Senin, 03 Juni 2013

Tak Ada yang Aneh pada Rupiah


Tak Ada yang Aneh pada Rupiah
Faisal Basri ;  Ekonom
KOMPAS, 03 Juni 2013


Nilai tukar rupiah telah menembus Rp 9.800 per dollar Amerika Serikat akhir minggu lalu. Sebetulnya tidak ada yang luar biasa dengan pergerakan rupiah belakangan ini. Selama lima bulan pertama tahun 2013, rupiah hanya melemah 1,35 persen. Jika dibandingkan dengan setahun yang lalu, pelemahan rupiah sebesar 2,42 persen. Dengan kata lain, pergerakan rupiah masih terjaga.

Memang, kemerosotan nilai tukar rupiah cukup tajam jika dibandingkan dengan posisi terkuatnya pada 2 Agustus 2011, yakni 13,7 persen. Pada akhir Agustus 2011, cadangan devisa berada pada tingkat tertinggi, yaitu 124,6 miliar dollar AS, tetapi sebulan berikutnya terkuras 10,1 miliar dollar AS menjadi 114,5 miliar dollar AS. Sejak itulah, nilai tukar rupiah mengalami kemerosotan yang persisten.

Pada triwulan IV-2011, akun semasa (current account) memasuki era defisit hingga sekarang. Pada tahun 2011, impor bahan bakar minyak (BBM) kian merongrong, naik tajam menjadi 28 miliar dollar AS dari 18 miliar dollar AS pada tahun sebelumnya.

Kemerosotan nilai tukar rupiah agak tertahan oleh derasnya modal asing yang masuk, baik dalam bentuk penanaman modal asing langsung maupun investasi portofolio. Perlu dicatat, sejak tahun 2010 penanaman modal asing langsung selalu lebih besar ketimbang investasi portofolio sehingga bisa mengurangi volatilitas pergerakan rupiah.

Yang perlu dicermati dengan saksama di dalam akun modal adalah pembayaran cicilan utang sebagaimana tecermin pada item other capital. Pada triwulan I-2013, item other capital mengalami defisit sangat besar, yaitu sebesar 7,7 miliar dollar AS. Akibatnya, arus modal neto mengalami defisit 1,4 miliar dollar AS. Dipadukan dengan defisit akun semasa sebesar 5,3 miliar dollar AS, neraca pembayaran menjadi tekor sebesar 6,6 miliar dollar AS.

Bagaimanapun, fundamental rupiah akan jauh lebih kokoh apabila ditopang oleh faktor-faktor yang bersumber dari kekuatan sendiri. Oleh karena itu, akun semasa mutlak perlu disehatkan. Dalam jangka pendek, kuncinya adalah bagaimana meredam peningkatan impor BBM yang sejak tahun 2011 sudah menjadi penyedot terbesar cadangan devisa.

Oleh karena ini, ekspektasi rupiah dalam jangka pendek sangat ditentukan kenaikan harga BBM. Semakin tidak pasti keputusan kenaikan harga BBM membuat nilai rupiah semakin lama terombang-ambing.
Bank Indonesia bisa saja melakukan intervensi untuk meredam pelemahan rupiah. Namun, harus diingat, cadangan devisa kita tidak melimpah. Pada akhir Maret, besarnya cadangan devisa hanya setara dengan 5,7 bulan kebutuhan impor dan pembayaran cicilan utang luar negeri pemerintah.

Kapasitas cadangan devisa ini terus-menerus melorot dari 7,2 bulan pada tahun 2010, 6,5 bulan pada tahun 2011, dan 6,1 bulan pada tahun 2012.

Dalam jangka menengah, nilai tukar rupiah berpotensi menguat asalkan dua persoalan struktural dapat diatasi.

Pertama, menekan defisit jasa angkutan barang yang menyumbang sekitar 70 persen dari defisit jasa-jasa total. Teramat ironis bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang bentangan lautnya dua kali lebih luas dari daratan, tetapi tidak memiliki armada pelayaran yang tangguh. Pembangunan jembatan Selat Sunda justru akan memperlemah penguasaan laut kita.

Kedua, pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab dan berkeadilan untuk memacu kembali industrialisasi. Jangan biarkan gejala dini deindustrialisasi terus terjadi.

Tengok saja peranan industri manufaktur dalam produk domestik bruto yang terus merosot dari 29 persen pada tahun 2001 menjadi hanya 23,6 persen saja pada triwulan I-2013. Padahal, pengalaman negara-negara yang telah menapaki industrialisasi berkelanjutan, peranan industri manufaktur dalam produk domestik bruto baru berangsur turun setelah mencapai sekitar 32 persen dari produk domestik bruto.

Industrialisasi sejatinya harus dipandang sebagai upaya untuk memperkokoh fondasi perekonomian Indonesia dengan memanfaatkan secara maksimal karunia sumber daya yang kita miliki. Hanya dengan begitu, kita bakal bangga menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-8, setidaknya, dengan landasan yang kokoh pada tahun 2050, dan bukan hanya menjadi bulan-bulanan sebagai pasar yang besar semata.
Dengan mengacu pada peningkatan produktivitas, kenaikan daya saing akan lebih berkelanjutan. Salah satu indikator keberhasilan itu adalah penguatan nilai tukar rupiah.
Memang tidak ada jalan pintas. Apa gunanya redenominasi kalau setelah itu nilai rupiah kembali melorot.
Pelaku pasar menunggu langkah-langkah nyata pemerintah sekarang juga. Jangan sia-siakan kesempatan emas yang sudah berulang kali terlewatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar