Rabu, 19 Juni 2013

Eliminasi Hak TKI di Jeddah

Eliminasi Hak TKI di Jeddah
Mariyadi Faqih ;   Kandidat Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw,
Penulis buku tentang Quo Vadis Negara Hukum
SUARA KARYA, 18 Juni 2013


Insiden yang menewaskan seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) di depan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jedah, Arab Saudi, Minggu (9/6/13) mencerminkan buruknya pelayanan pemerintah terhadap kaum buruh migran (Suara Karya, 11 Juni 2013). Kinerja birokrat TKI yang amburadul ini juga mencerminkan,bahwa mereka tidak memahami hak psikologis TKI.

TKI juga manusia yang membutuhkan perlakuan yang memanusiakan atau memartabat. Mereka merupakan subyek sosial dan kemanusiaan yang tak sepatutnya diperlakukan layaknya obyek yang didehumanisasikan. Mereka adalah bagian dari hirarkhis bangunan keadaban yang tidak sepantasnya mendapatkan layanan yang tak ubahnya "binatang".

Insiden TKI yang berangkat dari kemarahan memang mencoreng wajah Indonesia di negara lain. Tetapi, seharusnya yang merasa tercoreng adalah model kinerja birokrat TKI yang melukai dan mendehumanisasikan pahlawan devisa. Yakni, mereka berjasa besar memberikan yang terbaik pada keluarga, masyarakat, dan bangsanya. Sehingga logis jika mereka marah ketika upayanya membangun atau menjaga keberlanjutan peran riilnya dihadapkan pada mental birokrat yang tak ubahnya sekumpulan "tengkulak" yang kehilangan sensitifitas kemanusiaannya.

Komunitas TKI itu setiap hari terpaksa berjemur di bawah terik matahari bersuhu rata-rata di atas 40 derajat Celsius demi menghadapi birokrasi yang tidak professional dan cekatan. Mereka misalnya harus antre di luar gedung KJRI Jedah tanpa ada pelindung panas seperti tenda, pemberian air minum, serta tim medis yang siap melayani. Mereka tak dihargai sebagai subyek HAM yang mempunyai hak untuk menjaga kesehatan, keselamatan, atau keberlanjutan hidupnya.

Dapat saja terjadi bahwa ketidakberdayaan suatu komunitas (community empowerment) seperti yang dialami TKI di Timur Tengah selama ini, yang notabene menjadi korban ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian praksis sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya secara reflektif dan eksplosif menunjukkan kemarahannya dengan protes (perlawanan) yang radikal dan barbarianistik seperti membakar gedung KJRI. Karena, mereka sudah tidak bisa menahan emosi akibat merasa ditindas.

Para TKI itu tidak tahan lagi menghadapi kondisi buruk yang terus menerus ditemui dan menjadi duri yang menyakitinya. Mereka mencoba memberi "pelajaran" mengenai bagaimana cara memperlakukan warga bangsa atau TKI sebagaimana layaknya manusia.

Sosiolog Hurton dan Hunt (1987) membenarkan, "akar dari semua gerakan atau aksi massa itu sesungguhnya berasal dari ketidakpuasan". Hernando de Soto menguatkan, "rasa tidak puas yang timbul dapat dengan mudah mencetuskan kekerasan dan tindakan ilegal yang sulit dikendalikan".

Sejalan dengan itu, Girand dalam Violence and Sacred (1989) juga mencetuskan teorinya, bahwa keberingasan itu terjadi karena perasaan tertekan yang berlangsung secara intens yang meluas dalam masyarakat.

Keberingasan atau kejahatan kekerasan ala TKI di Jeddah tidak akan begitu saja bisa terjadi jika mereka tidak dihadapkan pada realitas praktik biorkrasi yang membuatnya prustrasi akut. Kondisi prustasi yang diderita oleh TKI adalah produk birokrasi sakit atau tidak profesional yang masih dipertahankan.
Mencermati pandangan Hurton, Hunt dan Girand itu menunjukkan bahwa kekerasan individual dan massal potensial terjadi terkait secara signifikan dengan perasaan ketidakpuasan, ketertekanan, perlakuan tidak adil, distribusi sumber pendapatan yang disparitas, praktik dehumanitas atau ketidakberadaban yang berbingkai apologi kepentingan sosial, ekonomi, politik dan budaya negara.

Ketika seseorang atau komunitas TKI merasa hidupnya dalam tekanan ekonomi yang hebat ketika masih di tanah air, dan kemudian menerima atau dihadapkan dengan kondisi yang mendehumanisasikan lagi di negara lain dari sumber yang sama (sesama warga bangsanya sendiri), maka opsi kekerasan atau berpola ekstrim dapat dibaca sebagai kritik radikalistik, yang seharusnya menyadarkan para birokrat.

Jika yang ditemui oleh TKI adalah kondisi yang merampas harkat kemanusiaan dan keadabannya, sebagai modus eliminasi hak-hak konstitusional sebagai warga, maka sejatinya gerakan mereka layak ditempatkan sebagai perjuangan. Menjadi kondisi logis kalau kemudian mencuat tragedi yang mencoreng Indonesia. Wajah buram ini tidak boleh semata dibaca dari satu sisi "ulah" TKI, tetapi yang paling primer adalah dari sisi manajemen negara dalam pelayanan dan perlindungan TKI.

Kritik yang dialamatkan pada soal pelayanan dan perlindungan itu sudah demikian sering. Para manajer negara di bidang ketenagakerjaan tidak henti-hentinya menjadi sasaran "amuk" kritikus dan peneliti. Sayangnya, mereka seolah-olah memilih jalan untuk tidak perlu mendengarkan segala bentuk kritik atau "auman" kebenaran yang disuarakan.

Kerusuhan dan kekerasan akhirnya menjadi "ongkos" sosial (social cost) yang harus dibayar. Insiden di Jeddah ini barangkali baru permulaannya saja atau diniscayakan akan muncul lagi insiden serupa, manakala soal pelayanan dan perlindungan terhadap TKI belum benar-benar menjadi prioritas.

TKI itu sejatinya merupakan deskripsi orang miskin yang "menjawab" praktik ketidakberdayaan atau pembiaran yang dilakukan oleh negara terhadap kondisi perekonomiannya selama waktu tinggal di negeri sendiri. Mereka tidak ingin mengalami nasib sama dengan ketika tinggal di negeri orang. Mereka ingin menunjukkan kalau dirinya berdaulat, punya kemerdekaan, dan tentu saja punya keberanian untuk melawan segala bentuk kezaliman birokrat TKI.

Tindak kekerasan TKI itu menjadi semacam harapan tertinggi darinya kepada para birokrat TKI untuk menegakkan keadilan, kejujuran, amanah kepemimpinan, dan kesungguhan mewujudkan pengabdiannya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar