|
SINAR
HARAPAN, 15 Juni 2013
Dua
minggu lagi, tanggal 29 Juni 2013, kita akan memperingati Hari Keluarga
Nasional 2013. Hari Keluarga Nasional diperingati sebagai kenang-kenangan
kepada keluarga Indonesia yang setelah berhasil mempertahankan kemerdekaan,
mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya
menerima budaya dua anak cukup, laki perempuan sama saja, dan akhirnya berhasil
mengikuti gerakan Keluarga Berencana (KB), menurunkan jumlah anaknya, dari
jumlah yang banyak menjadi jumlah yang sedikit.
Niat
yang mulai dilaksanakan sejak 1970 itu tidak mengendor sampai akhir abad 20,
tapi justru meningkat dari upaya merampingkan jumlah keluarga menjadi upaya
sungguh-sungguh membudayakan norma keluarga kecil yang bahagia sejahtera.
Upaya
yang dimulai sejak 1970, baru diniati dengan menggelar KB untuk kesehatan ibu
dan anak, belum sampai kepada upaya yang lebih luas karena ragu-ragu, apakah
memperkenalkan istilah dan ajakan untuk kesehatan anak dan ibu saja bisa
diterima.
Oleh
karena itu, ketika pada tahun pertama mampu diajak 50.000 pasangan usia subur
dari sekitar 120 juta penduduk atau 60 juta pasangan di Indonesia ikut KB,
seluruh penyelenggara berteriak girang bahwa kita bisa.
Untuk
membesarkan hati seluruh pejabat dan relawan, "kebisaan" atau
"keberhasilan" itu dirayakan di mana-mana dengan gegap gempita.
Pemerintah,
relawan dan dunia internasional "diajak" terkejut bahwa di negara
tradisional seperti Indonesia, inovasi yang dianggap aneh dan menyangkut
masalah pribadi yang sakral itu bisa diterima rakyat tanpa hambatan yang
berarti. Namun dicatat dengan sungguh-sungguh bahwa masalah kesehatan ibu dan
anak saja yang diangkat ke permukaan, jalan ke depan program dengan tujuan
mulia tersebut akan lamban.
Oleh
karena itu dianjurkan untuk langsung saja mempergunakan tujuan yang lebih luas,
mulia dan jauh jangkauannya, yaitu mengantarkan penduduk dan keluarga Indonesia
mengatasi ledakan penduduk dan sekaligus mengantar setiap keluarga menjadi
keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Isu
ledakan penduduk menjadi topik yang dianggap menarik, menakutkan, sehingga
segera harus diatasi oleh seluruh anak bangsa.
Melalui
pendekatan baru itu, sejak 1973, sekitar dua tahun setelah program KB dimulai,
tujuan dan falsafah KB disempurnakan bukan semata mengatur kelahiran, menolong
penurunan kematian ibu hamil dan melahirkan, tetapi untuk membudayakan norma
keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, suatu tujuan normatif yang ambisius,
berjangka panjang dan dengan cakupan yang luas.
Tujuan
itu bukan saja dideklarasikan secara nasional tetapi sejak awal, dalam proses
perumusannya, melibatkan seluruh pelaksana dan keluarga besar bangsa yang
diwakili oleh para ulama dari jajaran NU, Muhammadiyah, para cendekiawan dari
perguruan tinggi, para politikus dan tenaga pelaksana program yang berasal dari
seluruh Indonesia.
Tidak
kurang dari Presiden RI membuka perhelatan besar dalam jajaran yang luas itu
mengadakan pertemuan nasional yang sangat bersejarah. Diskusi dan perbincangan
yang menarik diadakan dan secara aklamasi disepakati perumusan yang sederhana
tetapi sangat luas maknanya.
Peristiwa
bersejarah yang diiringi komitmen yang sangat tinggi itu tahun ini menjadi
kenangan yang mendebarkan hati. Keberhasilan di akhir abad lalu terganggu
karena komitmen nasional di tingkat pusat, provinsi dan daerah kabupaten/kota,
sampai ke kecamatan dan desa-desa mengendur.
Pemimpin
BKKBN Pusat sudah lebih enam bulan kosong, petugas di provinsi/kabupaten/kota
dengan santai melanggar UU dengan meredusir KKB yang mestinya sebagai
pembangunan keluarga sejahtera menjadi sekadar perkenalan dan pemakaian, bahkan
sekadar penggantian dari penggunaan satu jenis kontrasepsi ke jenis lainnya.
Petugas
lapangan di tingkat desa yang sangat kurang tidak diganti dengan petugas baru
atau diusahakan relawan dari masyarakat luas. Suasana rapat mingguan dan
bulanan yang biasanya marak menjadi makin sepi dan jarang diselenggarakan oleh
kader atau relawan yang bekerja keras. Kesibukan pembangunan yang gegap gempita
seakan lenyap digantikan oleh frustrasi petugas yang mengeluh, honornya tidak
cukup atau merasa tidak mendapat perhatian dari pimpinannya.
Keluarga
muda yang ingin menunda kehamilan karena ingin memajukan kesejahteraan
keluarganya dibiarkan tidak disentuh program karena petugasnya sibuk mengganti
peserta KB dari satu cara ke cara kontrasepsi lain yang dianggap mempunyai
nilai lebih.
Para
relawan bingung karena prioritas yang dulu menggebu seakan hilang menjadi tidak
penting lagi atau seakan dianggap tidak penting. Untung saja ada gerakan
Pemberdayaan Keluarga yang bersama Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa tematik Posdaya
menggebu membangun Pos Pemberdayaan Keluarga
(Posdaya)
mengajak semua kalangan ikut menyegarkan program KB dengan posyandunya dan
mengajak keluarga muda menyegarkan semangat membangun keluarga sejahtera secara
paripurna. Posdaya menjadi pendorong baru yang diharapkan membangkitkan kembali
semangat membangun keluarga sejahtera secara paripurna. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar