|
MEDIA
INDONESIA, 18 Juni 2013
SUBSIDI merupakan salah satu
instrumen penting pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pemerintah
tertentu. Subsidi sering dikaitkan dengan fungsi redistribusi dan realokasi anggaran
negara yang dalam kerangka negara kesejahteraan (welfare state) digunakan untuk melayani kepentingan publik secara
berkeadilan.
Tarik ulur rencana kebijakan pengurangan subsidi BBM kian
menyeret nasib rakyat ke dalam pusaran politik transaksional. Jika mencermati
Pasal 32 ayat (1) UU No 19 Tahun 2012 tentang APBN Tahun 2013, pemerintah
dengan persetujuan DPR diberi otoritas untuk melakukan penyesuaian APBN Tahun
Anggaran 2013 salah satunya jika terjadi perkembangan ekonomi makro yang tidak
sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2013.
Faktor utama yang mendorong pemerintah menggunakan
ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU APBN tersebut menurut versi pemerintah ialah
masalah asumsi harga minyak Indonesia (ICP) yang semula direncanakan US$100 per
barel telah bergerak menjadi US$111, atau naik 11%. Kemudian, kurs dolar
berubah dari Rp9.300 menjadi Rp9.600Rp9.800. Fakta itulah yang menurut
pemerintah menyebabkan pemerintah terdesak untuk mengajukan RAPBN-P.
Pemerintah berargumen bahwa dengan menyusun RAPBN-P itu,
defisit diharapkan dapat terjaga agar tetap di bawah 3%. Substansi RAPBN 2013
tersebut antara lain ialah upaya pengurangan subsidi BBM guna menjaga laju defisit
tersebut. Itu juga memuat rencana pengurangan belanja kementerian dan lembaga.
Dengan terjadinya defisit anggaran jika tidak dilakukan pengurangan subsidi BBM,
defisit itu bisa menjadi Rp353,6 triliun atau setara dengan 3,8% dari PDB, yang
tentunya hal itu bisa dianggap melanggar Undang-Undang.
Rapat paripurna dalam pembahasan RAPBN-P 2013, kemarin, di
tengah kepungan tak kurang dari 1.000 demonstran mahasiswa dan buruh berjalan
alot dan dihujani banyak interupsi. Selain itu, hampir di seluruh Indonesia
terjadi penolakan terhadap pengurangan subsidi BBM yang menjadi salah satu substansi
pokok dalam RAPBN-P 2013. Di tengah menurunnya harga minyak dunia, karena
kesalahan asumsi mengenai sebagian besar indikator ekonomi makro APBN 2013,
pemerintah memaksakan penaikan harga BBM dalam RAPBN2013 untuk menutupi
kesalahan-kesalahan dalam menentukan asumsi-asumsi dalam penyusunan APBN 2013.
Sebenarnya, terkait dengan alternatif politik subsidi
tersebut sangat penting untuk dikaitkan dengan kebijakan penghematan di ling
kungan kementerian/ lembaga. Di daerah di lingkungan dinas/badan, efektivitas
dan intensifikasi pemungutan pajak diimbangi dengan pembersihan berbagai modus
penyimpangan tata kelola perpajakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak,
efisiensi alokasi anggaran negara yang kini semakin membengkak dengan adanya
penambahan pos-pos wakil menteri, biaya perjalanan dinas pejabat dan
sejenisnya.
Pengurangan subsidi BBM tersebut sejatinya merupakan ialah
salah satu kesepakatan dalam pertemuan puncak 21 kepala negara anggota Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC)
di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat.
Forum itu merupakan upaya kerja sama dari 21 negara dengan
tujuan meningkatkan perdagangan bebas di kawasan Asia-Pasifik. Oktober nanti
KTT APEC akan diadakan di Bali. Tidak ada kado yang paling indah untuk forum
APEC selain kebijakan mencabut subsidi BBM secara bertahap. Selama BBM masih
disubsidi, korporasi multinasional tidak bisa main di sektor hilir. Dengan
demikian, penghapusan subsidi BBM tersebut jika dilacak secara kritis pada
hakikatnya lebih pada sekadar pemenuhan kesepakatan perdagangan bebas.
Berdasarkan hal tersebut, Presi den harus berani membatalkan kebijakan
pencabutan subsidi BBM secara bertahap.
Selama ini diyakini publik bahwa berbagai kebijakan politik
ekonomi di negeri ini kian bersifat neoliberal dan semakin mengarah ke sistem
pasar bebas. Berbagai kerangka hukum (legal
framework) yang dikonstruksikan negara selama ini kian mengukuhkan sistem
pasar bebas tersebut. Tengoklah berbagai regulasi di bidang sumber daya air,
investasi, perbankan, energi, infrastruktur dan lainlain menjadi wujud
kasatmata dari semakin terserapnya sistem ekonomi negeri ini ke dalam pusaran
tak berujung ekonomi pasar bebas.
Sah pula pertanyaan publik yang mempertanyakan secara
kritis: ada apa di balik kompensasi penaikan harga BBM melalui bantuan langsung
sementara masyarakat (BLSM) tersebut yang ditetapkan menjelang adanya
kontestasi elite dalam pemilu presiden yang kian mendekat? Karakter pemberian
bantuan yang bersifat langsung sendiri selama ini dinilai banyak pihak tak
bersifat mendidik.
Ada yang mengusulkan lebih baik didesain ulang menjadi berbagai program padat
karya yang akan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.
Politik subsidi yang semestinya diarahkan untuk
mengoptimalkan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat tak boleh dilekati oleh
agenda tersembunyi (hidden agenda)
yang sarat dengan muatan politik jangka pendek. Maka, subsidi harus
dikembalikan kepada hakikatnya sebagai instrumen pemerintah untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat melalui redistribusi kesejahteraan (welfare redistribution) dan realokasi anggaran (budget reallocation) negara.
Pemerintah harus bersikap responsif dan proaktif mendengar
suara rakyat. Selama ini, rakyat hanya dihitung dengan kalkulasi angka, jarang
suara mereka dipahami dengan hati. Apalagi jika citra politik ialah taruhannya.
Dalam suatu negara kesejahteraan (welfare
state) subsidi merupakan instrumen negara untuk merealisasikan amanat
konstitusi dalam melindungi rakyatnya, sejauh konsep subsidi itu
sungguh-sungguh dikembalikan kepada hakikat fungsinya sebagai perlindungan
sosial rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar