|
SUARA MERDEKA, 01 Juni 2013
PENGHARGAAN internasional, Word Statesman Award atau Anugerah Negarawan Dunia untuk Presiden
SBY berkenaan dengan toleransi beragama, perdamaian, dan demokrasi di Indonesia
seyogianya diterima dengan baik, walaupun beberapa pihak mempertanyakan,
bahkan menyatakan tidak setuju.
Mereka mendalihkan pada kekerasan terhadap kelompok
minoritas Ahmadiyah, komunitas Syiah di Sampang Madura Jatim, dan pelarangan
beribadah untuk komunitas sebuah gereja di Bogor Jabar yang mengindikasikan
ketidakmampuan pemerintah melindungi kaum minoritas agama. Karena itu, beberapa
pihak menyarankan SBY menolak penghargaan itu.
Toleransi beragama di Indonesia ini sebenarnya sudah lama
terbangun. Semasa Kerajaan Majapahit misalnya, walaupun kerajaan ini menganut
agama Hindu dan Buddha, realitasnya sangat toleran terhadap kehadiran Islam.
Sunan Ampel, salah satu Walisongo bahkan datang ke Surabaya atas undangan raja
Majapahit guna memberikan penyuluhan dan memperbaiki moral masyarakat yang
dinilai sudah rusak.
Kerajaan Majapahit menjalankan politik secara sekuler
karena itu sangat toleran terhadap tamu kerajaan dari golongan apa pun, semisal
kehadiran Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam. Bahkan di situs bekas kota
Majapahit di Trowulan Mojokerto Jatim ditemukan kompleks makam orang Islam.
Zaman sebelum Majapahit pun toleransi beragama sudah terbentuk, semisal
kerukunan antara agama Hindu dan Buddha yang terbangun sejak awal abad Masehi.
Padahal di negara asalnya, di India, pengikut dua agama tersebut tidak bisa
akur.
Contoh lain dari toleransi itu, yakni ketika Raja
Wisnuwardhana dan Kertanegara dari Kerajaan Singasari memproklamirkan diri
sebagai pemeluk Syiwa Buddha. Bukti atau testimoni mengenai hal itu kini masih
bisa dilihat pada peninggalan Candi Jago dan Candi Singosari Malang.
Realitas itu menunjukkan bahwa toleransi kehidupan beragama
di Indonesia sudah lama terbangun. Sebelum agama besar (Hindu, Buddha, Islam,
Kristen, dan Katolik) masuk ke Indonesia, di Nusantara sudah berkembang
kepercayaan asli yang bersumber pada pemujaan arwah leluhur. Karena itu,
agama-agama ''asing'' yang datang kemudian, dalam proses budaya hanya diterima
sebagai agama tamu yang harus dihormati.
Kalaupun akhirnya agama-agama besar itu diterima oleh
masyarakat Indonesia, agama asli itu tetap menjadi akarnya. Dalam ajaran
Pancayajnya di Bali misalnya, doktrin agama Hindu dan Buddha bisa bersatu-padu
dengan akar penghormatan kepada roh dan arwah leluhur. Sebagian pemeluk Islam
di Jawa ini pun tak bisa meninggalkan keyakinannya terhadap arwah leluhur dan
tokoh masa lampau. Itu dimanifestasikan lewat wisata ziarah ke makam Walisongo
atau para leluhur, terutama ketika nyadran dan Idul Fitri.
Sila pertama Pancasila, yaitu Ke Tuhanan Yang Maha Esa,
merupakan hasil pemikiran mendalam penggali dan perumus Pancasila, dengan
mengambil akar-akar agama dan kepercayaan, untuk disarikan guna menemukan
persamaan. Akar-akar itu kemudian digunakan sebagai landasan pembuatan konsep
sila pertama itu, yang mengandung pengertian bertoleransi dalam kehidupan
beragama.
Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan toleransi agama ini sudah
demikian mengakar dalam kehidupan masyarakat kita. Karena itu, penghargaan
internasional untuk SBY itu layak diterima sebab sangat terkait dengan sila
pertama Pancasila. Kalaupun saat ini masih ada persoalan terkait toleransi
beragama, itu karena kekurangtegasan pemerintah menyikapi persoalan yang sudah
digariskan dalam sila pertama itu.
Hal lain yang berkenaan dengan Pancasila adalah
pengimplementasian sila-sila ataupun nilai-nilai luhur dalam Pancasila yang
saat ini masih kacau-balau. Berbagai kejahatan dan kekerasan, juga diskriminasi
merebak, smisal perampokan, penipuan, korupsi, terorisme, tawuran, kekerasan
agama, kekerasan terhadap anak dan sebagainya.
Relevansi Nilai
Semua itu merupakan indikasi kemelunturan pemahaman
masyarakat terhadap nilai-nilai sosial budaya dan etika yang terkait dengan
nilai-nilai luhur dasar negara kita. Pancasila merupakan strategi politik
kebudayaan, gagasan orisinal yang dicetuskan pendiri bangsa. Itu juga hasil
pemikiran yang brilian pada eranya mengingat nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya senantiasa relevan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
sepanjang masa.
Namun nilai-nilai luhur itu perlu selalu diaktualisasikan
dan disosialisasikan supaya tidak tergerus. Pancasila merupakan kristalisasi
dari nilai-nilai budaya bangsa ini, yang digali dari kebudayaan yang terbentuk
dan berkembang di negara ini. Sejarah juga mencatat bahwa keterbentukan
kebudayaan-kebudayaan di negara ini penuh toleransi terhadap kelompok dan agama
yang berbeda-beda.
Peringatan hari lahir Pancasila yang waktunya berdekatan
dengan pemberian penghargaan internasional kepada Presiden SBY harus menjadi
momentum untuk menanggulangi persoalan bangsa yang menyimpang dari norma,
etika, dan nilai kebudayaan. Banyak negara menganggap Indonesia sebagai negara
yang sukses dalam membangun perekonomian.
Yang tidak kalah penting adalah membangun manusianya, yang
juga berarti membangun kebudayaan guna membentuk manusia Indonesia yang
berbudaya dan bermartabat. Inilah yang sering dilupakan pemerintah, dan saatnya
nilai-nilai Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai budaya bangsa harus
benar-benar diaktualisasi dan disosialisasikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar