Minggu, 02 Juni 2013

Batasan Promosi Produk Tembakau

Batasan Promosi Produk Tembakau
Awaluddin Abdussalam  ;  Alumnus Magister Epidemiologi Undip Semarang, Kepala Bidang P2PL Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes
SUARA MERDEKA, 31 Mei  2013


TEMA Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 31 Mei 2013, yakni ’’Ban Tobacco Advertising, Promotion, and Sponsorship’’ sangat tepat karena berbarengan dengan pemberlakuan PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. 

Regulasi itu berisi antara lain larangan penayangan iklan rokok, penyeponsoran acara, kegiatan tanggung jawab sosial, larangan penjualan rokok secara eceran, serta larangan penjualan rokok pada orang di bawah usia 18 tahun dan wanita hamil.

Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) melaporkan epidemi tembakau global akan membunuh hingga 8 juta orang pada 2030, dan 80% kematian itu terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sementara di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) jumlah penduduk berumur lebih dari 15 tahun yang tidak merokok, turun dari 63% (2007) menjadi 59,9% (2010). 

Diperkirakan terjadi peningkatan jumlah perokok dari tahun ke tahun sehingga negara diuntungkan oleh kontribusi cukai dari industri tembakau Rp 73,252 triliun (National Geographic Indonesia, Desember 2012). Sementara belanja iklan rokok diperkirakan tiap tahun naik. Terbesar, hampir 90%, pada televisi dan media elektronik lain, serta sisanya pada media cetak. Total belanja iklan tiap tahun secara nasional Rp 119 triliun, dan khusus untuk rokok Rp 11,9 triliun (Neraca.co.id).  

Membatasi promosi produk tembakau di Indonesia tentu saja sangat sulit, apalagi membatasi produksi tembakau. Interaksi manusia Indonesia dengan tembakau disinyalir telah terjalin begitu kuat. Laporan National Geographic Indonesia (Desember 2012) menunjukkan Tarian Lahbako di Jember Jatim tidak satu-satunya produk budaya lokal yang mengadopsi ìbudaya tembakauî karena juga ada kerajinan batik bermotif tembakau.

Secara kultural, Indonesia sangat lekat dengan tembakau. Konon tembakau masuk wilayah Indonesia sekitar abad ke-16 atau 17. Tapi banyak sumber sejarah berpendapat tradisi merokok sudah ada sebelum abad ke-16. Tak mengherankan bila tembakau menjadi bagian penting dari masyarakat sejak ratusan tahun lalu. Tembakau atau rokok menjadi salah satu elemen sesaji masyarakat tradisional. Para sejarawan bersepakat bahwa tembakau sebagai industri mulai berdenyut di Indonesia pada paruh abad ke-19.

Lebih Bijak

Perokok pada kalangan muda cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, tahun 1995 perokok usia remaja (15-19 tahun) hanya 7%, dan tahun 2010 meningkat menjadi 19%. Adapun perokok berusia anak-anak (10-14 tahun) pada 1995 sekitar 71.000 anak, dan tahun 2010 meningkat lipat enam jadi sekitar 425.000 anak (Tempo.co, 31/05/12). Kekhawatiran ini kemudian dituangkan ke dalam PP Nomor 109 Tahun 2012, dan berarti kegiatan promosi rokok saat ini yang secara intensif menyasar anak-anak muda, boleh jadi segera berakhir. 

Aturan tersebut di antaranya, melarang memberikan secara cuma-cuma rokok kepada anak, remaja, dan perempuan hamil (Pasal 45). Larangan juga diberlakukan terhadap anak di bawah usia 18 tahun untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi produk tembakau (Pasal 46). Promosi produk tembakau pun tidak boleh mengikutsertakan anak-anak di bawah usia 18 tahun (Pasal 47 Ayat 1). Pelanggaran atas ketentuan ini dikenai sanksi oleh pejabat pemda ah sesuai dengan kewenangannya (Pasal 47 Ayat 2).

Padahal publik tahu, kegiatan yang melibatkan anak-anak di bawah usia 18 tahun, sangat potensial untuk mengenalkan produk tembakau pada generasi muda, semisal konser musik atau pertandingan olahraga. Karena itu, pemerintah semestinya mengevaluasi tata kelola penjualan produk tembakau sehingga hanya konsumen yang memenuhi syarat yang bisa mengakses komoditas tersebut. 

’’Penemuan’’ rokok berawal dari sakit bengek dan sesak napas yang diderita H Djamhari dari Kudus tahn 1870-an. Dia berusaha mengobati dengan mengoleskan minyak cengkih di dada, dan kemudian mencoba mencampurkan cengkih ke dalam tembakau yang diisapnya, dan ternyata sakit yang diderita sembuh. Dia kemudian ’’memproduksi’’ lintingan tembakau yang disampur cengkih, yang kelak disebut rokok keretek, untuk dijual. 

National Geographic Indonesia (Desember 2012) mencatat bahwa awalnya rokok keretek ditemukan dan diperjualbelikan hanya di apotek dan kedai jamu. Pelajaran yang dapat dipetik adalah penjualan rokok pada era lampau lebih bijak, dibandingkan dengan era kini yang secara bebas bisa diakses oleh siapa pun. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar