Senin, 17 Juni 2013

Merampingkan Keluarga

Merampingkan Keluarga
Haryono Suyono ;   Mantan Menko Kesra dan Pengentasan Kemiskinan
SINAR HARAPAN, 15 Juni 2013


Dua minggu lagi, tanggal 29 Juni 2013, kita akan memperingati Hari Keluarga Nasional 2013. Hari Keluarga Nasional diperingati sebagai kenang-kenangan kepada keluarga Indonesia yang setelah berhasil mempertahankan kemerdekaan, mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan Indonesia.

Selanjutnya menerima budaya dua anak cukup, laki perempuan sama saja, dan akhirnya berhasil mengikuti gerakan Keluarga Berencana (KB), menurunkan jumlah anaknya, dari jumlah yang banyak menjadi jumlah yang sedikit.

Niat yang mulai dilaksanakan sejak 1970 itu tidak mengendor sampai akhir abad 20, tapi justru meningkat dari upaya merampingkan jumlah keluarga menjadi upaya sungguh-sungguh membudayakan norma keluarga kecil yang bahagia sejahtera.

Upaya yang dimulai sejak 1970, baru diniati dengan menggelar KB untuk kesehatan ibu dan anak, belum sampai kepada upaya yang lebih luas karena ragu-ragu, apakah memperkenalkan istilah dan ajakan untuk kesehatan anak dan ibu saja bisa diterima.

Oleh karena itu, ketika pada tahun pertama mampu diajak 50.000 pasangan usia subur dari sekitar 120 juta penduduk atau 60 juta pasangan di Indonesia ikut KB, seluruh penyelenggara berteriak girang bahwa kita bisa.

Untuk membesarkan hati seluruh pejabat dan relawan, "kebisaan" atau "keberhasilan" itu dirayakan di mana-mana dengan gegap gempita.

Pemerintah, relawan dan dunia internasional "diajak" terkejut bahwa di negara tradisional seperti Indonesia, inovasi yang dianggap aneh dan menyangkut masalah pribadi yang sakral itu bisa diterima rakyat tanpa hambatan yang berarti. Namun dicatat dengan sungguh-sungguh bahwa masalah kesehatan ibu dan anak saja yang diangkat ke permukaan, jalan ke depan program dengan tujuan mulia tersebut akan lamban.
Oleh karena itu dianjurkan untuk langsung saja mempergunakan tujuan yang lebih luas, mulia dan jauh jangkauannya, yaitu mengantarkan penduduk dan keluarga Indonesia mengatasi ledakan penduduk dan sekaligus mengantar setiap keluarga menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Isu ledakan penduduk menjadi topik yang dianggap menarik, menakutkan, sehingga segera harus diatasi oleh seluruh anak bangsa.

Melalui pendekatan baru itu, sejak 1973, sekitar dua tahun setelah program KB dimulai, tujuan dan falsafah KB disempurnakan bukan semata mengatur kelahiran, menolong penurunan kematian ibu hamil dan melahirkan, tetapi untuk membudayakan norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, suatu tujuan normatif yang ambisius, berjangka panjang dan dengan cakupan yang luas.

Tujuan itu bukan saja dideklarasikan secara nasional tetapi sejak awal, dalam proses perumusannya, melibatkan seluruh pelaksana dan keluarga besar bangsa yang diwakili oleh para ulama dari jajaran NU, Muhammadiyah, para cendekiawan dari perguruan tinggi, para politikus dan tenaga pelaksana program yang berasal dari seluruh Indonesia.

Tidak kurang dari Presiden RI membuka perhelatan besar dalam jajaran yang luas itu mengadakan pertemuan nasional yang sangat bersejarah. Diskusi dan perbincangan yang menarik diadakan dan secara aklamasi disepakati perumusan yang sederhana tetapi sangat luas maknanya.

Peristiwa bersejarah yang diiringi komitmen yang sangat tinggi itu tahun ini menjadi kenangan yang mendebarkan hati. Keberhasilan di akhir abad lalu terganggu karena komitmen nasional di tingkat pusat, provinsi dan daerah kabupaten/kota, sampai ke kecamatan dan desa-desa mengendur.

Pemimpin BKKBN Pusat sudah lebih enam bulan kosong, petugas di provinsi/kabupaten/kota dengan santai melanggar UU dengan meredusir KKB yang mestinya sebagai pembangunan keluarga sejahtera menjadi sekadar perkenalan dan pemakaian, bahkan sekadar penggantian dari penggunaan satu jenis kontrasepsi ke jenis lainnya.

Petugas lapangan di tingkat desa yang sangat kurang tidak diganti dengan petugas baru atau diusahakan relawan dari masyarakat luas. Suasana rapat mingguan dan bulanan yang biasanya marak menjadi makin sepi dan jarang diselenggarakan oleh kader atau relawan yang bekerja keras. Kesibukan pembangunan yang gegap gempita seakan lenyap digantikan oleh frustrasi petugas yang mengeluh, honornya tidak cukup atau merasa tidak mendapat perhatian dari pimpinannya.

Keluarga muda yang ingin menunda kehamilan karena ingin memajukan kesejahteraan keluarganya dibiarkan tidak disentuh program karena petugasnya sibuk mengganti peserta KB dari satu cara ke cara kontrasepsi lain yang dianggap mempunyai nilai lebih.

Para relawan bingung karena prioritas yang dulu menggebu seakan hilang menjadi tidak penting lagi atau seakan dianggap tidak penting. Untung saja ada gerakan Pemberdayaan Keluarga yang bersama Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa tematik Posdaya menggebu membangun Pos Pemberdayaan Keluarga
(Posdaya) mengajak semua kalangan ikut menyegarkan program KB dengan posyandunya dan mengajak keluarga muda menyegarkan semangat membangun keluarga sejahtera secara paripurna. Posdaya menjadi pendorong baru yang diharapkan membangkitkan kembali semangat membangun keluarga sejahtera secara paripurna. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar