|
SUARA
KARYA, 18 Juni 2013
Peradaban bangsa ini, kini sudah
menunjukkan gejala sosial yang memprihatinkan. Kalau rakyat sudah melarat,
birokrat berkhianat, apalagi ulama terlibat korupsi; peradaban bangsa ini sudah
tamat. Satu persatu pejabat negara (birokrat) dan bahkan tokoh agama (kyai)
terjerat kasus korupsi, semakin menguatkan bahwa rakyat akan semakin
dimiskinkan. Harta dan sekaligus martabat mereka dirampas.
Tujuan pembentukan birokrasi, yang
dicetuskan oleh seorang tokoh bernama Max Weber adalah menciptakan kepastian
terhadap layanan kesejahteraan masyarakat. Ketika birokrasi justru
menyengsarakan rakyat, maka pada titik tersebut; sejatinya birokrasi yang
melahirkan pusat-pusat kekuasaan dan penguasa sudah hancur kredibilitasnya.
Fungsi pemerintahan seolah tidak berlaku lagi. Peran negara dalam melayani dan
memperjuangkan kesejahteraan rakyat pun menjadi sangat minim.
Logika yang dibangun di Indonesia
maupun berbagai negara di luar negeri, pada umumnya terjebak pada logika hukum
terbalik. Di mana birokrat yang merepresentasikan kelompok-kelompok penguasa
(legislatif, yudikatif dan eksekutif) kendati jumlah mereka minoritas namun
pengaruhnya superior; secara sadar maupun tak sadar, cenderung memperkaya diri,
menyejahterakan diri dan meminta untuk dilayani.
Akibatnya, rakyat kebanyakan
semakin miskin dan termiskinkan, sementara para birokrat dan jaringannya
semakin gempal kekuatan ekonominya. Kekayaan ekonomi kalangan birokrat bagaikan
struktur bangunan Candi Borobudur yang semakin gemuk ke bawah. Sedangkan
kekuatan ekonomi yang dimiliki rakyat seperti struktur Candi Prambanan yang
semakin kurus ke atas.
Kekayaan Pejabat
Sekarang ini, adakah pejabat
negara (eksekutif, legislatif maupun yudikatif) yang tergolong tidak kaya alias
miskin? Mari belajar menjadi rakyat yang cerdas dan kritis, berapa miliar
rupiah jumlah kekayaan yang dimiliki para pimpinan dan eks pimpinan lembaga
eksekutif? Berapa jumlah harta (bergerak atau diam) yang dimiliki para pimpinan
dan anggota lembaga legislatif? Hitung pula total aset kekayaan para pejabat dan
petinggi struktural lembaga yudikatif?
Kemudian lacak juga jumlah
kekayaan yang dipunyai para pejabat negara di bawahnya, dari tingkat pusat
hingga daerah. Dari totalitas pejabat negara tersebut, berapa banyak penguasa
yang masuk kategori sebagai miliarder atau bahkan triliuner. Pertanyaan
terakhir, adakah dari sekian puluh ribu pejabat negara se-Indonesia tersebut
tergolong orang yang memiliki harta minim alias menjadi orang miskin?
Rasa-rasanya tidak ada pejabat
negara satu pun mengantongi 'kartu domino' sebagai keluarga miskin. Barangkali
kita wajib 'bersyukur' dipimpin dan diperintah oleh para pejabat negara yang
kaya-raya. Apakah kekayaan mereka diperoleh sebelum menjadi pejabat negara,
ataukah setelah menjabat sekian lama?
Kalau yang bersangkutan berstatus
kaya-raya sebelum menjabat, berarti memang sumber kekayaan yang dimiliki bukan
berasal dari pendapatan bulanan yang diperoleh dari jabatan negara yang
dipegangnya tersebut. Namun, kalau tiba-tiba ada pejabat negara yang jumlah
kekayaannya melonjak, tidak sinkron dengan pertambahan jumlah pendapatan
bulanan yang diperoleh, kita layak mempertanyakan lebih lanjut, dari manakah
asal-muasal kekayaan tersebut. Apakah
yang bersangkutan memiliki bisnis atau perusahaan?
Itu lain hal, namun jika
pejabat negara bersangkutan tidak memiliki bisnis, namun kekayaannya melimpah
ruah, wajiblah publik mencurigai dan bertanya-tanya tentang dari mana kekayaan
itu diperolehnya.
Berkuasa menjadi pejabat negara
memang memberikan kemudahan akses untuk mendapatkan perlakukan istimewa dan
dapat mengakses sumber informasi, sumber kekayaan dari mana saja. Mereka
berpeluang besar melipatgandakan jumlah kekayaan dasarnya hanya dalam waktu
singkat. Ada begitu banyak proyek nasional, proyek daerah; bahkan proyek
internasional yang bisa disulap menjadi bisnis yang menguntungkan bagi dirinya
atau koleganya.
Dengan memanfaatkan jaringan
bisnis kolega ini, mereka akan mendapatkan yang namanya bonus, tips, komisi,
hadiah, gratifikasi dan aneka sebutan lain yang intinya memberikan keuntungan
material kepada para pejabat negara untuk menambah saldo kekayaan pribadinya.
Maka, sesungguhnya, jumlah kekayaan seorang pejabat itu mudah dilacak dari data
yang dimiliki oleh berbagai bank di Indonesia, termasuk bank di luar negeri.
Namun, biasanya terbentur pada UU
Kerahasiaan Bank. Sementara kalau harta tersebut diwujudkan dalam bentuk tanah
atau bangunan, ladang perkebunan, hutan dan sebangsanya, datanya bisa dilacak
dari BPN. Namun, untuk melacaknya, hal ini pun tidak mudah karena bisa saja
kekayaan mereka sudah diatasnamakan pihak lain.
Yang paling repot ketika banyak
pejabat negara menyimpan hartanya berupa uang atau emas yang dititipkan di
bank-bank luar negeri, seperti Swiss, Jerman, AS dan negara lain yang sangat
melindungi privasi setiap nasabah. Sehingga, siapa pun tidak boleh mengetahui
mengenai identitas para nasabah bank di luar negeri tersebut. Jangankan pihak
luar bank tersebut, karyawan bank yang ada di luar negeri itu pun dijamin tidak
bakal mengetahui data nasabah yang dimiliki bank tersebut.
Nah, itulah peluang bagi para
pejabat negara untuk menyembunyikan hartanya, dengan menyimpan di bank-bank
mancanegara. Apakah KPK, BPK dan institusi lainnya memiliki sistem dan prosedur
untuk melacak, mengendus pergerakan kekayaan yang dimiliki oleh para pejabat
negara di luar negeri? Selama ini tidak ada sistem yang bisa menembus aturan
internasional itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar