Kamis, 20 Juni 2013

Pesan Karen Armstrong

Pesan Karen Armstrong
Husein Ja’far Al-Hadar ;   Direktur Lembaga Study of Philosophy (Sophy) Jakarta
KORAN TEMPO, 20 Juni 2013


Karen Armstrong datang ke Indonesia. Ia datang atas undangan Kelompok Penerbit Mizan untuk menyapa para pembaca karyanya dan penikmat pemikirannya. Ia juga--dan ini yang terpenting, sebenarnya--melalui beberapa kuliah yang digelarnya, mengkampanyekan nilai-nilai kasih (compassion) dalam iman dan agama, seperti ia tuliskan dalam karya terbarunya, Twelve Steps to A Compassionate Life (2004).
Karen punya sejarah pergulatan panjang dengan imannya. Seperti direkam olehnya dalam karya-karyanya, sejarah itu dimulai ketika semasa masih remaja ia telah menjadi biarawati. Dalam autobiografi pertamanya yang berjudul Through The Narrow Gate (1982), ia abadikan kisah hidupnya sebagai biarawati itu. Ia begitu saja hanyut dalam ragam ritual dan tradisi Katolik-nya, tanpa tanya, pergolakan, apalagi keraguan. Akibatnya, ia kemudian meninggalkan Katolik-nya. Ia tak sampai pada substansi dari sederet simbol yang terangkum dalam rentetan ritual dan tradisi Katolik yang digelutinya. Dengan demikian, ia tak merasakan kekatolikannya membumi dan memberi kontribusi dalam kemanusiaan. Karena itu, ia pun tak menemukan jalan menuju Tuhan di sana. Sebab, baginya, seseorang mustahil bisa memanjat tangga spiritualitas menuju Tuhan sebelum ia menapaki jalan kemanusiaan di tengah umat manusia. Baginya, kesalehan religius tak terpisahkan dari kesalehan sosial. 
Seperti dikisahkannya dalam karya keduanya yang berjudul Beginning the World (1983), Karen kemudian memilih untuk kembali menjadi "awam" dan hanyut dalam pergolakan iman. Ia seolah mengikuti saran Nietzsche (filsuf Jerman) untuk melakukan pelayaran eksistensial di samudra keterasingan, tanpa memilih berlabuh di satu pulau tertentu. Karena itu, ia menyebut dirinya sebagai freelance monotheist, seorang monoteis yang tak berafiliasi dengan agama mana pun. Ia memilih untuk terus berlayar di atas perahu keimanannya pada satu Tuhan, tanpa mau berlabuh di agama mana pun. Ia mencari, mengartikan, dan mengimani Tuhan-nya sendiri; Tuhan Rahman dan Rahim (Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang) yang menjadi sumber kedamaian dan keterbukaan, bukan pemicu kekerasan dan fanatisme. Sebab, institusi agama (bukan agama itu sendiri) memang kerap membentuk imajinasi dan otoritas Tuhan yang merampas kemerdekaan hamba-Nya, mengadu-domba di antara mereka atas nama-Nya, dan membuat dunia hanyut dalam berbagai simbol pemecah-belah. Dengan demikian, Tuhan jauh dari nilai rahman dan rahim yang sebenarnya menjadi sifat utama-Nya.
Dalam periode itu pula, Karen masuk dan menyelesaikan kuliah sastra Inggrisnya di Oxford University, London. Dalam masa perkuliahan itu, ia banyak berinteraksi dengan puisi dan sajak dari tokoh sastra besar dunia. Menurut penulis, kuliah sastranya itu tidak hanya berpengaruh besar dalam kecakapannya menulis, tapi juga terhadap paradigma kebertuhanannya. Sebab, memang, ketika sains, filsafat, bahkan agama mengafirmasi kenyataan secara absolut, puisi--menurut John Keats, penyair metafisik Inggris--adalah satu-satunya yang mampu merangkul keterasingan, seperti yang melanda Karen saat itu. 
Selain itu, yang juga penting dari Karen dalam periode itu adalah bahwa ia memilih mempelajari agama-agama samawi (Yahudi dan Islam, selain Kristen yang pernah dianutnya). Ia menapaki jejak monoteisme yang ada dalam tiap agama monoteis yang menjadi anak-anak Ibrahim. Ia mempelajari keragaman wajah Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai ekspresi di setiap agama samawi itu. Dengan demikian, tak mengherankan jika ia kemudian fasih dan otoritatif untuk berbicara tentang Tuhan dan Abrahamic faith, termasuk ketika menulis salah satu karya monumentalnya yang berjudul A History of God : The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (1993). 
Kini, setelah pergulatan keimanannya yang panjang dan perjalanannya menapaki agama-agama yang ada, ia hadir dengan misi menebar kasih-Nya di tengah umat manusia, tanpa memandang agama, mazhab, atau pandangan keagamaan mereka. Sebab, baginya, itulah pesan substansial dan universal Tuhan yang diturunkan dalam ragam bentuk agama. Seperti kata Ibn 'Arabi (sufi besar abad ke-12 asal Andalusia), agama adalah wadah bagi-Nya untuk menebar kasih dan cinta sesuai dengan kaum dan zaman masing-masing. Bahkan, dalam tradisi sufisme, azab-Nya sekalipun merupakan bentuk kasih-Nya pada umat manusia.
Menurut penulis, apa yang dilakukan Karen bukanlah meninggalkan agama. Ia hanya tak mau terperangkap dalam kulit atau dimensi esoterik agama, seperti yang digelutinya selama menjadi biarawati. Namun keimanannya yang tinggi menggiringnya untuk terus menyelami inti atau dimensi esoterik dari agama. Dengan demikian, ragam perbedaan ritual dan tradisi (dimensi esoterik) masing-masing agama tak dilihat dan dipahami secara sentimen, apalagi menjadi titik seteru. Itu justru dirayakan sebagai bentuk kebesaran dan rahmat-Nya yang patut dilihat dan dipahami dalam prinsip kasih dan semangat toleransi. 
Karen kembali dari pengembaraan keimanannya, seperti yang pernah dilakukan Ibrahim saat ia mengembara mencari Tuhan-nya yang sejati (QS. 6: 75). Ia kembali dari pengembaraannya dalam mempelajari keteguhan Musa, kasih sayang Isa, dan akhlak Muhammad. Dan ia pun kembali dengan pesan substansial dan universal Tuhan dalam agama-agama, yakni pesan kasih sayang yang ia sampaikan dalam 12 butir pesan dalam karyanya, Twelve Steps to A Compassionate Life, dan sejak 2009 dibentuknya menjadi gerakan global bernama Charter for Compassion
Pesan-pesan itu bertumpu pada satu prinsip, yakni "jangan kita berbuat sesuatu yang kita tak suka, jika orang lain berbuat seperti itu pada kita". Sebuah prinsip yang begitu kental dalam tradisi kekristenan dengan merujuk pada peran dan posisi Yesus pada umatnya dan juga dalam Islam yang merujuk pada salah satu hadis yang mengumpamakan umatnya--bahkan umat manusia--sebagai satu badan yang jika disakiti salah satu organnya, maka seluruh tubuh merasakan sakitnya. 
Prinsip itu penting bagi kita di Indonesia yang beberapa tahun ini kerap terjebak dalam sentimen--bahkan konflik yang berujung penyerangan, pembakaran, dan pembunuhan--berbasis keyakinan, agama, atau sekadar mazhab. Karena itu, kita tidak hanya perlu menyambut Karen, namun juga prinsip dan pesan kasih yang dibawanya untuk disemai di negeri kita. 
Akhirnya, Karen mengingatkan kita akan salah satu pengakuan Ibn 'Arabi; "Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk (forma); ia merupakan padang-rumputnya menjangan, biaranya para rahib, rumahnya berhala, Ka'bah tempat orang bertawaf, sabaknya Taurat, dan mushafnya Al-Quran. Agamaku adalah agama cinta, yang kuikuti ke mana pun langkahnya. Itulah agama dan keimananku."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar