|
SUARA
KARYA, 18 Juni 2013
Insiden yang menewaskan seorang
tenaga kerja Indonesia (TKI) di depan Konsulat Jenderal Republik Indonesia
(KJRI) Jedah, Arab Saudi, Minggu (9/6/13) mencerminkan buruknya pelayanan
pemerintah terhadap kaum buruh migran (Suara Karya, 11 Juni 2013). Kinerja
birokrat TKI yang amburadul ini juga mencerminkan,bahwa mereka tidak memahami
hak psikologis TKI.
TKI juga manusia yang membutuhkan
perlakuan yang memanusiakan atau memartabat. Mereka merupakan subyek sosial dan
kemanusiaan yang tak sepatutnya diperlakukan layaknya obyek yang didehumanisasikan.
Mereka adalah bagian dari hirarkhis bangunan keadaban yang tidak sepantasnya
mendapatkan layanan yang tak ubahnya "binatang".
Insiden TKI yang berangkat dari
kemarahan memang mencoreng wajah Indonesia di negara lain. Tetapi, seharusnya
yang merasa tercoreng adalah model kinerja birokrat TKI yang melukai dan
mendehumanisasikan pahlawan devisa. Yakni, mereka berjasa besar memberikan yang
terbaik pada keluarga, masyarakat, dan bangsanya. Sehingga logis jika mereka
marah ketika upayanya membangun atau menjaga keberlanjutan peran riilnya
dihadapkan pada mental birokrat yang tak ubahnya sekumpulan
"tengkulak" yang kehilangan sensitifitas kemanusiaannya.
Komunitas TKI itu setiap hari
terpaksa berjemur di bawah terik matahari bersuhu rata-rata di atas 40 derajat
Celsius demi menghadapi birokrasi yang tidak professional dan cekatan. Mereka
misalnya harus antre di luar gedung KJRI Jedah tanpa ada pelindung panas
seperti tenda, pemberian air minum, serta tim medis yang siap melayani. Mereka
tak dihargai sebagai subyek HAM yang mempunyai hak untuk menjaga kesehatan,
keselamatan, atau keberlanjutan hidupnya.
Dapat saja terjadi bahwa
ketidakberdayaan suatu komunitas (community
empowerment) seperti yang dialami TKI di Timur Tengah selama ini, yang
notabene menjadi korban ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian praksis sistem
sosial, politik, ekonomi dan budaya secara reflektif dan eksplosif menunjukkan
kemarahannya dengan protes (perlawanan) yang radikal dan barbarianistik seperti
membakar gedung KJRI. Karena, mereka sudah tidak bisa menahan emosi akibat
merasa ditindas.
Para TKI itu tidak tahan lagi
menghadapi kondisi buruk yang terus menerus ditemui dan menjadi duri yang
menyakitinya. Mereka mencoba memberi "pelajaran" mengenai bagaimana
cara memperlakukan warga bangsa atau TKI sebagaimana layaknya manusia.
Sosiolog Hurton dan Hunt (1987)
membenarkan, "akar dari semua gerakan atau aksi massa itu sesungguhnya
berasal dari ketidakpuasan". Hernando de Soto menguatkan, "rasa tidak
puas yang timbul dapat dengan mudah mencetuskan kekerasan dan tindakan ilegal
yang sulit dikendalikan".
Sejalan dengan itu, Girand dalam Violence and Sacred (1989) juga
mencetuskan teorinya, bahwa keberingasan itu terjadi karena perasaan tertekan
yang berlangsung secara intens yang meluas dalam masyarakat.
Keberingasan atau kejahatan
kekerasan ala TKI di Jeddah tidak akan begitu saja bisa terjadi jika mereka
tidak dihadapkan pada realitas praktik biorkrasi yang membuatnya prustrasi
akut. Kondisi prustasi yang diderita oleh TKI adalah produk birokrasi sakit
atau tidak profesional yang masih dipertahankan.
Mencermati pandangan Hurton, Hunt
dan Girand itu menunjukkan bahwa kekerasan individual dan massal potensial
terjadi terkait secara signifikan dengan perasaan ketidakpuasan, ketertekanan,
perlakuan tidak adil, distribusi sumber pendapatan yang disparitas, praktik
dehumanitas atau ketidakberadaban yang berbingkai apologi kepentingan sosial,
ekonomi, politik dan budaya negara.
Ketika seseorang atau komunitas
TKI merasa hidupnya dalam tekanan ekonomi yang hebat ketika masih di tanah air,
dan kemudian menerima atau dihadapkan dengan kondisi yang mendehumanisasikan
lagi di negara lain dari sumber yang sama (sesama warga bangsanya sendiri),
maka opsi kekerasan atau berpola ekstrim dapat dibaca sebagai kritik
radikalistik, yang seharusnya menyadarkan para birokrat.
Jika yang ditemui oleh TKI adalah
kondisi yang merampas harkat kemanusiaan dan keadabannya, sebagai modus
eliminasi hak-hak konstitusional sebagai warga, maka sejatinya gerakan mereka
layak ditempatkan sebagai perjuangan. Menjadi kondisi logis kalau kemudian
mencuat tragedi yang mencoreng Indonesia. Wajah buram ini tidak boleh semata
dibaca dari satu sisi "ulah" TKI, tetapi yang paling primer adalah
dari sisi manajemen negara dalam pelayanan dan perlindungan TKI.
Kritik yang dialamatkan pada soal
pelayanan dan perlindungan itu sudah demikian sering. Para manajer negara di
bidang ketenagakerjaan tidak henti-hentinya menjadi sasaran "amuk"
kritikus dan peneliti. Sayangnya, mereka seolah-olah memilih jalan untuk tidak
perlu mendengarkan segala bentuk kritik atau "auman" kebenaran yang
disuarakan.
Kerusuhan dan kekerasan akhirnya
menjadi "ongkos" sosial (social
cost) yang harus dibayar. Insiden di Jeddah ini barangkali baru
permulaannya saja atau diniscayakan akan muncul lagi insiden serupa, manakala
soal pelayanan dan perlindungan terhadap TKI belum benar-benar menjadi
prioritas.
TKI itu sejatinya merupakan
deskripsi orang miskin yang "menjawab" praktik ketidakberdayaan atau
pembiaran yang dilakukan oleh negara terhadap kondisi perekonomiannya selama
waktu tinggal di negeri sendiri. Mereka tidak ingin mengalami nasib sama dengan
ketika tinggal di negeri orang. Mereka ingin menunjukkan kalau dirinya
berdaulat, punya kemerdekaan, dan tentu saja punya keberanian untuk melawan
segala bentuk kezaliman birokrat TKI.
Tindak kekerasan TKI itu menjadi
semacam harapan tertinggi darinya kepada para birokrat TKI untuk menegakkan
keadilan, kejujuran, amanah kepemimpinan, dan kesungguhan mewujudkan
pengabdiannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar