Rabu, 19 Juni 2013

Birokrat dan Kesejahteraan Rakyat

Birokrat dan Kesejahteraan Rakyat
Supadiyanto ;   Dosen UIN Sunan Kalijaga dan Akademi Komunikasi
Radya Binatama Yogyakarta, Magister Ilmu Komunikasi Undip
SUARA KARYA, 18 Juni 2013


Peradaban bangsa ini, kini sudah menunjukkan gejala sosial yang memprihatinkan. Kalau rakyat sudah melarat, birokrat berkhianat, apalagi ulama terlibat korupsi; peradaban bangsa ini sudah tamat. Satu persatu pejabat negara (birokrat) dan bahkan tokoh agama (kyai) terjerat kasus korupsi, semakin menguatkan bahwa rakyat akan semakin dimiskinkan. Harta dan sekaligus martabat mereka dirampas.

Tujuan pembentukan birokrasi, yang dicetuskan oleh seorang tokoh bernama Max Weber adalah menciptakan kepastian terhadap layanan kesejahteraan masyarakat. Ketika birokrasi justru menyengsarakan rakyat, maka pada titik tersebut; sejatinya birokrasi yang melahirkan pusat-pusat kekuasaan dan penguasa sudah hancur kredibilitasnya. Fungsi pemerintahan seolah tidak berlaku lagi. Peran negara dalam melayani dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat pun menjadi sangat minim.

Logika yang dibangun di Indonesia maupun berbagai negara di luar negeri, pada umumnya terjebak pada logika hukum terbalik. Di mana birokrat yang merepresentasikan kelompok-kelompok penguasa (legislatif, yudikatif dan eksekutif) kendati jumlah mereka minoritas namun pengaruhnya superior; secara sadar maupun tak sadar, cenderung memperkaya diri, menyejahterakan diri dan meminta untuk dilayani.

Akibatnya, rakyat kebanyakan semakin miskin dan termiskinkan, sementara para birokrat dan jaringannya semakin gempal kekuatan ekonominya. Kekayaan ekonomi kalangan birokrat bagaikan struktur bangunan Candi Borobudur yang semakin gemuk ke bawah. Sedangkan kekuatan ekonomi yang dimiliki rakyat seperti struktur Candi Prambanan yang semakin kurus ke atas.

Kekayaan Pejabat

Sekarang ini, adakah pejabat negara (eksekutif, legislatif maupun yudikatif) yang tergolong tidak kaya alias miskin? Mari belajar menjadi rakyat yang cerdas dan kritis, berapa miliar rupiah jumlah kekayaan yang dimiliki para pimpinan dan eks pimpinan lembaga eksekutif? Berapa jumlah harta (bergerak atau diam) yang dimiliki para pimpinan dan anggota lembaga legislatif? Hitung pula total aset kekayaan para pejabat dan petinggi struktural lembaga yudikatif?

Kemudian lacak juga jumlah kekayaan yang dipunyai para pejabat negara di bawahnya, dari tingkat pusat hingga daerah. Dari totalitas pejabat negara tersebut, berapa banyak penguasa yang masuk kategori sebagai miliarder atau bahkan triliuner. Pertanyaan terakhir, adakah dari sekian puluh ribu pejabat negara se-Indonesia tersebut tergolong orang yang memiliki harta minim alias menjadi orang miskin?

Rasa-rasanya tidak ada pejabat negara satu pun mengantongi 'kartu domino' sebagai keluarga miskin. Barangkali kita wajib 'bersyukur' dipimpin dan diperintah oleh para pejabat negara yang kaya-raya. Apakah kekayaan mereka diperoleh sebelum menjadi pejabat negara, ataukah setelah menjabat sekian lama?

Kalau yang bersangkutan berstatus kaya-raya sebelum menjabat, berarti memang sumber kekayaan yang dimiliki bukan berasal dari pendapatan bulanan yang diperoleh dari jabatan negara yang dipegangnya tersebut. Namun, kalau tiba-tiba ada pejabat negara yang jumlah kekayaannya melonjak, tidak sinkron dengan pertambahan jumlah pendapatan bulanan yang diperoleh, kita layak mempertanyakan lebih lanjut, dari manakah asal-muasal kekayaan tersebut. Apakah yang bersangkutan memiliki bisnis atau perusahaan? 

Itu lain hal, namun jika pejabat negara bersangkutan tidak memiliki bisnis, namun kekayaannya melimpah ruah, wajiblah publik mencurigai dan bertanya-tanya tentang dari mana kekayaan itu diperolehnya.
Berkuasa menjadi pejabat negara memang memberikan kemudahan akses untuk mendapatkan perlakukan istimewa dan dapat mengakses sumber informasi, sumber kekayaan dari mana saja. Mereka berpeluang besar melipatgandakan jumlah kekayaan dasarnya hanya dalam waktu singkat. Ada begitu banyak proyek nasional, proyek daerah; bahkan proyek internasional yang bisa disulap menjadi bisnis yang menguntungkan bagi dirinya atau koleganya.

Dengan memanfaatkan jaringan bisnis kolega ini, mereka akan mendapatkan yang namanya bonus, tips, komisi, hadiah, gratifikasi dan aneka sebutan lain yang intinya memberikan keuntungan material kepada para pejabat negara untuk menambah saldo kekayaan pribadinya. Maka, sesungguhnya, jumlah kekayaan seorang pejabat itu mudah dilacak dari data yang dimiliki oleh berbagai bank di Indonesia, termasuk bank di luar negeri.

Namun, biasanya terbentur pada UU Kerahasiaan Bank. Sementara kalau harta tersebut diwujudkan dalam bentuk tanah atau bangunan, ladang perkebunan, hutan dan sebangsanya, datanya bisa dilacak dari BPN. Namun, untuk melacaknya, hal ini pun tidak mudah karena bisa saja kekayaan mereka sudah diatasnamakan pihak lain.

Yang paling repot ketika banyak pejabat negara menyimpan hartanya berupa uang atau emas yang dititipkan di bank-bank luar negeri, seperti Swiss, Jerman, AS dan negara lain yang sangat melindungi privasi setiap nasabah. Sehingga, siapa pun tidak boleh mengetahui mengenai identitas para nasabah bank di luar negeri tersebut. Jangankan pihak luar bank tersebut, karyawan bank yang ada di luar negeri itu pun dijamin tidak bakal mengetahui data nasabah yang dimiliki bank tersebut.

Nah, itulah peluang bagi para pejabat negara untuk menyembunyikan hartanya, dengan menyimpan di bank-bank mancanegara. Apakah KPK, BPK dan institusi lainnya memiliki sistem dan prosedur untuk melacak, mengendus pergerakan kekayaan yang dimiliki oleh para pejabat negara di luar negeri? Selama ini tidak ada sistem yang bisa menembus aturan internasional itu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar