi Rowhani. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar