Jumat, 21 Juni 2013

Problematika Santet dan Kumpul Kebo

Problematika Santet dan Kumpul Kebo
JE Sahetapy ;   Guru Besar Emeritus
SINAR HARAPAN, 20 Juni 2013


Dewasa ini kita sedang memasuki abad digital dan penerbangan ruang angkasa. Namun ada yang berusaha memutar jam sejarah kembali ke masa sebelum abad pertengahan dengan menjadikan santet sebagai suatu perbuatan pidana atau kejahatan.

Kemudian ada anggota DPR yang mau melakukan ”studi santet” (?) ke Eropa. Sepanjang yang saya ketahui, santet hanya jadi problematika hukum di beberapa negara di Afrika dan di Kanada.

Bila santet mau dijadikan suatu perbuatan pidana, pertama-tama bagaimana merumuskan elementen (unsur) dan atau bestanddelen (bagian yang menentukan) menurut Prof Vrij kalau itu menyangkut santet, terlepas dari melatih kepolisian untuk menentukan ada tidaknya unsur-unsur perbuatan pidana santet.

Yang mengherankan saya dari hubungan kausal secara kriminologis dan viktimologis, mengapa si peminta/penganjur yang mendatangi tukang santet juga tidak ikut dituduh atau dipidana sebagai medepleger atau pelaku peserta.

Hal ini mengingatkan saya kepada larangan mengemudi mobil di jalan tertentu pada jam-jam tertentu. Yang ditindak polisi ternyata bukan pengemudi/pemilik mobil, melainkan mereka yang mencari uang dengan cara halal yang menyediakan diri sebagai ”penumpang gelap” untuk beberapa ribu rupiah. Secara mutatis mutandis itu juga berlaku untuk peminta agar orang tertentu disantet yang tidak dipidana, melainkan tukang santet yang dipidana.

Kalau santet itu benar, mengapa para koruptor dan pelaku/penjual narkoba tidak disantet saja sebagai jalan pintas. Sesungguhnya kalau dikaji secara kriminologis-viktimologis, problematika santet itu pada dasarnya hanyalah problematik ”penipuan” belaka. Bagi rakyat di akar rumput yang telanjur percaya pada soal-soal gaib, termakan isu balas dendam tanpa alasan rasional medis.

Problematika “kumpul kebo” adalah masalah setua budaya manusia. Di era primitif orang tidak mempersoalkan kumpul kebo, kecuali aturan-aturan tidak tertulis yang menyangkut adat tata tertib sosial kultural.

Di kala manusia mulai membangun komunitas dengan skala nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural masyarakat, orang mulai membedakan antara berzina, melacurkan diri, dan fornication. Ketika orang mulai menata norma hukum, berzina adalah istilah yang mencakup semua hubungan seksual yang tidak sah, baik yang sudah menikah atau yang belum.

Orang membedakan overspel, yaitu yang sudah menikah, lelaki atau perempuan, dengan yang belum atau sudah menikah dalam hal hubungan seksual yang tidak sah/resmi.

Beberapa abad yang lampau sampai sekarang, pelacuran dikenal sebagai bagian dari upacara/ritual “agama” tidak dalam arti seperti sekarang. Kini pelacuran dimaknai macam-macam termasuk gratifikasi seksual oleh KPK. Adapun fornication adalah hubungan seksual yang berlawanan seks atas dasar suka sama suka dari mereka yang belum kawin/menikah.

Dalam pengertian baku menurut agama mana pun, semua hubungan seksual yang tidak sesuai dengan ritual dan ketentuan-ketentuan agama dilarang. Lalu mengapa orang-orang yang terpelajar dan beragama resmi melakukan hubungan seks terlarang? Itu soal yang tidak akan dibahas di sini.

Namun bila ada yang mau memakai hukum pidana untuk menegakkan norma agama maka itu soal lain dan ini bukan negara agama. Apalagi kalau ada adat-adat tertentu yang mengizinkan ”kumpul kebo” untuk maksud-maksud tertentu di Indonesia.

Mereka yang tidak mampu untuk menyelenggarakan upacara perkawinan, adalah diskriminatif kalau dipidana dengan dalih kumpul kebo. Masyarakat yang belum mengenal aksara tetapi tunduk pada “sobural” adat jangan dipidana dengan dalih kumpul kebo.

Pejabat Daerah yang “kawin” entah dengan alasan atau dalih apa pun dan beberapa hari kemudian “menceraikan” istrinya itu, apakah juga mau diklasifikasi sebagai kumpul kebo atau sebagai apa? Di Jakarta, menurut gosip banyak pejabat kumpul kebo dengan nama mentereng berselingkuh. Sesungguhnya itu juga suatu bentuk pelacuran terselubung.

Kata orang Belanda: Hoe groter geest, hoe groter beest. Artinya makin tinggi status sosial atau makin pandai orang itu, makin tinggi kebinatangannya. Van Hamel, Guru Besar Hukum Pidana Belanda sebelum Perang Dunia II menulis (vide disertasi Sahetapy, 1978): Door slechte strafwetten kan het zedelijk leven van een volk worden vergifigd, de vrijheid gedood, de veiligheid vernietigd, de onschuld geofferd worden.

Artinya: melalui undang-undang pidana yang jelek maka kehidupan kesusilaan rakyat (dapat) diracuni, kebebasan dimatikan, keamanan dihancurkan, yang tidak bersalah dikorbankan. Camkan dan renungkan dengan etik yang bermoral! Jangan sampai buruk muka, cermin dihancurkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar