|
KOMPAS, 03 Juni 2013
Kita
menginginkan pemimpin yang berintegritas, kata Buya Syafii Maarif (Kompas,
16/5). Seperti apa pemimpin yang berintegritas itu? Michael Rogers, penulis
blog tentang kepemimpinan, memberikan contoh Abraham Lincoln sebagai seorang
pemimpin yang berintegritas.
Dikisahkan,
dalam suatu perjalanan malam di musim dingin seorang kolonel pengawal presiden
menawari Abraham Lincoln sebatang cerutu, tetapi ditolak. Juga ketika Abraham
Lincoln ditawari wiski untuk menghangatkan badan. Ketika kolonel itu bertanya,
mengapa Abraham Lincoln menolak kedua tawaran itu, Lincoln menjawab, ketika
ibunya sakit dan menjelang ajal, dia berpesan agar Lincoln menghindari rokok
dan alkohol. Lincoln berjanji akan mematuhi pesan ibunya.
Dalam
sejarah Islam, Umar bin Khattab sering dijadikan contoh pemimpin yang
berintegritas karena dia konsisten menegakkan hukum, termasuk terhadap anaknya.
Ia sendiri juga konsisten mematuhi hukum yang dia buat. Di Indonesia, pemimpin
yang berintegritas pada umumnya terdapat pada era segera setelah kemerdekaan.
Bung Hatta, misalnya, memilih mundur sebagai wakil presiden daripada
mendampingi Bung Karno yang ia anggap sudah tak sejalan lagi.
Integritas
pribadi sebenarnya lebih bermakna keutuhan diri. Keutuhan antara apa yang ia
katakan dan apa yang dia lakukan. Keutuhan antara yang ia janjikan, termasuk
kepada diri sendiri, dan yang dia perbuat. Konsisten pada pendirian tanpa ragu
sedikit pun. Seperti kata peribahasa, biarpun dia diberi matahari di tangan
kanan dan bulan di tangan kiri, tak akan semua itu membuat dia goyah dalam
menegakkan kebenaran dan amanat yang dia terima.
Masih
adakah?
Masih
adakah di Indonesia pemimpin yang seperti itu pada masa ini? Itulah yang
dipertanyakan Buya Syafii Maarif yang juga mewakili pikiran banyak orang di
negeri ini. Banyak yang ingin menjadi ”pemimpin”, tetapi yang mereka pikirkan
bukan nasib yang dipimpin, melainkan nasib dirinya sendiri. Yang mereka
pikirkan hanyalah apa yang akan dia peroleh dari kedudukan menjadi ”pemimpin”.
Pola
pikir feodal masih mengeram dalam benak mereka. Kedudukan yang berada ”di atas
rakyat” membuat mereka lebih merasa wajib dilayani dan didengar rakyat daripada
merasa wajib melayani dan mendengar rakyat. Tidak peduli di badan legislatif
ataupun di eksekutif. Bahkan, kemudian, mereka merasa di atas hukum yang mereka
buat sendiri. Hukum hanyalah berlaku bagi bawahan dan rakyat sehingga muncul
pemeo, kalau wakil menteri akan senang diangkat menjadi menteri, wakil rakyat
justru menolak untuk diangkat menjadi rakyat.
Integritas
pribadi masuk dalam salah satu virtue
atau sifat-sifat baik yang diharapkan ada pada setiap manusia beradab. Virtue
yang lain antara lain kejujuran, pruden, adil, dan berani (courage). Oleh karena itu, barangkali sifat pemimpin yang
diharapkan Indonesia bukan hanya punya integritas, tetapi juga mempunyai
ciri-ciri virtue yang lain untuk
membuktikan bahwa bangsa Indonesia masih tergolong bangsa beradab. Dalam
masyarakat yang sudah sangat dipengaruhi hedonisme ini, akan makin sulit
mencari pemimpin yang demikian itu.
Manajer
dan panglima
Dalam
latihan tentang kepemimpinan, sering ditanyakan apa perbedaan pemimpin dan
manajer. Setiap orang mempunyai jawaban masing-masing. Menurut saya, seorang
pemimpin mempunyai kemampuan memotivasi pengikutnya untuk bergerak dengan cara
menanamkan keyakinan untuk mencapai cita-cita bersama atau memotivasi
pengikutnya tanpa iming-iming imbalan materi.
Pemimpin
sering tidak terlalu memikirkan tata tertib dan urutan sesuai dengan hierarki.
Namun, dia berani mengambil keputusan yang tegas dan tanpa ragu pada saat
diperlukan. Dia juga dapat memberi contoh berperilaku bagi yang dipimpin.
Begitu ia tidak dapat menjadi contoh, hilanglah kekuatan kepemimpinannya.
Manajer
juga menggerakkan pengikutnya (bawahannya) untuk mencapai tujuan, tetapi tanpa
harus menanamkan keyakinan pada mereka. Motivasi yang ia gunakan sering berupa
insentif uang atau jabatan. Ia bergerak hanya dalam koridor strategi yang sudah
ditetapkan sebelumnya. Tidak ada hubungan batin yang
kuat antara manajer dan
bawahannya.
Berbeda
lagi dengan seorang panglima perang. Ia harus menjadi pemimpin sekaligus
manajer. Ia harus mengikuti strategi yang sudah digariskan, tetapi ia harus
dapat mengambil keputusan yang cepat dan tegas pada saat kritis karena
dihadapkan kepada pilihan kalah atau menang, dan risiko korban pada anak buah
yang ia pimpin.
Ia
berani mengambil tanggung jawab jika pilihannya ternyata salah. Bahkan, mungkin
pada pilihan, biar saya mati asal negara selamat. Keputusan Perang Puputan yang
diambil Ngurah Rai adalah keputusan seorang panglima yang memilih mati daripada
menyerah.
Mencari
pemimpin berintegritas dan siap berkorban (setidaknya berkorban citra) di
Indonesia saat ini, dan mungkin sesudah tahun 2014, akan semakin sulit ketika
godaan pemilik modal semakin menggiurkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar