|
KOMPAS, 03 Juni 2013
Orang
sering berekspresi gembira ketika menyatakan Pemilu 2009 berlangsung demokratis
dan liberal. Parameternya adalah pemilu berkebebasan dan berbasis individu.
Kegembiraan
di atas sebagai ungkapan rasa syukur karena negeri ini telah keluar dari rezim
otoriter tentu boleh-boleh saja. Namun, jika pemikiran berhenti di situ, pemilu
yang dihasilkan tidak akan seperti pemilu demokratis-liberal yang diharapkan.
Bisa saja pemilu tersebut ternyata berpenyakit.
Pemilu
yang anarkistis
Pada
Pemilu 2009, kebebasan mewarnai kontestasi. Kasus-kasus intimidasi dan
pemaksaan yang sebelumnya kental terlihat pada pemilu era Orde Baru tidak
muncul secara signifikan.
Adapun
individualisme terlihat dari diterapkannya sistem proporsional terbuka dengan
suara terbanyak sebagai penentu kemenangan. Dengan sistem ini, upaya seorang
individu caleg merupakan penentu kemenangan. Persaingan antarindividu pun
bahkan terjadi dalam parpol.
Namun,
apakah dengan dua hal itu cukup untuk menilai pemilu dengan gembira?
Liberalisme
hanya bisa hidup dengan sehat jika terdapat satu prasyarat. Prasyarat itu
adalah keadilan. Seharusnya kebebasan dalam liberalisme adalah kebebasan yang
berlangsung dalam atmosfer keadilan.
Setidaknya
terdapat empat hal yang membuat Pemilu 2009 tidak berkeadilan. Pertama, Pemilu
2009 ditandai dengan kekacauan masif daftar pemilih tetap. Karena masifnya
kekacauan, terdapat dugaan bahwa hal ini disengaja untuk menguntungkan partai
penguasa.
Kekacauan
berawal dari data kependudukan yang buruk. Celakanya, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) tidak melakukan pemutakhiran secara baik.
Kedua,
Pemilu 2009 ditandai dengan jorjorannya para caleg membelanjakan dana untuk
kampanye. Hal ini bisa terjadi karena pengeluaran dana kampanye individu caleg
tidak diatur dalam undang-undang. Hanya partai politik yang diwajibkan
melaporkan dana kampanyenya. Padahal, lokus kontestasi telah berpindah dari
parpol menjadi individu. Politik menjadi liar.
Ketiga,
Pemilu 2009 diwarnai penyalahgunaan alokasi anggaran negara. Ketika itu
diluncurkan program-program prorakyat yang kemudian disinyalir tak lebih
sebagai upaya menjaring simpati publik. Di tingkat kementerian, banyak program
kementerian yang difokuskan untuk membantu penduduk di daerah pemilihan sang
menteri yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
Keempat,
Pemilu 2009 diwarnai kekacauan pengolahan data. Sistem berbasis teknologi
informasi gagal total. Pengolahan data kacau balau. Saking kacaunya, terdapat
seorang caleg yang mendapatkan suara melebihi jumlah pemilih di seluruh
Indonesia.
Setidaknya
empat hal itu membuat Pemilu 2009 tidak berkeadilan. Dengan tidak terpenuhinya
prasyarat keadilan, sulit bagi kita untuk mengategorikan Pemilu 2009 ke dalam
pemilu demokratis-liberal.
Pemilu
tersebut adalah pemilu yang anarkistis. Anarkisme yang dikira sebagai
demokratis-liberal itu telah menghasilkan kepemimpinan Republik yang dipenuhi
para bedebah. Mereka, para bedebah, tidak memedulikan negara dan rakyat. Para
bedebah itu sibuk memperkaya diri dengan uang haram, bermegah-megah dalam
lumpur penuh kotoran.
Keutamaan
Apakah
Pemilu 2014 akan lebih baik? Atau mengulangi pemilu sebelumnya sebagai pemilu
anarkistis yang menjadi pintu masuk bagi banyak bedebah?
Penyelenggara
pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu, berperan signifikan dalam perbaikan
kualitas pemilu. Syaratnya, kedua lembaga penguasa dalam rezim pemilu ini harus
mampu menunjukkan keutamaan.
Bagaimana
agar KPU dan Bawaslu mampu menunjukkan keutamaan, terutama keutamaan keadilan.
Kualitas komisionernya adalah penentu apakah penyelenggara pemilu akan mampu
menunjukkan keutamaan keadilan. Penyelenggara pemilu yang berkeutamaan tidak
hanya memerankan diri sebagai petugas administratif.
Komisioner
KPU dan Bawaslu yang berkeutamaan tidak hanya melaksanakan tahapan pemilu
secara prosedural, tetapi juga dengan memperhatikan kualitas dan integritas.
Prinsip seperti keadilan dan kejujuran menjadi pegangan.
Mencermati
langkah dan kebijakan penyelenggara pemilu, terutama KPU, tampaknya tidak
mengutamakan terciptanya keadilan, apalagi kejujuran. KPU terlihat hanya berisi
orang-orang berketerampilan.
Terampil
dalam menerima pendaftaran partai politik dan daftar caleg tanpa berupaya
melakukan seleksi dengan lebih baik. Selain itu, belum terdengar dilakukannya
pemutakhiran daftar pemilih. Mereka juga terlihat enggan membuat aturan
penyelenggaraan yang akan menjadi landasan terciptanya keadilan dalam kampanye.
Selain
itu, KPU tertutup bagi peran serta aktif masyarakat. Soal Sistem Informasi Data
Pemilih misalnya, KPU terkesan menutup rapat. Tidak seorang pun, bahkan mungkin
Bawaslu, memiliki akses terhadap sistem IT baru KPU ini. KPU sejak awal tahapan
menutup diri dari akses publik. Konsultasi publik pun hanya basa-basi politik.
Ketertutupan ini mencurigakan.
Cegah
para bedebah
Saat
penerimaan daftar caleg sekarang ini, seharusnya menjadi saat menutup celah
bagi para bedebah. Saat diketahui adanya partai yang tidak sepenuhnya memenuhi
syarat keterwakilan perempuan, adanya caleg yang tidak menyertakan seluruh
persyaratan, adanya daftar caleg ganda seperti dilansir Formappi, adanya caleg
yang terkait masalah hukum, dan kasus lain merupakan saat di mana seharusnya
KPU menunjukkan keutamaan.
Saat
ini juga merupakan saat bagi KPU mengeluarkan aturan kampanye yang menjamin
keadilan, saat bagi KPU memutakhirkan daftar pemilih, dan saat dimulainya
penegakan aturan, termasuk aturan yang melarang pejabat menyalahgunakan jabatan
untuk kepentingan pemenangan pemilu sehingga para bedebah akan tercegah.
Tulisan
ini adalah peringatan dini, jangan sampai bangsa ini dua kali terperosok pada
kondisi pemilu anarkistis. Kuncinya ada pada langkah dan kebijakan penyelenggara
pemilu, terutama KPU. Saat-saat digelarnya sejumlah tahapan pemilu, jangan
sampai menjadi saat karpet merah bagi para bedebah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar